Politik Jokowi Untuk Menteri Agama

SHARE:  

Humas Unimal
Teuku Kemal Fasya,Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh

PENGEMUMAN menteri Kabinet Indonesia Maju atau kabinet Jokowi Widodo – Makruf Amin pada 23 Oktober lalu memang mengejutkan, meskipun beberapa nama terasa biasa saja. Salah satu yang paling mengejutkan adalah penempatan seorang mantan jenderal, Fachrul Razi, sebagai Menteri Agama.

Keterkejutan itu bahkan menjadi viral di media sosial. Di kalangan Nahdliyin, aktivis PMII dan Gerakan Pemuda Ansor, menyuarakan di media sosial tak habis pikir atas sikap Jokowi. Padahal Jokowi jelas bukan Gus Dur yang memiliki daya ledak tinggi ketika menyusun menteri dan nomenklatur kementerian. Jokowi sebenarnya terlihat lebih akomodatif dan pragmatis dalam menetapkan menteri kali ini. Tapi kekagetan rekan-rekan bisa dimengerti karena Nahdlatul Ulama terus menjadi bamper bagi Jokowi, termasuk di era vivere pericoloso kampanye lalu.

Sebenarnya situasi ini tidak perlu diratapi seolah-olah akan kiamat. Termasuk ketika Jokowi menetapkan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan hilangnya nama Susi Pudjiastuti dari Menteri Kelautan dan Perikanan. Susi tentu bukan perempuan biasa. Gebrakannya telah menjadikannya salah satu menteri paling menonjol di era pertama Jokowi, tapi toh tidak terpilih pada periode kali ini.

Tentu politik itu tidak bisa mencerahkan dan berwarna untuk semua orang. Politik itu bukan instragramable: semua orang harus masuk pada momen selfie dan tersenyum cheers. Penempatan menteri itu, sepragmatis apapun dalam pandangan netizen – kalau menggunakan istilah Rhenald Kasali kerumunan (crowd) – tetap memiliki nilai tersendiri dari perspektif Jokowi.

Tiga Jenderal
Sebenarnya Fachrul Razi bukan Menteri Agama pertama dari kalangan militer. Sebelumnya telah ada dua orang jenderal yang terpilih pada posisi itu. Pertama, pada 1978 Soeharto mengangkat Letjen Alamsjah Ratu Prawiranegara sebagai Menag. Keterpilihan Prawiranegara lebih mengejutkan pada saat itu, bahkan sang jenderal juga ikut bingung.

Meskipun demikian, Soeharto, sang presiden saat itu, memiliki pandangan yang jelas. Kemenag pada kabinet ketiganya itu diharapkan bisa mendekatkan umat Islam dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Saat itu baik dari kalangan NU dan Muhammadiyah masih mendua tentang Pancasila. Alamsjah kemudian menjalankan perannya dengan baik. Ia terus mendekati kalangan ulama besar NU sehingga akhirnya luluh. Pada Pada Muktamar di Situbondo pada 1984 NU bisa menerima Pancasila sebagai prinsip dasar kebangsaan. Pada muktamar itu Abdurrahman Wahid terpilih sebagai ketua PBNU. Sayangnya keberhasilan itu kembali sirna ketika Soeharto terlalu percaya diri mendorong Pancasila sebagai asas tunggal semua organisasi, termasuk ormas, melalui UU No. 3/1985. Akhirnya lagi-lagi kalangan umat Islam kembali melakukan perlawanan.

Kedua, ketika Soeharto pada Kabinet Pembangunan Keenam mengangkat Laksama Muda dr Tarmizi Taher sebagai Menag. Pilihan mengangkat Tarmizi Taher saat itu juga tidak populer. Ia berada di bawah nama besar Munawir Sjadzali sebagai menteri-pemikir yang saat itu telah melahirkan buku Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam? ketika masih sangat belia (1950).

Konsepsinya kemudian hari menjadi nalar yang dikembangkan oleh Nurcholis Madjid, Gus Dur, Ahmad Wahib, Djohan Effendi dll tentang Islam (multi)kultural dan bukan Islam politikal. Salah satu terobosan Munawir Sjadzali adalah membuat Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang bertujuan mencetak santri progresif, moderat, dan berwawasan keindonesiaan.

