Wabah dan Arah Langkah Pendidikan

SHARE:  

Humas Unimal
Khairun Nisa, Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Malikussaleh. FOTO; IST

Hari ini orang orang diseluruh dunia menjalani kehidupan seperti di Athena kuno atau florensia abad pertengahan karena mereka tahu bahwa mereka akan jatuh sakit dan mungkin mati di pekan berikutnya jikalau suatu saat corona virus desease 2019 atau covid-19 tiba tiba meletus di negeri- negeri mereka dan menghancurkan keluarga mereka dalam sekali sambar. Kekhawatiran dan ketakutan yang tiada henti melambai lambai dialam pikiran manusia di seluruh penjuru dunia.

Mengutip tulisan Yuval noah Harari di dalam bukunya Homo deus, wabah yang paling terkenal yang dinamai black death atau maut hitam meletup pada dekade 1330, di suatu tempat di Asia timur atau tengah, ketika bakteri penumpang kutu Yersinia pestis mulai menginfeksi manusia yang digigit kutu. Balck death begitu cepat menyebar ke seluruh Asia, Eropa dan Afrika utara, dan hanya dalam waktu kurang dari dua tahun 75 juta sampai 200 juta orang mati, lebih dari seperempat populasi Eurasia saat kondisi kritis itu melanda dan tentu kita tidak ingin kejadian serupa terulang lagi.

Begitu pun kondisi kritis ini juga dirasakan sebagian besar masyarakat aceh, bagaimana tidak konsekuensi yang akan di terima adalah kehilangan anggota keluarga bahkan kehilangan nyawa diri kita sendiri, tentu kita berharap aceh terlepas dari kejadian di Asia timur ribuan tahun silam.

Wabah covid-19 tidak datang dengan mengetuk pintu atau berpamitan dengan mengucapkan salam terlebih dulu, ketiba tibaan ini menjadikan seluruh unsur masyarakat atau pemerintahan berlagak linglung dan terkesan gelagapan dalam menangani kasus wabah baru ini, dan wajar saja ini mengguncang seluruh sektor tak terkecuali sektor ekenomi dan pendidikan yang ada diaceh, melihat aceh berada di peringkat 2 termiskin di daerah sumatera dengan presentase 0,87 persen di akhir tahun 2019. Di sektor pendidikan sendiri aceh termasuk daerah yang masih sangat kurang terkait agresifitas literasinya, tentu ini akan menjadi serangan tambahan dalam menangani kasus covid-19.

Belakangan Mendikbud RI Bapak Nadiem makarim telah mengeluarkan peraturan untuk seluruh pelajar dan tenaga pengajar untuk melakukan kagiatan belajar mengajar dirumah dengan menggunakan sistem daring sebagai salah satu konsep pencegahan penyeberan kasus covid-19 di Indonesia, dalam implementasinya sendiri masih banyak hal yang harus di cermati serta kesiapan masyarakat mengikuti kebijakan kelas daring tersebut.

Tenaga Pendidikan dan Segala Kekebalannya

Kegiatan belajar mengajar tentu harus mempunyai sumber daya ilmu yang signifikan dari tenaga pengajar untuk di berikan kepada peserta didiknya, ini menjadi hal yang harus kita sepakati bersama dan tidak ada nilai toleransi diadalamnya. Di era revolusi industri 4.0 saat ini sudah seharusnya tenaga pengajar paham betul dalam menggunakan media IPTEK untuk proses belajar mengajar dan itu adalah syarat wajib. Mirisnya, ada sebagian tenaga pengajar di era kontemporer seperti gagap dalam memperdayai fasilitas yang di lahirkan era dan di sediakan Negara, seperti mengakses laptop, jaringan nirkabel serta perangkat lunak/keras lainnya.

Aceh sendiri masih sangat rentan dengan fenomena seperti itu, imbasnya disaat daerah mengalami krisis seperti saat ini tenaga pengajar kesusahan kerja dari rumah, pendidikan kesulitan,artinya pendidikan tidak sesuai zaman dan tenaga pengajar terkesan kebal terhadap pembaharuan pembaruan yang akan dan sudah terjadi ini. Namun bak gayung bersambut, PJJ (pembelajaran jarak jauh ) harus sudah kita laksanakan hingga hari ini tanpa kesiapan SDM yang memadai, alhasil apakah ini dosa para tenaga pengajar? mungkin tidak akan kita pukul rata semacam itu, semua elemen masyarakat harus turut merasakan kepedihan para tenaga pengajar sebagaimana tuntutan dari pemerintah yang mereka pikul.

Menurut pengamat pendidikan dari Center of Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji mengatakan Dampak krisis pandemi corona yang dialami sektor pendidikan, kata Indra, bukan berarti pemerintah harus membuat kurikulum darurat corona seperti yang dikehendaki Mendikbud Nadiem Makarim. Ia berpendapat kurikulum sekarang sebenarnya bisa diberdayakan untuk pembelajaran jarak jauh. Namun yang menjadi kendala ada pada kemampuan pemahaman tenaga pendidik dan keterbatasan fasilitas.

