Dr Rozanna Dewi: Mengembangkan Plastik Ramah Lingkungan

SHARE:  

Humas Unimal
Dosen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh, Dr Rozanna Dewi yang mengembangkan plastik ramah lingkungan berbahan baku sagu. Foto: IST.

SEBAGAIMANA perubahan iklim, sampah plastik menjadi isu dan kekhawatiran global. Bagi Indonesia, sampah plastik menjadi masalah serius karena menduduki juara dua—di bawah Tiongkok—sebagai negara penghasil sampah plastik. Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah plastik per tahun, dan 3,21 juta metrik ton di antaranya dibuang ke laut. Kasus kematian paus sperma dan temuan 6 kilogram sampah plastik dalam perut ikan paus di Pulau Kapota, Sulawesi Tenggara, cukup menjadi bukti nyata betapa lautan Indonesia menjadi tong sampah plastik terbesar di dunia.

Berbagai langkah dilakukan pemerintah dan pegiat lingkungan untuk mengurangi sampah plastik. Mulai dari kampanye, pengurangan penggunaan sedotan dan kantong plastik, pengelolaan limbah plastik, sampai upaya mengubah limbah plastik menjadi sumber energi.

Dalam irisan itulah, Dr Rozanna Dewi, mengambil peran. Darurat sampah plastik memberikan inspirasi bagi dosen Teknik Kimia Universitas Malikussaleh itu untuk mengembangkan plastik ramah lingkungan. Memulai riset tentang plastik ramah lingkungan sejak lama, Nona—panggilan akrab Rozanna Dewi—mendapatkan dana riset dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pada 2017 lalu.

Setahun berselang, Nona membangun PT Plastik Sago Teknologi yang memproduksi berbagai kebutuhan rumah tangga berbahan baku plastik ramah lingkungan. Sago yang dimaksud bukanlah sudut dalam bahasa Aceh, melainkan sagu dalam bahasa Inggris. “Kami ambil nama itu karena bahan bakunya sagu,” ungkap Nona kepada Ayi Jufridar dan fotografer Bustami Ibrahim dari Unimalnews, awal Agustus 2019 lalu.

Berikut perbincangan dengan Rozanna Dewi mengenai plastik ramah lingkungan dan obsesinya membangun industri di Aceh.

Baca juga: Sulhatun dan Mimpi Besar Asap Cair Tempurung Kemiri

 

***

Mengapa tertarik menggunakan bahan baku sagu?
Lebih mudah mendapatkan di Aceh dan di daerah lain di Indonesia. Sebenarnya masih ada bahan baku lain seperti singkong, kentang, atau jagung. Tapi ketiganya menjadi sumber makanan bagi manusia. Berbeda dengan sagu, pemanfaatannya sebagai sumber makanan mulai berkurang. Tidak  hanya di Aceh, di wilayah timur Indonesia pun, sagu mulai ditinggalkan sebagai sumber makanan.

Selain itu, sagu lebih mudah tumbuh di berbagai daerah di Indonesia. Kalau digunakan untuk memproduksi plastik ramah lingkungan, tidak akan mengurangi sumber makanan.

 

Penggunaan bahan plastik sudah sangat mencemaskan, ya?
Plastik memang sudah menjadi kebutuhan utama. Di satu sisi, kita tidak bisa menghindari penggunaan plastik untuk berbagai kebutuhan. Sementara daur ulang plastik belum menjadi sebuah gerakan masif, masih sangat rendah dibandingkan dengan limbah plastik yang kita hasilkan. Manajemen sampah di tengah masyarakat belum terbangun dengan baik. Penambahan biaya untuk kantong plastik, misalnya, malah menjadi sumber penghasilan baru, bukan menjadi bagian dari upaya membangun kesadaran untuk mengurangi penggunaan kantong plastik.

 

Kita memang tidak bisa menghindari penggunaan plastik karena berbagai alasan. Kehidupan yang dinamis dan praktis membuat plastik dibutuhkan di segala lini. Tapi penggunaan plastik bisa dikurangi.

 

Apa saja yang diproduksi PT Plastik Sago Teknologi?
Untuk sementara ini, hanya memproduksi berbagai kebutuhan rumah tangga seperti piring, gelas, pot bunga, mangkuk, dan sebagainya. Sebenarnya, kami juga mampu memproduksi kesing handphone dan saklar listrik atau sejenisnya. Tapi masih terhalang permodalan. Kami butuh mal atau cetakan yang masih mahal harganya.