Jadi ketika Jokowi memilih Fachrul Razi sebagai Menag seharusnya bukan hal yang baru. Tujuan Jokowi kepada sahabat Luhut B. Panjaitan ini juga bukan sekedar menangkal radikalisme tapi juga penataan manajemen haji, industri halal, dan juga ekonomi keumatan – sesuatu yang memilki sinergi pada aspek akhwal al-syakhsiyah yang selama ini seolah-olah bukan urusan Kementerian Agama.

Nuansa Baru
Tentu dengan posisi menteri baru itu tidak serta-merta konstruksi final dari tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) Kemenag selama ini akan hilang. Program rutin seperti rapat penentuan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha; pembinaan pesantren dan madrasah; pengembangan kapasitas ormas Islam; dan konsolidasi perbendaharaan umat seperti wakaf, zakat, infaq, sadaqah, dll pasti tetap berlangsung siapapun Menagnya. Termasuk tidak akan ada banyak perubahan pada masalah hukum perkawinan, kecuali tentang batas umur kebolehan perempuan menikah menjadi 19 tahun. Dipastikan kementerian agama tetap akan menjaga semangat tradisionalisme (al-qadim), meskipun kita juga tunggu pembaruan (al-jadid) apa yang bisa ditawarkan sang menteri.

Sesungguhnya, tidak ada salahnya realitas umat Islam tradisional bahkan konservatif. Sebagian besar umat Islam di Indonesia juga hidup dalam ritualisme beragam dengan semangat tradisionalisme-rural. Yang menjadi permasalahan ketika muncul semangat ekstremisme dan radikalisme yang mempraktikan kekerasan khas urban dan menganggu kerukunan umat. Praktik kekerasan atas dasar pemikiran agama ini membuat demokrasi tidak bisa tumbuh dan berkembang. Pada level paling rendah ia bisa berwujud sikap eksklusivisme dan intoleran.

Di sinilah sang “menteri Aceh” (ia pernah mengatakan kepada saya bahwa ia besar di Kampung Merduati, Banda Aceh) ditantang untuk menunjukkan terobosannya. Problem sebenarnya seperti diklaim kalangan Nahdliyin bahwa ekstremisme dan radikalisme Islam itu tidak tumbuh di dalam pesantren salafiyah (atau NU), tapi bukan berarti tidak merambat pada pendidikan diniyah atau pesantren berdesain perkotaan lainnya.

Saat ini telah muncul pesantren salafy (nama lain dari Wahabi) yang bernuansa impor. Pendidikan ini tidak tumbuh dari komunitas sekitar dan turut meresahkan umat. Pendidikan model ini mengajarkan konsep puritanisme, eksklusivisme, dan intoleransi yang menolak kebudayaan, tradisi lokal, dan perbandingan mazhab di dalam Islam – sesuatu yang mustahil karena perbedaan mazhab, fiqhiyah, dan kalamiyah di peradaban Islam telah terjadi ribuan tahun. Perlu sikap tegas dari Kementerian Agama untuk bisa mengidentifikasi dan membina, serta tidak membiarkan realitas ekstrem itu berkembang. Melimpahkan problem ini kepada Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kejaksaan jelas kurang bijak karena bisa mengarah kepada sikap represif tanpa referensi. Hal itu juga sulit bagi mereka karena konsep penanganan tarbiyah dan ta’lim ada pada Kemenag.

Dengan menempatkan sang Menag berasal dari Mathlaul Anwar sebenarnya bisa memperkecil sentimen antara dua ormas Islam yang memiliki umat mayoritas di Indonesia; Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Memang sejak era reformasi Menag kerap dipimpin dari kalangan NU, tapi bukan berarti menjadi pola permanen. Siapapun Menagnya hendaknya terus bisa menjaga silaturahim dengan semua ormas, termasuk NU yang selalu menjadi pelopor untuk Indonesia yang plural dan menghargai kebinekaan.

Teuku Kemal Fasya, dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh. Dewan Pakar PW NU Aceh.

Dimuat di Serambi Indonesia, 29 Oktober 2019.


Berita Lainnya

Kirim Komentar