Wabah Dalam Sastra

SHARE:  

Humas Unimal
Ayi Jufridar, Penulis dan penikmat sastra. Dosen dan Kabid Informasi dan Publikasi di UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh. Foto: Bustami Ibrahim

KIAMAT terjadi ketika Tuhan hanya mengambil kembali salah satu indera manusia. Ketika memberhentikan mobil di perempatan saat lampu merah menyala, seorang lelaki tiba-tiba kehilangan penglihatannya. Pandangannya tidak terhalang dinding gelap seperti ketika ia memejamkan, sebaliknya yang terlihat seluruhnya putih. Seputih susu. Dia harus berjuang menghubungi istrinya agar bisa pulang dengan selamat atas bantuan orang lain yang kemudian memiliki niat jahat mencuri mobilnya.

Ketika berobat ke dokter mata, ia berharap menemukan jawaban atas penyakit yang tiba-tiba mendera. Ia berharap kebutaan hanya sementara dan sembuh secara ajaib sebagaimana penyakit itu datang. Tapi dokter tak menemukan apa pun, secara medis matanya sehat. Tidak ada jawaban, yang banyak adalah pertanyaan demi pertanyaan ketika ada pasien lain mengalami penderitaan serupa, kemudian paramedis, dan akhirnya puluhan orang terkena wabah kebutaan.

Pemerintah mengisolasi para penderita untuk menghindari meluasnya wabah, persis seperti yang dilakukan terhadap pasien terpapar Covid-19 sekarang ini. Mereka dikarantina di sebuah tempat yang dijaga militer dengan persenjataan lengkap. Pasien yang mencoba melarikan diri langsung ditembak mati. Tidak ada yang boleh keluar untuk melokalisir pandemi, tapi pasien setiap hari bertambah sampai seluruh kota, seluruh warga sampai kepada aparat pemerintah, ikut terinfeksi.

Wabah meruntuhkan pemerintahan. Kehidupan tanpa keteraturan karena setiap manusia berusaha mempertahankan hidup secara kanibal. Mereka mengorbankan kehidupan orang lain untuk mempertahnkan kehidupan sendiri, bahkan demi memperebutkan sepotong makanan. Neraka hadir setelah kebutaan melanda.

Begitulah José Saramago melukiskan kekacauan yang mencekam dalam Blindness (judul aslinya Ensario Sobre A Cegueira). Kekacauan dan pertumpahan darah bisa terjadi hanya untuk sepotong makanan, dan orang-orang secara naluriah membentuk koloni untuk memperkuat pertahanan diri. José bukan saja menggambarkan detail, tapi menusuk ke dalam jiwa sehingga kecemasan seperti tiada akhir dan kian terasa nyata dalam situasi sekarang, ketika seluruh bangsa di dunia tak berdaya menghadapi Coronavirus Disease-2019 atau Covid-19.

Kota yang terisolasi (lockdown) seperti Wuhan di China dan beberapa negara seperti Italia dan Spanyol, dilukiskan Albert Camus dengan menyentuh dalam Sampar (La Peste). Orang-orang terjebak dalam kecemasan tiada akhir. Yang sudah telanjur masuk tak bisa keluar dan orang di luar tak bisa masuk.

Persoalan menjadi lebih pelik karena kecanggihan teknologi informatika belum seperti sekarang sehingga orang tidak bisa mengetahui kondisi yang sesungguhnya dengan cepat dan akurat. Padahal, informasi yang cepat dan akurat sangat dibutuhkan untuk menghindari situasi memburuk, meski harus diakui ketika semua manusia bisa memproduksi informasi melalui gawai dan media sosial, tugas memilah dan memilih berlian di tengah samudra informasi menjadi lebih berat.   

Cinta dan ancaman kematian

Situasi mencemaskan itulah yang terlihat sekarang di seluruh dunia. Wabah bukan semata masalah kesehatan. Ketika ia melanda sebuah negeri dan kemudian menyebar dengan cepat ke seluruh dunia, ia menjadi krisis yang kompleks karena menyentuh aspek sosial, budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan, bahkan harga diri dan cinta.

Siapa peduli cinta di tengah ancaman ratusan kematian setiap hari? Masih adakah orang peduli pada perasaan dalam kekacauan tatanan kehidupan? Seperti halnya perang, wabah tidak mampu membunuh kerinduan, kasih sayang, dan cinta. Kedalaman rasa bahkan tumbuh subur dalam situasi sulit, di antara pertaruhan hidup dan mati. Ini bukan sekadar pertarungan antara logika dan rasa—otak dan hati—melainkan keteguhan menyelamatkan keagungan cinta yang justru makin subur di tengah aroma kematian.  
Setidaknya begitulah perjuangan Florentino Ariza selama 53 tahun tujuh bulan dn 11 hari untuk mendapatkan cinta sejatinya. Sejak melihat Fermina Daza semasa kecilnya, ia tidak berhenti berusaha merebut perhatian Fermina meski beberapa kali mendapatkan penolakan. Setelah jatuh dari satu pelukan perempuan ke pelukan perempuan lain, Florentino tak bisa melupakan cinta sejatinya.

Ketika kesempatan merebut hati Fermina datang, mereka sudah tidak muda lagi dan dunia sedang dilanda kecemasan karena wabah kolera.  Api cinta harus menghadapi ujian waktu sekaligus wabah yang melanda. Begitulah Gabriel García Márquez mengaduk perasaan dalam  Love in the Time of Cholera dengan begitu menggetarkan.  

