Ketahanan Sosial Masyarakat Atas Politik Bantuan

SHARE:  

Humas Unimal
Kegiatan silaturahim lebaran Tim UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal di kediaman Rektor Unimal. Foto: Ahmad Al Bastin.

UNIMALNEWS | Teuku Kemal Fasya, Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.

Di tengah masa pandemi Covid-19, ketika bantuan langsung tunai (BLT) diperebutkan oleh banyak masyarakat, ada sekelompok masyarakat yang tetap teguh dan malu dianggap miskin.

Realitas itu terlihat dari sikap mama-mama di Alor, Nusa Tenggara Timur. Mereka dengan tegas menolak bantuan pemerintah terkait dampak Covid-19. Padahal jika dilihat dari penampilan dan konstruksi rumah yang mereka miliki, sangat layak menerima bantuan.

Namun alasan ibu-ibu tua itu yang membuat takjub, "Tuhan kasih mama dua tangan sepuluh jari untuk bekerja. Mama tak mau tak berkeringat tapi mendapat rahmat. Itu tanda tak bersyukur pada Tuhan yang sudah kasih Mama kesehatan.”

Kebijaksanaan lokal

Tentu kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Alor bukan serta-merta. Mereka masyarakat yang telah ditempa daun sejarah yang panjang. Peradaban mereka terentang sejak era megalitikum. Masyarakat Alor telah memiliki kebudayaan mapan sejak masa kuno. Mereka telah mengenal alat musik sejak ribuan tahun yang lalu, dikenal dengan nama Moko dan Nekara.

Meskipun ada yang menyebutkan bahwa alat musik itu berasal dari “wilayah utara”, dari peradaban Dong Son, Moko dan Nekara menjadi bagian dari spirit masyarakat Alor. Artinya, bunyi-bunyian ritmis dan melodius dari alat musik perkusi yang berbahan perunggu itu telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Alat musik itu melingkari dari sejak tradisi kelahiran hingga kematian. bahkan Moko menjadi bagian dari menjadi mas kawin (belis) masyarakat Alor.

Adapun Nekara berbentuk lebih besar dan berumur lebih tua dibandingkan Moko. Diyakini telah ada sejak 4000 tahun lalu. Alat musik Nekara ini juga populer di wilayah Bali, dianggap memiliki kekuatan magis dalam mengusir roh-roh jahat.

Secara etnomusikologis, keberadaan alat musik dalam masyarakat menandakan keterjalinan hidup untuk terus hidup harmonis dan adaptif. Masyarakat yang mengenal musik bukan masyarakat barbar dan kanibal. Instrumentalia musik itu bukan sekedar “instrumen” dengan tujuan rekreatif dan karikatif, tapi juga bertaut dengan makna filosofis, sosial-politik-ekonomis, hingga estetis. Musik digunakan dalam aneka tujuan sosial-ekonomi-politik masyarakat sekaligus merefleksikan kehidupan masyarakat yang lebih luas (Rebbeca Bodenheimer, 2019).

Resiliensi sosial

Apa yang terlihat dari masyarakat Alor itu adalah contoh bijaksana masyarakat yang punya daya tahan sosial yang kuat. Masyarakat yang resiliensif semakin sulit dicari. Di era seperti saat ini, ketika pendapatan ekonomi menurun, banyak masyarakat “tidak malu-malu” meminta dimasukkan sebagai masyarakat miskin atau “keluarga harapan”; sebuah eufemisme yang tak sedap dari praksis bahasa.

Memang tidak ada salahnya dengan bantuan sosial plus-plus itu. Pemerintah menyediakan anggaran tersebut sebagai konsekuensi turunnya tingkat produktivitas barang dan jasa secara nasional dan global ini. Semua negara mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, bahkan lebih buruk dibandingkan zaman malaise atau great depression 1930.

