Gelar Wicara: Gaming, Hobi atau Olahraga?

SHARE:  

Humas Unimal
Dosen Universitas Malikussaleh, Ayi Jufridar, dan alumni Prodi Ilmu Komunikasi Unimal, Muhammad Fachril Zazai, menjadi narasumber tentang electronic sports di Pro 2 RRI Lhokseumawe, Rabu (11/3/2020) malam. FOTO: AHMAD ALBASTIN.

GENERASI muda di berbagai kota di Indonesia, termasuk Aceh, menghabiskan waktu dengan game. Terkadang mereka berteriak, memaki dengan kasar, tanpa peduli orang sekitar termasuk anak-anak. Waktu salat berlalu dari zuhur ke asar, dari asar ke magrib, sampai memasuki waktu isya. Mereka tidak pernah pindah tempat, hanya mengganti posisi duduk karena sudah pegal, terkadang sampai menaikkan kaki ke atas kursi. Selama tenggelam dalam kesibukan, beberapa di antara mereka memang terlihat melepas earphone atau headset, meletakkan gadget di atas meja, dan kemudian meninggalkan kawan-kawannya. Tujuannya bukan untuk salat, tetapi ke toilet untuk buang air kecil.

Begitulah gambaran suasana anak muda—beberapa tempat juga ada orang dewasa—yang tenggelam dengan berbagai jenis game.  Majelis Permusyarawatan Ulama (MPU) Aceh kemudian mengeluarkan fatwa haram terhadap PlayerUnknown’s Battegrounds (PUBG), Juni 2019 lalu. Belum diketahui apakah ilustrasi seperti di atas termasuk menjadi pertimbangan lahirnya fatwa haram.

Masalah keranjingan bermain game—baik di tempat umum maupun di ruang privat—menjadi topik diskusi di Radio Republik Indonesia (RRI) Pro 2 Lhokseumawe di frekuensi 92,50 FM, Rabu (11/3/2020). Hadir sebagai narasumber, dosen Universitas Malikussaleh, Ayi Jufridar, serta dua gamer di Lhokseumawe, Muhammad Facril Zazai dan Habibi. Gelar wicara (talkshow) tersebut dipandu penyiar Eghi Putra.   

Zazai yang juga alumni Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh sudah empat tahun terakhir menggeluti dunia gaming. Meski berawal dari hobi, ia mengaku lebih memposisikan diri sebagai atlet daripada sekadar kegiatan untuk membunuh waktu. Hal senada juga diakui Habibi. Keduanya sering mengikuti berbagai pertandingan gaming yang sering digelar di berbagai kota dengan biaya sendiri.

Apa yang membedakan kegiatan gaming sebagai olahraga atau sekadar hobi untuk membunuh waktu?

“Main game itu hobi, tapi kalau e-sports itu profesi. E-sport itu lebih terorganisir, sedangkan gaming tidak,” ungkap Zazai dan dibenarkan oleh Habibi. Habibi menambahkan, para gamers bermain tanpa menggunakan seragam, sedangkan electronic sports (esport) bermain dengan menggunakan seragam dan mereka berada dalam sebuah tim.

Sebenarnya, banyak hal lain yang membedakan gaming dengan olahraga, selain yang disebutkan dua atlet esport di atas. Atlet esports dilatih secara professional agar bisa menjaga kebugaran serta mampu meningkatkan konsentrasi. Para atlet esports juga harus memperhatikan nutrisi yang bagus, melatih kecepatan mengambil keputusan pada saat yang tepat, serta memiliki refleks motorik yang bagus.
***

***

Masalah umur juga menjadi persyaratan penting agar bisa menjadi atlet esports. Menurut Pengurus E-Sport Provinsi Aceh, Cut Ema Aklima, atlet esports idealnya berusia antara 18 – 21 tahun karena memiliki stamina dan tingkat konsentrasi cukup serta syaraf motoriknya masih prima. Kalau di bawah 18 tahun, tingkat emosional belum mampu dikontrol. “Sedangkan di atas 21 tahun sudah memiliki masalah dengan kecepatan.,” ujar Ema yang dihubungi terpisah.

Para penggemar games yang bermain di ruang publik, selain mengganggu orang lain dengan teriakan dan makian kotor, mereka juga sering menyedot kuota internet di kafe yang sebenarnya digunakan bersama untuk semua pengunjung.  Mereka sudah mengganggu orang lain dengan suara makian dan teriakan yang sama sekali tidak mendidik, apalagi jika ada anak kecil yang berkunjung ke kafe. Dosa itu bertambah pula dengan mencuri kuota internet sampai 40 persen untuk kepentingan mereka.

Di beberapa kafe dan warung kopi di Aceh, terkadang ada larangan bermain game agar tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Selain itu, banyak juga yang memasang pengumuman peringatan agar pengunjung yang bermain game tidak berteriak dan tidak mengeluarkan kata-kata kotor.

Menurut Habibi, para gamer yang berteriak dan memaki itu adalah bagian dari toxic yang merugikan diri sendiri dan orang lain. “Menurutnya, dari pada menjadi toxic baik bagi diri sendiri maupun masyarakat, lebih baik menjadi atlet,” tambah Habibi yang sudah empat tahun berada dalam tim yang sama dengan Zazai.

Pernyataan yang sangat benar. Dalam pertandingan olahraga Asia Tenggara, SEA Games di Filipina, tahun 2019 lalu, esports termasuk cabang yang dipertandingkan meski baru sebatas eksibisi. Namun, keberadaan esports semakin diakui sebagai bagian dari olahraga. Di beberapa negara termasuk di Indonesia, esports juga berada di bawah induk komite olahraga.

Kembali ke pertanyaan di atas. Games itu olahraga atau sekadar hobi, keduanya bisa benar. Tapi kalau generasi muda hanya menghabiskan waktu dan lupa diri karena game, bahkan ada yang meninggal dunia karena games, tentu itu pengaruh buruk yang harus dihindari. Games is over! [Ayi Jufridar]

Baca juga: Gua Jepang dan Implementasi Wisata Halal


Berita Lainnya

Kirim Komentar