Nah, kami ini ‘kan perusahaan startup. Karyawannya saja terbatas dan mereka mahasiswa yang dulu ikut bantu riset juga. Kami masih membutuhkan peralatan dan modal besar. Kami mengharapkan adanya investor.

 

Saat ini produksi di mana?
Masih di Batan, Badan Tenaga Nuklir Nasional (di Jakarta). Di sana ada orang kami yang mengawasi. Kalau saya ikut mengurusi produksi di Batan, butuh biaya tinggi dan tidak ekonomis harus bolak-balik ke Jakarta.

 

Berapa kapasitas produksi?
Ada dua jenis produk kami. Pertama, bijih plastik yang mencapai 300 sampai 400 Kg per bulan. Kedua, berbagai produk turunannya seperti piring,mangkuk, dan sebagainya. Kalau produk turunan sampai 5.000 piece per bulan.

 

Untuk produk turunan, dipasarkan di mana saja?
Kami sudah membangun komunikasi dengan beberapa minimarket waralaba di Aceh. Tapi mereka hanya fokus kepada produk makanan. Kalau minimarket lokal dan beberapa toko, sudah banyak yang memasarkan produk kami di seputaran Lhokseumawe dan Aceh Utara. Kami juga sering ikut di berbagai pameran. Beberapa lembaga sudah berjanji mengirimkan produk kami ke pameran.

***  

***

Baca juga: Muhammad Daud Nurdin: Intelektualisme Pengabdian

PT Plastik Sago Teknologi yang dibangun Nona dengan dukungan Kemenristekdikti, melibatkan alumni Teknik Kimia Fakultas Teknik Universtas Malikussaleh. Mereka sudah terlibat dalam riset bersama Nona sejak lama. CEO perusahaan kini dipegang Aldila Ananda dan Co-CEO, Zara Meutia. Keduanya alumni Teknik Kimia Universitas Malikussaleh.  

Nona berharap bisa memproduksi plastik ramah lingkungan tersebut secara massal. Mimpi besarnya, perusahaan tersebut berdiri di Aceh sehingga memberikan efek berganda kepada daerah. Selain memproduksi plastik ramah lingkungan, juga bisa mendukung pertumbuhan ekonomi dan memberikan lowongan kerja bagi generasi muda Aceh. Produk tersebut juga lebih sehat dan aman digunakan dibandingkan dengan plastik konvensional yang mengandung bahan kimia berbahaya.

“Kalau plastik yang kami produksi, bisa terurai dalam masa dua tahun. Bahkan bisa terurai dalam waktu setahun, tergantung kondisi tanah,” ujar alumni Universitas Sumatera Utara tersebut.

Menilik silsilah keluarga, Nona sebenarnya lahir dari keluarga politisi. Ayahnya, Tgk Ilyas A Wahab atau yang akrab disapa Abah, adalah politisi kawakan Partai Persatuan Pembangunan. Selain pernah menjadi anggota MPR dan DPR-RI, terakhir juga pernah menjabat ketua DPRK Lhokseumawe. Sedangkan ibundanya Hj Marliah, juga pernah menjadi anggota DPRK Lhokseumawe dari PPP.

 

Kenapa tidak terjun ke dunia politik?
Abah memberikan kebebasan bagi anak-anaknya untuk berkarier. Beliau tidak pernah memaksa harus berkarier di bidang politik. Saya memilih menjadi akademisi karena rasanya menyenangkan bisa berbagi ilmu, bisa melakukan penelitian yang berkontribusi kepada perkembangan industri yang ramah lingkungan.

 

Apa harapan terbesar dari plastik ramah lingkungan ini?
Seperti yang saya sampaikan di atas, ada pabrik besar yang bisa dibangun di Aceh yang bisa memberikan dampak luas terhadap ekonomi dan kesejahteraan, tetapi tetap ramah lingkungan dan tidak mengganggu kesehatan. Saya berharap ada pemasaran yang lebih luas. Ini industri padat modal. Kami yang baru mulai harus ada effort khusus dari pemerintah agar bisa bersaing dengan industri plastik konvensional. Tapi mimpi kami bukan semata kepentingan bisnis, juga lingkungan dan kesehatan. Ini yang membedakan kami dengan industri plastik konvensional.[]

Baca juga: Muhammad Suheri, Pernah Menjadi Pemanjat Kelapa, Kini Pengusaha Keripik


Berita Lainnya

Kirim Komentar