Dalih Covid-19

SHARE:  

Humas Unimal
Teuku Kemal Fasya, Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Ekternal Universitas Malikussaleh

DUNIA bersama Coronavirus atau Covid-19 adalah dunia yang tak sama lagi dengan sebelumnya, meskipun tidak benar-benar berbeda. Ada banyak ketercekaman yang muncul. Terlalu pekat drama prahara dan rasa takut berjulang-julang. Seharusnya akal sehat dan kritisisme tetap lebih dikedepankan ketika merespons masalah ini.

Dalam situasi kalut seperti ini, daya kritis harus tetap digunakan. Penilaian atas situasi harus dilakukan dengan objektif, rasional, dan reflektif, bukan tergiring oleh sesuatu yang di luar kesadaran. Membebek dan senyap di tengah misteri.

Bencana global?

Kasus Covid-19 pertama kali muncul di Wuhan, Tiongkok, akhir Desember lalu. Ketika tulisan ini hadir, telah ada 182.442 kasus di seluruh dunia dan 7.158 orang meninggal.

Sayangnya kabar baik sering tak muncul. Padahal ada 79.211 orang telah sembuh dari penyakit yang menyerang saluran pernafasan dan infeksi paru-paru (pneumonia) ini. Memang belum ada vaksin yang khusus menyembuhkan virus ini, tapi teknologi kedokteran telah bisa menaklukkan Covid-19.

Meskipun muncul di Tiongkok, per tulisan ini dibuat ada 80.881 orang suspek dan kematian 3.226 jiwa, tapi sebagian besar dapat pulih yaitu mencapai 68.688 kasus (Coronavirus Update (Live): 182,723 Cases and 7,174 Deaths from COVID-19 Virus Outbreak - Worldometer). Artinya, lebih 85 persen orang terdampak bisa sembuh dan hidup normal lagi.

Kini di Tiongkok kasus ini mengalami penurunan epidemis. Sebaliknya di luar Tiongkok berkembang cepat seperti di Italia, Iran, Spanyol, Korea Selatan, Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat. Iran dan Korea Selatan paling baik menangani Covid-19, sedangkan di Italia keteteran. Sempat dianggap sepele, kasus di negeri Nerrazzuri ini menyebabkan kematian terjadi dengan cepat terutama kalangan uzur (27.980 kasus dengan 2.158 kematian atau 7,7 persen).

Karena itu pula Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut kasus ini pandemi global, telah mengancam banyak hal termasuk stabilitas politik dan ekonomi, baik tingkat global, nasional, hingga lokal.

Bagaimana dengan Indonesia? Per 16 Maret 2020 kasus ini menginfeksi 134 orang dan lima orang dinyatakan meninggal atau 3,7 persen. Artinya kegawatan yang terjadi di Indonesia tidak seperti tujuh negara terbanyak infeksi. Memang dibandingkan kasus Malaysia, Singapore, dan Thailand, kasus Covid-19 di Indonesia adalah yang terkecil, tapi kematian yang disebabkan menjadi tertinggi: lima kasus (Singapore 0, Malaysia 0, Thailand 1).

Data lainnya ialah, per 14 Maret 2020 dari data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019, kasus ini "baru" menyebar di delapan provinsi yaitu DKI, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Barat. Sumatera belum berkasus.

Artinya Sumatera, termasuk Aceh belum terdampak. Namun dari "pemberitaan", Aceh dan Sumatera Utara sudah "tertuduh" sejak akhir Februari lalu. Padahal kasus Covid-19 di Indonesia baru dideklarasikan pada 2 Maret 2020. Dari mana pemberitaan itu menyebar? Tak lain dari media sosial yang disebut oleh pakar media dari Australia, Ross Tapsell, sebagai media partisipatoris yang mendukung perkembangan demokrasi (Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens, and Digital Revolution, 2017)

Media sosial di Indonesia, khususnya di Aceh dalam taraf-taraf tertentu telah menjadi antonim dari klaim partisipatoris dan demokratis itu. Media ini malah digunakan untuk menyebarkan kabar bohong, hoaks, post-truth, diseminasi informasi, memulik kasus-kasus pribadi; secara umum ghibah dan fitnah.

Tentu dengan multiplikasi media sosial dan juga dalam beberapa hal disambar oleh media mainstream ikut memengaruhi bagaimana pemerintah atau pihak berkepentingan lain bersikap. Dalam konteks Covid-19, ketakutan global itu menyergap hingga ke ruang pribadi. Titik gempur informasi melalui media sosial ikut memengaruhi bagaimana "kebenaran" diterima, sehingga menjadi keyakinan atau pengetahuan aksiomatik.