Kesadaran imaji

Banyak karya sastra dunia merekam wabah yang terjadi di berbagai negara, baik disebutkan nama negerinya maupun hanya di sebuah negeri imajinasi seperti Blindness, tetapi semuanya terasa sangat dekat dengan kita dalam bulan-bulan terakhir ini dan bisa jadi pada bulan-bulan mendatang. Di tengah kemajuan teknologi transportasi dan informatika yang menghadirkan dunia tanpa batas, kabar di belahan dunia lain menyebar dengan cepat sebagaimana virus. Kekhawatiran di seberang benua pun dengan cepat menyebar ke ruang privat dan altar suci.

Realitas yang tumbuh berupa wabah, bukan semata direkonstruksi ulang dalam ruang imaji untuk menghadirkan realitas baru yang menggetarkan dengan segala konflik dan intrik. Kisah itu tidak lahir dari ruang kosong, melainkan berangkat dari sebuah kesadaran imaji (Jean-Paul Sartre) yang memotret fakta dari sudut berbeda. Tanpa imaji, ia menjadi sebuah peristiwa fakta yang disajikan dalam berita di media massa, lengkap semua unsurnya.

Pengaruh imajinasi pada penciptaan karya sastra itulah yang membuat sebuah bencana—termasuk wabah—melahirkan nilai artistik sehingga bisa dilihat dari sisi berbeda. Dia tidak lagi disajikan dengan pengungkapan fakta, analisis, atau interpretatif dengan mengandalkan kekuatan akal semata sebagaimana karya jurnalistik.  Campur tangan imajinasi membuat sebuah peristiwa memiliki daya tarik seni yang sudah dimulai sejak awal Aristoteles. Dalam karya sastra, imajinasi ditempatkan dalam struktur alami dari pikiran yang matang melalui proses sehingga mampu mengembangkan standar rasa dengan penuh makna.

Proses inilah yang sudah dilalui para penulis besar seperti Albert Camus, José Saramago, Márquez, dan sejumlah nama lain ketika mengangkat wabah dalam karya sastra. Mereka tidak sekadar terinspirasi dari sebuah bencana dan menggubahnya melalui kerja kreatif seperti banyak kita temukan dalam film Hollywood, sehingga karya-karya tersebut tidak bisa diukur melalui pendekatan kemiripan dengan dunia nyata (verisimilitude) sebagaimana yang pernah disampaikan Robert Stanton. Wabah-wabah dalam sastra itu tidak hadir sebagai hiburan atau pengikat momen. Kalau pengabdian sastra hanya sekadar hiburan, maka ia akan kalah dengan film yang memiliki dimensi hiburan lebih luas (Mario Vargas Llosa).

“Kenyataan” yang dibangun dalam kesadaran imaji telah melahirkan sebuah realitas baru yang tidak terukur logika. Dalam beberapa karya, kekuatan imajinasi mendahului peristiwa nyata, bahkan seperti pengulangan dari kekuatan imajinasi penulis. Situasi ini akan terasa ketika kita menyesap beberapa karya seperti di atas. Para penulisnya seolah memiliki kekuatan untuk membayangkan sebuah pandemik yang akan mengubah cara manusia hidup dan mati. Kemudian mengeksplorasinya menjadi sebuah kisah yang kompleks, meninggalkan bekas mendalam di benak pembaca, baik itu berupa pengalaman yang menggetarkan maupun kesedihan yang mendalam.

Bedanya, kesedihan dalam imajinasi—meski dalam beberapa kasus terasa nyata—tidak bertahan lama dan tidak berdampak permanen terhadap psikologis. Dia tidak memukul pembaca secara fisik dan batin, sebaliknya malah menambahkan kekuatan dan kekayaan batin menjadi lebih peka, lebih empati, lebih peduli.  

Empati seperti itulah yang dibutuhkan dalam situasi sekarang, ketika masih banyak orang memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan pribadi, ketika kepanikan mematikan empati karena kepentingan diri dan keluarga lebih utama, dan ketika pemerintah semakin tergagap dengan bencana yang terus meluas.

Di sinilah sastra berperan dalam mengasah kepekaan nurani, sebuah kontribusi yang tidak bisa maksimal diberikan karya jurnalistik ketika wabah disajikan seindah warna aslinya, terkadang lebih memberikan dampak menakutkan daripada membangun optimisme. Kondisi ini bisa kita lihat ketika banyak media berlomba-lomba menyajikan data dan berita menakutkan, seolah kematian itu tak lebih dari statistik. Tanggung jawab jurnalistik seolah tamat setelah memindahkan data dan fakta ke ruang publik, lengkap dengan pernyataan pihak terkait meski terkadang terdengar lebih mencekam karena tidak ada solusi yang lebih optimis selain menyiapkan kuburan massal dalam menghadapi wabah. Dampak psikologis terhadap masyarakat umum, apalagi terhadap keluarga pasien, dari model pemberitaan seperti itu, jauh dari pertimbangan.

Tentu saja kita tidak sedang menghadapkan antara jurnalisme dan sastra sebab keduanya memiliki peran berbeda. Sastra tidak bisa menggantikan peran jurnalisme begitu juga sebaliknya. Itu sering disampaikan para ahli dari kedua bidang tersebut.    

Dalam beberapa jenis produk jurnalistik seperti feature, ruang untuk membangkitkan empati dan mengasah nurani memang lebih luas. Banyak fakta yang bisa diekplorasi dengan pendekatan berbeda sehingga mampu membangkitkan empati, semangat untuk sembuh, serta kekompakan melawan virus. Namun di tengah disrupsi teknologi digital yang mengagungkan kecepatan, statistik, dan terkadang mengabaikan akurasi, jenis karya jurnalistik seperti ini  semakin ditinggalkan, kecuali di beberapa media yang bahkan menggelar karpet merah di halaman utama.[]

Oleh: Ayi Jufridar (Penulis dan penikmat sastra. Dosen dan Kabid Informasi dan Publikasi di UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh)


Berita Lainnya

Kirim Komentar