Elegi Jurnalis 2019

SHARE:  

Humas Unimal
TEUKU KEMAL FASYA Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh. Foto: Bustami Ibrahim

TAHUN 2019 bukanlah tahun yang baik bagi dunia jurnalisme. Mes­kipun dari rilis Reporters Wit­hout Borders pada 19 Desem­ber lalu menyebutkan jumlah wartawan di seluruh dunia yang tewas sepanjang tahun ini "hanya" 49 orang, dan me­rupakan "rekor" terendah se­lama 16 tahun belakangan, tetap saja sebuah elegi. Kema­tian wartawan terbanyak ada di Timur Tengah ketika ber­tugas di Yaman, Suriah, dan Afganistan. Ada 10 wartawan yang tewas di Meksiko, sebagi­an besar dihubungkan dengan mafia kartel narkoba.

Di dalam negeri, sketsa ke­kerasan yang dialami wartawan juga berwarna merah. Seper­ti dirilis catatan akhir tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 23 Desember lalu, ada 53 kekerasan yang dialami wartawan sepanjang tahun ini. Sebagian besar mereka menja­di korban polisi yang mencoba menghambat kebebasan pers. Jumlahnya mencapai 30 ka­sus (https://tirto.id/aji-catat-53-kasus-kekerasan-jurnalis-di-2019-didominasi-polisi-eoFl).

Jumlah kasus kekerasan di tahun ini ternyata melon­jak bersamaan dengan pesta demokrasi Pemilu Serentak 2019. Momentum paling ba­nyak mendera wartawan ada­lah ketika meliput aksi peno­lakan hasil Pilpres pada Mei dan aksi mahasiswa menolak pengesahan RUU KPK, RUU KUHP, dan sejumlah regulasi lainnya pada September 2019.

Kasus kekerasan juga tak ha­nya terjadi di ujung sana, di Bumi Serambi Mekkah kekerasan atas wartawan juga kerap terjadi. Kasus paling menggemparkan adalah yang dialami wartawan Serambi Indonesia, Asnawi Luwi. Ia menjadi korban pembakaran rumah pada 30 Juli 2019 dini hari. Asnawi dikenal sebagai war­tawan kritis yang kerap memberi­takan "dosa-dosa pembangunan" di Aceh Tenggara.

Pemberitaannya tentang proyek pembangunan jalan Muara Situlen-Gelombang, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro atau PLTMH Lawe Sikap, il­legal logging di lokasi PLTMH Lawe Sikap, tambang galian C yang merusak lingkungan, dan kasus perjudian menjadi pemberitaannya yang menye­gat sang pelaku (Tirto, 30 Juli 2019). Hebatnya, ia tak pernah gentar, meskipun telah men­dapatkan ancaman bunuh berkali-kali.

Pilar keempat rapuh

Kasus-kasus yang terjadi di atas menunjukkan bahwa ada­gium pers sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy) tidak tergeserkan. Meskipun kini di era revolusi digital muncul citizen journa­lism termasuk hadirnya media sosial yang digadang-gadang sebagai pilar kelima demokrasi, peran pers dan wartawan jelas lebih mulia. Jika media sosial dianggap sebagai opini "publik" yang tidak terikat pada kepen­tingan ekonomi dan politik- tapi terbantahkan dengan adanya fenomena buzzer, robot, dan netizen bayaran-pers jauh le­bih lama membuktikan dalam sejarah pemberitaan sebagai "penjaga kritis (watch dog) dan kritik sosial.

Hal yang membuat jurnalis "media riil" dianggap lebih ung­gul karena disiplin verifikasi yang telah membentuk watak kerjanya. Sehingga ketika me­reka memberitakan tetap tegak pada keberimbangan (cover both sides). Media pers dibesar­kan oleh sosok pemberi infor­masi dan fakta yang menyaring fakta keras atas realitas keku­asaan yang ada di sekitarnya, baik kekuasaan yang diproduk­si oleh negara atau non-negara. Tanggung jawab itu tidak diam­bil sekeras dan seketat para jur­nalis "media digital baru" atau aktivis media sosial. Terminolo­gi "publik" yang disebut dalam media sosial juga lemah. Mereka sesungguhnya gelombang mas­sa kebanyakan (the mobs), yang kerap luruh di dunia nyata dan hanya eksis di dunia maya, dan seringkali tak lebih dari para ke­rumunan (the crowds). Demo­krasi tidak dikembangkan oleh the crowds and the mobs, tapi oleh kelas menengah, termasuk wartawan sebagai pemberita.

Fakta hari ini para "jurnalis otentik" kerap merasa kesepian­dengan hadirnya "jurnalis abal-abal", yang hidup di siklus bisnis dan industri pengembang "fakta sekedar" (pseudo-fact), termasuk juga fakta dari penceria media sosial. Mungkin kita bisa memba­yangkan perih dalam lirih tokoh-tokoh wartawan bangsa: Asad Shahab, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Aristides Katoppo, atau Ging Ginanjar ketika melihat fe­nomena dunia pers digoda oleh pragmatisme dan post-truth.