Terkait kasus Covid-19, masih terngiang ceramah seorang ustadz ternama yang menyebutkan Covid-19 itu "tentara Allah". Pernyataan ini bukan saja tidak mendasar, juga menggoncang konstruksi teologis. Karena secara empiris suspek Covid-19 ini tidak hanya menyerang masyarakat dan agama tertentu, tapi semua lingkup anthropos dan theologos. Salah satu suspek di Indonesia terdampak setelah ia pulang umrah. Jika saja ada keyakinan bahwa Covid-19 ini tidak bisa menerjang umat Islam dan tempat suci, tentu tak ada alasan pihak Arab Saudi menutup dua harramain, Mekkah dan Madinah, dari para peziarah dan pendoa.

Rusaknya nilai-nilai kekerabatan

Kasus ini bukan hanya membuat ada pihak yang menderita, tapi juga ada yang berbahagia. Di samping "dampak samping kerusakan (collateral damage), ada pihak yang pelan-pelan menderas untung seperti Google karena penggunaan sistem pembelajaran daring, WHO dengan protokol yang mengarah pada industri tertentu, melonjaknya harga masker dan thermo gun, runtuhnya harga minyak global akibat "permainan produksi" Arab Saudi dan Rusia, hingga kesempatan bagi "lembaga kapitalis dunia" seperti IMF dan Bank Dunia untuk mengucurkan anggaran bagi negara terdampak untuk menangani Covid-19 (The Guardian, 5 Maret 2020).

Di samping sum zero game politik ekonomi dunia, ada hal lain yang juga tergerus. Yang paling parah terkikisnya nilai-nilai sosial, kehangatan, dan keakraban. Di Tiongkok sendiri telah muncul salam dengan kaki. Di belahan dunia lain telah terjadi pola perjumpaan tidak lagi menggunakan tangan. Ada yang menempelkan siku, ada yang mengayun tangan dengan bayangan, ada pola namaste, dan semakin banyak mata terpicing-picing melihat orang lain sebagai "suspek".

Sikap pencegahan dianjurkan, tapi rusaknya relasi antarmanusia ini tidak bisa terus dibiarkan, karena belum tentu tahu kapan pulih. Belum lagi sebagian orang terbiasa melakukan tindakan berlebihan, egoistik, dan antisosial. Saat ini persepsi orang menganggap kematian menular Covid-19 seolah-olah paling berhaya di dunia, tapi mengabaikan misalnya kematian akibat TBC jauh lebih menular dan massif.

Data Global Tuberculosis Report menyebutkan lebih 1,5 juta kematian akibat TBC per tahun atau 4.400 perhari. Kematian akibat TBC di Indonesia ialah 300 orang per hari. Lembaga dunia AIDS, UNAIDS, menyebutkan ada 36,9 juta penderita AIDS, lebih lima persen meninggal tiap tahun, dan 25 persen di antaranya tidak menyadarinya (kompas.com, 1/12/2017). Artinya "musuh tidur" dari dua penyakit itu lebih mengancam dunia, tapi tidak membuat ekonomi dan gairah dunia serontok hari ini.

Dalam taraf-taraf tertentu, kita juga ikut menyumbangnya. Saat ini Aceh jauh dari pusat pandemi, dan ikut melakukan "lock-down" seperti Jakarta. Agak miris jika pilihan ini dilakukan bukan karena analisis empiris, tapi karena desakan alam bawah sadar dari "pengetahuan media sosial/digital/massa". Alih-alih belajar memilih opsi, kita lebih suka terseret pada ketakutan global, seolah-olah fungsi 1250 cc otak yang berada di dalam tempurung kita tiada gunanya?

Alih-alih berdalih pada Covid-19, mari kita urus diri berdasarkan pikiran dewasa untuk mengalahkan semua masalah secara tepat dan bijaksana. Jangan sampai berdalih Salat subuh ke meunasah pun tak lagi, padahal tak ada satu pun suspek Covid-19 di kampung kita. Sebelum semua lembaga kuasa menginstruksikan kita, instruksikan diri sendiri untuk bernalar dan bekerja.

Penulis: Teuku Kemal Fasya, Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Ekternal dan Dosen Antropologi FISIP Unimal

Artikel ini telah tayang di harian Serambi Indonesia pada Kamis 19 Maret 2020.


Berita Lainnya

Kirim Komentar