Karakter Kepemimpinan di Era Membangun Kebersamaan

SHARE:  

Humas Unimal
Dr. Herman Fithra, MT, ASEAN.Eng (Rektor Universitas Malikussaleh). Foto: Bustami Ibrahim

UNIMALNEWS - Di antara kebahagiaan-kebahagiaan yang saya dapatkan dari perjalanan sebagai Rektor adalah menghadirkan Plt Gubernur Aceh, Bapak Ir. Nova Iriansyah, MT pada acara workshop visi dan misi Universitas Malikussaleh 2020-2024 sekaligus meresmikan Migas Center Unimal (MCU), dan penyerahan MoU antara Pemerintah Aceh dan 15 Perguruan Tinggi se-Aceh pada Senin, 23 Desember 2019.

Sebenarnya telah lama Plt. Gubernur Aceh hendak hadir di kampus harapan rakyat Aceh ini. Beberapa kali kunjungan yang telah direncanakan harus tertunda karena ada kegiatan protokoler yang lebih mendesak yang harus direspons. Ketika akhirnya ada momentum peresmian MCU, ia langsung menyanggupinya.

MCU ini diharapkan menjadi pusat informasi, edukasi, sosialisasi, advokasi, layanan, pelatihan, dan riset yang berhubungan dengan potensi minyak dan gas, di wilayah Aceh dan kawasan regional. Pendirian MCU di kampus Unimal sangat dekat dengan sejarah migas di Lhokseumawe-Aceh Utara yang sempat digelari kota petrodollar.

Pemimpin spontan

Perkenalan saya dengan Nova Iriansyah telah berlangsung lama. Sebagai sarjana teknik dan bergerak di dunia konsultan, kami pernah bersinergi dalam beberapa pertemuan. Namun keintiman itu malah terjadi ketika ia telah menjadi pemimpin publik dengan rintisan karir sebagai politikus Partai Demokrat, wakil gubernur, hingga kini menjadi Plt. Gubernur Aceh.

Sebenarnya bukan kali ini saja beliau menjejakkan kaki ke Unimal. Ketika saya menjabat sebagai Dekan Fakultas Teknik, Nova telah hadir pada acara International Conference on Multidisciplinary Engineering (IcoMdEN), 23-24 Desember 2018 sebagai narasumber.

Bahkan pada acara workshop yang ia menjadi salah satu narasumber, dengan lugas Nova membicarakan tentang strategi bagi Unimal agar bisa terbang lebih tinggi sebagai salah satu kampus favorit, bukan hanya di Aceh tapi juga pada tingkat nasional. Tanpa harus menata kalimat menjadi rapi, ia juga berbicara tentang tantangan dalam membangun Aceh di situasi transisi seperti saat ini. Ia juga tak menutup mata pada kritik, dan menjadi pemimpin di Aceh harus siap dengan kritikan yang pedas, tanpa harus cepat marah-marah.

Seperti umumnya orang yang berlatar-belakang pendidikan teknik, Nova juga tangkas dan terukur berbicara tentang target pembangunan Aceh. Ia bicara secara kalkulatif, evidence based bukan dengan retorika bagaimana meningkatkan performa ekonomi Aceh yang saat ini "mungkin" terburuk di Sumatera. Ia mengatakan Pemerintah Aceh harus siap melakukan transformasi ekonomi yang berbasis investasi, meningkatkan produktivitas, mengurangi impor, dan meningkatkan ekspor untuk pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Aceh. Dalam kaitan ini, Unimal siap mendampingi Pemerintah Aceh untuk mewujudkannya.

Beliau ingin Aceh berada di jalur dan frekuensi yang sama dengan rencana pembangunan nasional yang dipimpin Presiden Joko Widodo, termasuk menyederhanakan birokrasi dan regulasi. Pendekatan omnibus law dengan mengangkat pasal-pasal yang bermasalah pada sektor perdagangan, investasi, dan penegakan hukum harus dilakukan.

Ternyata apa yang dilakukannya tidak hanya memberikan perhatian pada Unimal, tapi juga hampir seluruh kampus yang ada di wilayah Aceh. Ia melakukan perjalanan darat dari pesisir Barat-Selatan, Aceh bagian pedalaman, dan pesisir Timur-Utara menyapa kampus-kampus yang ada di sana. Ia merangkul semua kampus bak anak kandung.

Tak terlihat kecanggungan ketika ia bertemu dengan banyak orang. Ia mengenal banyak orang, tidak hanya pejabat berlevel eselon. Dari situlah saya melihat Nova mewakili sifat pemimpin populis, yang bisa dekat dengan banyak orang tanpa sekat-sekat sosial.