Sosok di atas adalah warta­wan idealis yang meneguhkan diri pada jalur pemberitaan yang sehat, meskipun tidak populer dan jauh dari gemer­lap. Mereka kukuh pada pem­beritaan yang benar dan mem­perbaiki mutu bahasa. Mereka berjuang dengan pena dan mesin tiknya meskipun di se­berang sana ada sejumlah war­tawan yang berjuang untuk dompetnya atau menghamba pada tuan yang membuat pe­kerjaan media berada pada je­bakan patron-klien.

Pertanyaan ini kontras de­ngan enigma realitas wartawan, ketika wartawan hadir untuk membela kebenaran fakta, siapa pula yang akan membela warta­wan itu ketika ia diintimidasi, dianiaya, difitnah, dan dinista? Industri pers sudah banyak berubah. Beberapa media cetak besar telah runtuh dengan ha­dirnya revolusi industri media kontemporer, yang lebih cepat, indah, visualized, dan multip­latform, tapi tak ada yang bisa mengganti kerja spartan war­tawan era lalu. Mereka bukan hanya perlu membuat berita dengan cepat terkait tenggat (deadline), tapi juga mencerna dan menulis dengan tepat demi kepentingan publik dan demo­kratisasi informasi.

Stop viktimisasi pers

Maka pada situasi ini baik untuk merefleksikan apa yang telah dipahat dalam sejarah pers Asnawi Luwi, orang yang bekerja dengan pikiran dan mata hatinya untuk mengabar­kan kebenaran, tapi tidak men­dapatkan perlindungan atas pekerjaannya. Kasus yang me­nimpanya hingga menjelang tu­tup tahun ini masih gelap (dark number). Seperti juga data dari AJI Pusat di atas, bahwa war­tawan kerap menjadi korban bahkan oleh penegak hukum, sehingga menjadi anomali ka­lau kasus ini mudah terungkap tanpa tekanan publik.

Ketika kasus yang menimpa Asnawi ini tidak diulas dengan tajam dan mencari motif-motif kejahatan yang menimpanya, maka siklus kekerasan atas wartawan akan kembali ber­ulang. Pasti ada celah untuk terus melakukan viktimisasi kepada wartawan dan kemudi­an mencari dalil-dalil lain untuk menersangkakannya. Jika me­lihat pada gambaran wartawan yang menjadi korban kekeras­an, rata-rata terjadi di negara berkonflik yang pranata hukum tidak bertahta pada keadilan. Demikian pula, kekerasan pada insan pers terjadi di negara-negara yang indeks demokrasi­nya buruk. Pilar-pilar demokra­si dengan mudah diruntuhkan baik aparat negara, kekuatan bayangan, dan juga centeng-centeng kekuasaan.

Situasi ini akan terus buruk hingga titik takdir armaged­don: sangkakala dunia pers dan jurnalis, ketika industri pers dianggap tidak penting lagi akibat informasi bisa di­dapatkan dari mana saja dan siapa saja bisa memproduksi berita. Bagi saya, ini bukan dialektika yang sesungguhnya tentang masa depan pers.

Pers akan tetap diperlukan sampai kapanpun, meskipun bisa jadi ada perubahan ben­tuk dan pola sirkulasinya. Yang harus diubah adalah pandang­an publik atas pers, yaitu tetap menghormati mereka sebagai the guardian of news, penjaga beri­ta dan fakta, seberapa pun kita tidak suka akan beritanya. Di alam demokrasi, otoritas itu di­berikan kepada mereka yang ter­jaga ketika kita terlelap. Mereka bertahan melek demi menuliskan dan menyingkap kebohongan-kepalsuan-kekaburan, baik yang diproduksi oleh negara atau ma­syarakat. Jurnalislah yang men­jadi juri dan pencerahnya.

Seperti dikatakan filsuf Pe­rancis, Albert Camus, "Siapa pun yang melakukan kekeras­an terhadap kebenaran atau ekspresinya, akhirnya akan merusak keadilan, meskipun ia pikir sedang melayaninya. Dari sudut pandang ini, kita memahami bahwa pers itu revolusioner karena melawan perusak keadilan dan kebenar­an. Mereka tetap revolusioner sepanjang berada di jalur itu."

Selamat istirahat di sisa malam 2019 ini wahai jurnalis. Jangan lagi ada mimpi buruk. Semoga pagi hari tahun 2020 ada harapan lebih baik bagi insan pers dan pemberi­ta kebenaran.

TEUKU KEMAL FASYA (Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh)

> Artikel ini telah tayang di Halaman Harian Serambi Indonesia, Selasa 31 Desember 2019.


Berita Lainnya

Kirim Komentar