Sejak bulan Maret Pemerintah telah mengalokasikan anggaran bantuan langsung tunai (BLT) yang diambil dari Dana Desa, di samping Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan pangan nontunai (BPNT) yang telah diimplementasikan oleh Pemerintah Joko Widodo jauh sebelumnya. Tujuannya jelas mengurangi kemurungan ekonomi akibat pembatasan ruang produktif masyarakat oleh kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tentu mereka menjadi masyarakat yang paling dirugikan karena tidak memiliki tabungan untuk mempertahankan hidupnya secara wajar jangka panjang, berbeda dengan kelas menengah ekonomi urban Indonesia.

Anggaran PKH senilai Rp. 37,4 triliun menyasar kepada 10 juta keluarga miskin Indonesia, dan bantuan bahan pokok digelontorkan Rp. 43,6 triliun dengan target 20 juta KK. Program BLT ini sendiri adalah bagian skema perlindungan sosial dari negara  berbasis pemangkasan dana APBN sebesar Rp. 405 triliun untuk menangani wabah Covid-19 secara kompehensif kepada masyarakat yang kini masuk dalam kurva baru kemiskinan.

Namun tidak semua masyarakat menganggap ini hak. Ada yang dengan harga diri dan rasa malu tinggi tidak bersedia menerima bantuan. Mereka menganggap kriteria miskin oleh elite/negara tidak semata-mata sebuah kriteria sosial-ekonomi tapi pada saatnya bisa berstigma kultural. Penyebutan miskin berarti mereka harus siap dimasukkan ke dalam bagian kelompok yang dilemahkan dan bisa “dipermainkan” atas nama bantuan. Ketika penulis melihat mama-mama Alor dengan teguh hati menolak bantuan, meskipun petugas lapangan telah memaksa, adalah kemenangan sebenarnya masyarakat atas negara. Tanpa campur tangan negara, mereka bisa menunjukkan diri sebagai warga negara.

Teringat kembali buku Graham Hancock, The Lord of Poverty, bahwa di era modern, kemiskinan bukan semata kelemahan sosial akibat masyarakat tidak memiliki akses kepada sumber-sumber ekonomi, ekologi, dan politik, tapi menjadi alat yang dijalankan secara elitis dan manipulatif. Politik bantuan bukan untuk mengentaskan kemiskinan tapi menciptakan tuan kemiskinan baru, yang lebih dalam dan massif.

Buku itu menggambarkan bagaimana dana publik kemiskinan malah dikhianati di depan masyarakat miskin itu sendiri, dengan praktik korupsi yang melingkupinya. Bantuan global termasuk oleh lembaga-lembaga finansial dunia telah menciptakan gunung penderitaan bagi banyak masyarakat dunia ketiga. Di hari ini kita akan melihat skema itu kembali dilakukan oleh Bank Dunia, IMF, ADB, IDB, dll yang menawarkan proposal “bantuan kemanusiaan” dengan sistem pembayaran yang rumit. Akhirnya kadang bisa ditebak, lingkaran kemiskinan semakin parah, persis dialami negara-negara di Asia dan Afrika selama ini.

Bersikap percaya diri tanpa label miskin sebenarnya dimiliki oleh banyak suku bangsa di Indonesia. Mereka bisa hidup dalam harmoni dengan lingkungan dan alamnya permainya. Pengetahuan lokal memandu menjalani hidup secara sederhana, bermartabat, dan beridentitas. Masyarakat rural itu telah ratusan hidup dalam damai, jauh sebelum negara ini hadir. Sayang, politik pembangunan yang merusak hutan, sungai, bukit, dan ngarai menyebabkan foklore dan kebijaksanaan lokal (local wisdom) pelan-pelan sirna. Masyarakat yang bergembira dengan tradisi bertani, berburu, meramu, melaut, dan berkebun, tiba-tiba hilang daya menjadi buruh di tanah sendiri. Sungguh ironi!

 

Tulisan dipublikasi pertama kali di Media Indonesia, 28 Mei 2020.


Berita Lainnya

Kirim Komentar