Unimal Bersama Kemenkopolhukam Laksanakan Seminar Penanganan Penyelundupan Manusia

SHARE:  

Humas Unimal
Teuku Kemal Fasya, ketika menyampaikan tanggapannya dalam seminar "Diseminasi Penanganan Kejahatan Lintas Negara Penyelundupan Manusia" yang digelar oleh Kemenko Polhukam bekerja sama dengan Universitas Malikussaleh dan beberapa pihak lainnya, Lhokseumawe, Rabu (18/11/2020). Foto; Riyandhi Praza

UNIMALNEWS | Lhokseumawe – Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia  (Kemenko Polhukam) bekerja sama dengan Universitas Malikussaleh melaksanakan seminar dengan judul “Diseminasi Penanganan Kejahatan Lintas Negara Penyeludupan Manusia” di Aula Cut Meutia, Kampus Bukit Indah, Lhokseumawe pada Rabu (18/11/2020).

Di samping dengan Unimal, kegiatan ini juga berkolaborasi dengan Kementerian Hukum dan HAM, Polda Aceh, dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) Aceh. Kegiatan ini dihadiri sekitar 70 peserta yang terdiri dari Wakapolda Aceh, Asisten III Setdako Lhokseumawe, Dandim 0103 Aceh Utara, Wakapolres Lhokseumawe, Kepala Dinas Sosial Lhokseumawe, Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi Lhokseumawe, Direktur Polair Korpolairud Baharkam Polri, para camat di lingkungan Kota Lhokseumawe, Dekan FISIP Unimal, wakil dosen, asosiasi nelayan, panglima laot, dan beberapa geuchiek di Lhokseumawe.

Para pembicara dalam seminar ini adalah Achsanul Habib, Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri; Kombes Sony Sanjaya, Direskrimsus Polda Aceh; dan Herdaus, Kadiv Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Aceh. Adapun penanggap kegiatan ini adalah Masykur, Kelompok Ahli Pemerintahan Satgas PPLN; Gatot Subrato, Kelompok Ahli Keimigrasian, Satgas PPLN; dan Teuku Kemal Fasya dari Universitas Malikussaleh. Adapun yang menjadi moderator ialah Ramadansyah, Asisten Deputi Organisasi Internasional, Kemenko Polhukam.  

Seminar ini dilaksanakan sebagai respons atas kasus pengungsi Rohingya yang pada tahun 2020 telah mendarat dua kali di Aceh. Namun, dalam perjalanannya kasus pengungsian di Aceh bukanlah kasus yang alamiah. Ada modus perdagangan dan penyeludupan orang yang jika dibiarkan akan menjadi masalah keamanan dan kedaulatan nasional. Bahkan, selama ini keramahtamahan masyarakat Aceh dimanfaatkan oleh para sindikat kejahatan untuk memanfaatkan situasi. 

Achsanul Habib, dalam pemaparannya menyebutkan bahwa Indonesia belum menjadi negara penandatanganan Konvensi 1951 tentang pengungsian, jadi tidak bisa diminta pertanggungjawaban yang besar untuk menyelesaikan masalah pengungsi yang semakin lama semakin berular masalahnya. Menurutnya, UNHCR diberi wewenang oleh PBB untuk mengurusi warga asing yang terdampar, dan posisi Indonesia adalah membantu lembaga PBB itu agar masalah ini tidak semakin parah di Indonesia.

Sony Sanjaya dalam presentasinya juga mengingatkan bahwa masalah pengungsian yang terjadi selama ini bisa dianggap sebagai hal yang membuka potensi kejahatan dan kriminalitas. Dalam pemantauannya, kasus terdampar Rohingya di Aceh adalah modus perdagangan manusia, baik ketika ia berangkat, tiba, hingga ia kembali berangkat. Aceh tidak pernah menjadi impian pengungsi Rohingya. Selama ini, Polda Aceh telah mengusut dan menetapkan empat tersangka pada kasus penyelundupan manusia, dua orang Rohingya dan dua warga Aceh.

Herdaus, dalam tanggapannya mengatakan bahwa sejak bulan Juli hampir 400 orang Rohingya terdampar di pantai Lhokseumawe. Indonesia sebenarnya tidak memiliki kewajiban untuk mengurus hal tersebut, tapi atas dasar kemanusiaan mereka diterima. “Kita mudah terenyuh oleh air mata, tapi kadang itu menipu dan mempermainkan sisi kemanusiaan kita. Yang penting dilihat dalam kondisi ini adalah kedaulatan Aceh bersinggungan dengan masalah kemanusiaan, dan ditimbang mana yang lebih berhubungan dengan kepentingan bangsa," jelasnya.

Dalam seminar itu, perwakilan UNHCR yang hadir memberikan klarifikasi dengan mandat mereka dalam penanganan pengungsi di Indonesia. Hal itu terkait respons audiens tentang tanggung jawab lembaga PBB itu dalam menyelesaikan masalah pengungsi yang seakan tidak berujung.

Teuku Kemal Fasya, dalam tanggapannya menyatakan bahwa kasus Rohingya di Aceh adalah masalah yang sudah berlangsung lebih dari  satu dekade, ketika kasus ini membesar ke ruang publik, yang dimulai dengan kasus pertentangan etnis di negara Myanmar itu, hingga masalah ledakan pengungsian di Cox Bazar; pusat pengungsian terbesar Rohingya di Bangladesh. Ia juga meminta agar UNHCR sebagai stakeholder utama penanganan pengungsi bisa melaksanakan mandat kemanusiaan ini secara komprehensif, dan tidak melempar tanggung jawab kepada pihak lain. [ryn]


Kirim Komentar