Dilema PHK Akibat Covid-19

SHARE:  

Humas Unimal
Rapidah, mahasiswa Teknik Informatika Universitas Malikussaleh.

Oleh Rapidah

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK)  tidak terhindari selama wabah Covid-19 masih melanda. Perusahaan tak segan-segan  mengumumkan PHK massal, meskipun pemerintah telah mengimbau sebelumnya untuk tetap mempertahankan karyawan mereka selama pandemi Covid-19 terjadi.

Akan tetapi gelombang PHK massal menjadi simalakama yang sulit dihindari. Pasalnya PHK mengundang banyaknya pengangguran yang berakibat terjadinya wabah kemiskinan, akibatnya nilai otoritas negara akan turun dengan banyaknya masyarakat yang mengalami kemiskinan dan pengangguran.

Berdasarkan informasi Kementerian Ketenagakerjaan, total jumlah pekerja yang terkena PHK  sampai  Mei 2020 tercatat sebanyak 1,94 juta orang. Angka ini bisa dikatakan jumlah angka tertinggi dalam beberapa tahun terakhir, di mana pada tahun sebelumnya pada 2019 jumlah PHK hanya berkisar 20 ribu orang yang terdiri dari sektor tol dan ritel.

Sedangkan pada 2018 jumlah PHK sebanyak 3. 362 orang, sehingga dapat diperhitungkan jumlah PHK selama kurun 2015  - 2019 kurang lebih 1 juta pekerja. Angka ini jauh relatif lebih kecil dibandingkan dengan angka yang terjadi selama pertengahan tahun 2020 yakni 1,94 juta pekerja, dan jumlah ini terus berlanjut selama pendemi virus corona belum berakhir.

 

Bahaya global

PHK massal tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga melanda seluruh dunia termasuk di negara maju. Badai corona yang menyerang dunia usaha, berdampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi. Bahkan, banyak ahli memperkirakan akan terjadi pertumbuhan minus di sejumlah negara.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan 195 juta orang kehilangan pekerjaan di triwulan kedua 2020. Bertambahnya angka pengangguran terbanyak diprediksi terjadi di negara-negara Arab, yakni sebesar 8,1 persen atau setara PHK terhadap 5 juta tenaga kerja, kemudian Eropa sebesar 7,8 persen  sama dengan PHK 12 juta tenaga kerja, dan Asia Pasifik sebesar 7,2 persen  atau sama dengan 125 juta tenaga kerja (ILO, 2020). Angka ini bisa jadi lebih tinggi lagi jika gelombang kedua pandemi yang benar-benar terjadi.  

Kasus PHK yang merupakan ancaman bagi semua negara dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi agar tetap berjalan dengan baik. Pasalnya semakin banyak pengangguran yang terjadi maka semakin besar beban pemerintah dalam upaya penanganan kemiskinan dan pengangguran.

Tidak hanya itu, jumlah PHK juga akan memperburuk tingkat ekonomi masyarakat dan menurut Badan Kebijakan Fiskal (BKF) memperkirakan angka pengangguran bisa bertanbah 2,9 juta sampai 5 juta orang, berdasarkan simulasi yang dibuat pemerintah. Ancaman ini tentu saja tidak bisa dianggap remeh.

Penyebab terjadinya PHK selama Covid-19 pada 2020 ini umumnya karena sistem pasar yang tidak stabil akibat lockdown yang terjadi di berbagai negara. Selain itu, krisis kesehatan masyarakat juga memicu terjadinya PHK, karena tidak sedikit perkeja yang dirumahkan untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Selain itu, nilai kapitalisasi pasar juga semakin merosot sehingga aset perusahaan besar terus menurun. Karatina yang dilakukan di sejumlah negara membuat banyak perusahaan kesulitan mendapatkan bahan baku produksi, khususnya bahan baku yang harus didatangkan dari luar negeri.

Upaya penanganan wabah Covid-19 berimbas pada lapangan usaha masyarakat, maka solusi yang dapat ditempuh untuk sementara ini adalah mendukung program pemerintah agar Covid-19 segara berakhir secepat mungkin agar PHK tidak berlanjut.

 

Stimulus ekonomi

Selama pencegahan virus corona berlangsung, pihak pemerintah harus berupaya untuk meninjau peluang yang dapat membuka lapangan kerja usaha agar PHK dapat dihindari, seperti menurunkan harga gas industri, menurunkan harga atau biaya cukai kepada barang impor yang masuk untuk digunakan sebagai bahan baku industri dengan ketentuan memberikan pengawasan yang cukup baik guna agar terhindar dari mata rantai Covid-19.

Masyarakat juga dapat ikut berpartisipasi membantu pihak pemerintah dalam menanggulangi PHK agar tidak marak terjadi selama pendemi. Namun satu-satunya solusi yang terbaik ialah memutuskan mata rantai penyebaran secepat mungkin dengan memberikan biaya yang cukup kepada tim medis serta pengawasan yang lebih ketat kepada pendatang.

Stimulus ekonomi juga harus diberikan kepada dunia usaha untuk menekan biaya operasional dengan relaksasi atau pengurangan pajak dan kelonggaran cicilan kredit, meski kebijakan itu bisa menurunkan pendapatan negara. Namun pilihan sulit ini harus diambil pemerintah jika ingin dunia usaha bergairah kembali di tengah pandemi.[]

Rapidah, mahasiswa Teknik Informatika Universitas Malikussaleh. Dosen Pembimbing Lapangan Teuku Alfiady, M SP. 


Berita Lainnya

Kirim Komentar