Menurut pengamatannya guru belum memaksimalkan kurikulum dalam mengajar di sekolah. "Setiap tahun anggaran pendidikan bisa sampai Rp500 triliun, tapi kok pembelajaran daring saja begitu kacau. Artinya anak-anak Indonesia tidak siap menghadapi abad 21," .Akibat kurangnya pemahaman terhadap kurikulum yang didesain pemerintah pusat, ia menilai guru hanya mengajar sesuai pemahaman masing-masing.

Dalam hal ini Dinas Pendidikan daerah harus memandu tenaga pengajar dan orang tua dengan petunjuk teknis yang jelas untuk membimbing anak belajar di rumah dan pemerintah jangan seakan akan hanya memberikan intruksi dan kebijakan namun dalam ranah implementasi tidak ada pengawalan serta pemanduan yang maksimal, jangan biarkan pendidikan kita di aceh chaos.

Ekonomi dan Budaya

Aceh dengan kekhasan ekonomi dan budayanya sendiri tentu mempunyai karakter daerah yang berbeda dengan daerah lain yang ada di Indonesia, banyak daerah pesisir dan dataran tinggi di aceh tidak terjamah secara simultan oleh kebijakan pemerintah pusat, dengan segala akses yang terbatas banyak mahasiswa dan siswa di beberapa daerah di aceh  semenjak di berlakukannya PJJ oleh pemerintah pusat menuai beberapa kemeralatan, tidak terkecuali dalam hal fasilitas ekonominya, beberapa mahasiswa terpaksa naik gunung, bukan untuk mengangkat senjata seperti beberapa tahun silam, ini hanya sekedar untuk mengikuti daring class dari perguruan tinggi mereka, miris memang di saat beberapa daerah sudah mampu menikmati jaringan nirkabel dengan gratis masih ada saja daerah yang harus mendaki daki hanya untuk sekedar jaringan internet.

Sadar atau tidak masyarakat diaceh tidak semuanya berpenghasilan menengah keatas, ada beberapa kelompok masyarakat di aceh terisolir dari segala bentuk hedonisme dunia dan masih berharap atas kuasa tuhan terhadap alamnya, seperti berladang/bertani atau melaut/nelayan, tentu sangat berat harus memenuhi fasilitas buah hatinya untuk sekedar mengikuti kelas daring seperti laptop, hp yang canggih, bahkan sekedar membeli kuota internet.

Lucunya budaya juga memperngaruhi tingkat efektivitas pjj atau sekolah daring dari pemerintah pusat. Hal dogmatis seperti belajar harus di sekolah menjadikan sekolah daring terabaikan. "Kultur kita itu tidak bisa belajar mandiri, harus ada guru. Ketika tidak ada guru belajar dari rumah dianggap libur bukan sekolah di rumah”. Orang tua pun terbiasa mengandalkan pihak eksternal, mulai dari sekolah hingga bimbingan belajar, dalam mendidik anak. Akhirnya terjadi kebingungan ketika proses belajar terpaksa dilakukan di rumah

Merujuk data dari KPAI Komisi Perlindungan Anak Indonesia menerima setidaknya 213 keluhan siswa soal tugas menumpuk selama PJJ serta data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendapati 58 persen anak mengaku tidak senang menjalani program Belajar dari Rumah. Tentu ini momok berbahaya bagi sektor pendidikan di Indonesia khususnya di aceh, jika isu covid-19 terus berlanjut sampai ambang batas waktu yang tidak diketahui.

Artinya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan program belajar dari rumah. Salah satunya terkait kondisi ekonomi dan budaya masyarakat. Dari sisi ekonomi pembelajaran daring tidak bisa dilakukan merata, karena masih banyak siswa yang tak memiliki akses terhadap teknologi, atau tak mampu membayar biaya belajar daring. Sedangkan dari sisi budaya, masyarakat kita terbilang linglung dalam menghadapi kondisi pendidikan yang sedemikian rupa tanpa ada persiapan serta edukasi dari pemerintah pusat dan daerah. Kita berharap segala elemen seperti pemerintahan, korporasi, akedemisi, dan organisasi organisasi masyarakat mampu membantu dalam hal moril dan materil ataupun memfasilitasi dan mengedukasi para orang tua serta peserta didik untuk menghadapai krisis wabah sehingga mengguncang stabilitas pendidikan di Aceh.

Khairun Nisa Mahasiswa FKIP Universitas Malikussaleh

 Artikel ini telah tayang di halaman baranewsaceh.co pada hari Sabtu, 25 April 2020.


Berita Lainnya

Kirim Komentar