Lingka Unimal Laksanakan Webinar Refleksi 16 Tahun Tsunami Aceh

SHARE:  

Humas Unimal
Webinar yang dilaksanakan oleh Lingkaran Kerabat Antropologi (Lingka) Unimal, mengenang dahsyatnya 16 tahun tsunami Aceh. Foto; Ist

UNIMALNEWS | Lhokseumawe - Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia (JKAI) bekerja sama dengan Lingkaran Kerabat Antropologi (Lingka) Universitas Malikussaleh melaksanakan diskusi online untuk mengenang dahsyatnya tsunami Aceh 16 tahun silam. Kegiatan itu dilaksanakan secara virtual pada Senin, (28/12/2020) melalui Zoom Cloud Meeting.

Kegiatan webinar yang diikuti oleh 100 peserta ini menghadirkan tiga narasumber,  yaitu Ketua Majelis Adat Aceh kota Lhokseumawe, Tgk Yusdedi;  Ketua Seuramoe Budaya, Zahrul Fadhi Johan; dan Dr Monalisa selaku Ketua Tim Pakar Jaringan Masyarakat Gambut Sumatera. 

Webinar ini dilakukan untuk mengingat kejadian dahsyatnya tsunami pada saat itu dan membuat generasi sekarang agar selalu waspada. Acara ini merupakan acara rutin yang dilakukan dan menjadi kegiatan penutup di akhir tahun. 

Gempa berkekuatan 9,1 skala Richter mengguncang laut Samudera Hindia 2004 silam. Pusatnya berada di 160 km arah barat, Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh dengan durasi kurang lebih 10 menit. 30 menit setelahnya gelombang besar setinggi 10-20 meter datang menerjang dengan ganasnya hingga mencapai daratan Afrika. ‘’Ratusan ribu nyawa melayang dalam sekejap dihantam ombak tsunami, musibah tersebut adalah musibah terbesar dan terdahsyat yang pernah terjadi,’’ ungkap Tgk Yusdedi, Ketua Majelis Adat Aceh kota Lhokseumawe.

Ia mengungkapkan, pascatsunami melahirkan perubahan sosial budaya pada masyarakat Aceh diantaranya ada faktor internal seperti pertambahan dan pengurangan penduduk dan juga nilai-nilai asli yang telah banyak hilang. Adapun nilai tersebut bersumber dari para tokoh yang telah meninggal dunia akibat korban keganasan tsunami. 

Ketua Seuramoe Budaya, Zahrul Fadhi Johan mengungkapkan faktor eksternal seperti munculnya perilaku-perilaku hedonisme, fenomena pengemis atau peminta-minta di perempatan jalan. Akibat banyaknya bantuan yang diberikan membuat masyarakat menjadi lebih malas untuk bekerja dibandingkan sebelum datangnya musibah tsunami di Aceh. Perubahan sosial pada Masyarakat Aceh pascatsunami bisa dilihat juga dari sisi politik, agama, ekonomi, dan juga kultural.

‘’Marilah kita bangkit dan memahami bahwa tsunami Aceh bukan sebagai kutukan melainkan sebuah bencana alam yang diberikan Tuhan untuk kita sebagai manusia agar bisa mengambil pengajarannya,’’ tuturnya.

Adapun pemateri ketiga memberikan sedikit cara yang dapat kita lakukan terhadap pencegahan tingginya gelombang tsunami yang datang dengan cara membudidayakan mangrove dan gambut. 

Dr Monalisa selaku Ketua dari Tim Pakar Jaringan Masyarakat Gambut Sumatera, mengungkapkan tumbuhan akuatik itu memiliki banyak sekali manfaatnya, antara lain untuk pencegahan tsunami dengan gelombang yang tinggi. ‘’Mangrove sendiri bisa mengurangi abrasi. Dampak tsunami akan bisa  lebih ditekan jika hutan mangrove masih ada. 

‘’Teruslah belajar dan jadikan musibah yang datang menghampiri sebagai pelajaran untuk kehidupan lebih baik,’’ pungkasnya.[tkf]


Kirim Komentar