Spontanitasnya terasa. Plt. Gubernur Aceh ini memiliki ketahanan presentasi luar biasa. Ia sanggup berbicara hingga satu jam dan audiens tetap terjaga. Pada satu momen saat acara di Unimal, ia meminta panitia untuk menjaga pintu agar tidak buka tutup seenaknya. Ia merasa terganggu dengan peserta keluar masuk karena kelebatan cahaya di daun pintu.

Ia tak peduli sikapnya akan membuat panitia tidak enak hati. Tapi tegurannya itu mengajarkan tentang bagaimana harusnya memperlakukan acara seminar secara khidmat. Demikian pula ketika ia memberikan apresiasi kepada seseorang yang memiliki prestasi, ia pun tak tanggung-tanggung memujinya.

Harus bersatu padu

Tapi lagi-lagi, situasi Aceh memang belum cukup ideal saat ini untuk terbang tinggi. Apa yang terjadi di Aceh hari ini adalah resultant dari lemahnya governance dan minimnya komitmen pembangunan pada produktivitas dan pemerataan kesejahteraan. Tapi dengan kerja keras dan komitmen untuk berubah, bukan tak mungkin hal itu dapat dilakukan, in syaa Allah.

Berdasarkan DIPA pada 2020 mencapai Rp 37,1 triliun, Aceh bisa memiliki modal untuk mendapatkan berkah atau malah bencana. Berkah jika ada pola kepemimpinan yang kuat dalam mengelola anggaran secara bermartabat, berkeadilan, dan penuh amanat. Bencana jika anggaran tersebut menjadi bajakan dan dikelola dengan visi, misi, dan implementasi yang lemah serta minus partisipasi.

Anggaran itu bisa tidak berarti apa-apa jika tidak diinvestasikan pada program-program yang menyentuh kepentingan umat secara luas, termasuk perbaikan infrastruktur untuk insentif dan desain komprehensif pembangunan. Seturut dengan itu, investasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia Aceh juga harus dicanangkan dengan strategi yang sama, insentif bagi masa depan yang akan terlihat pada 5-10 tahun lagi.

Maka tak ada cara lain yang harus dilakukan kecuali mendukung kepemimpinan sekarang, meskipun sedang berada di cermin yang retak. Ada banyak tuntutan di hati masyarakat Aceh, agar sejajar dengan provinsi lain. Aceh perlu menemukan sisi unik dan unggul yang bisa dilipatgandakan dalam bentuk inovasi pembangunan dan kreativitas pengembangan. Makanya Aceh tidak bisa hanya mengandalkan industri ekstraktif, tapi melompat jauh untuk mencari ruang pengembangan pada sisi yang bisa terus lestari, baik ekologi, sosial, budaya, dan alam pemikiran masyarakat. Sisi lainnya yang mesti menjadi basis pengembangan Aceh tentu syariat Islam, sebagaimana Pak Nova katakan, kita harus bangga dengan syariat Islam yang secara eksplisit telah menjadi ciri negeri kita, Aceh tercinta.

Pada sosok Nova energi itu ditemukan. Tinggal dengan penuh keberanian ia menahkodai bahtera Aceh ini agar tidak sampai tergulung ombak dan tertimpa pasang ekstrem sehingga akhirnya karam di lautan. Tentu saja Nova Iriansyah bukan sosok sempurna. Juga pemikiran absurd jika mencari paket komplit kepemimpinan di situasi serba terbatas saat ini. Namun dengan kemauannya untuk belajar, kepemimpinan itu akan semakin terasah dan berkembang.

Seperti dikatakan mantan Presiden Amerika Serikat, "leadership and learning are indispensable to each other". Kepemimpinan era sekarang tidak lagi berbasis karismatisme atau DNA keluarga aristokrat. Setiap orang bisa mengembangkan daya kepemimpinan dengan belajar secara tekun dari detil-detil praktik kepemimpinan yang dijalankannya.

Semoga Pak Nova bisa mampu membawa Aceh agar tak lagi terjebak pada transisi yang berkepanjangan. Aceh harus bangkit, sekarang dan bersama-sama.

Dr. Herman Fithra, MT, ASEAN.Eng (Rektor Universitas Malikussaleh)

> Artikel ini telah tayang di halaman harian Serambi Indonesia pada Kamis, 2 Januari 2020.


Berita Lainnya

Kirim Komentar