Saatnya Aceh Focus Infrastruktur Produksi

SHARE:  

Humas Unimal
Prof. Dr. Apridar, S.E, M.Si, Guru Besar Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan dan Kelautan Universitas Malikussaleh. Foto: Ist

UNIMALNEWS - Infrastruktur produksi merupakan kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan dasar fisik pengorganisasian sistem struktur yang diperlukan untuk jaminan ekonomi sektor publik dan sektor privat sebagai layanan dan fasilitas yang diperlukan agar perekonomian dapat berfungsi dengan baik (wikipedia).

Agar pembangunan ekonomi data berjalan dengan baik, maka tahapan pembangunan harus dimulai dengan memperkuat fondasi dasar infrastruktur produksi. Fondasi ini tentu akan mampu menekan biaya produksi secara signifikan dan meningkatkan daya saing masyarakat.

Aceh menerima alokasi transfer ke daerah dan dana desa tahun 2020 berjumlah Rp 37,1 triliun. Anggaran yang begitu besar, apabila tidak diprioritaskan pada pembangunan infrastruktur produksi khususnya, maka kemungkinan Aceh bisa keluar dari pusaran garis kemiskinan akan jauh panggang dari api. Begitu juga, jangan sampai Aceh terbuai oleh kenikmatan kucuran anggaran yang begitu besar hanya untuk peningkatan kesejahteraan aparatur sehingga lupa dalam menciptakan program produktif yang berkesinambungan untuk membiayai berbagai kebutuhan operasional publik kedepan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta agar pemerintah daerah mengelola dana yang ditransfer pemerintah dengan efisien. Pasalnya, 70 persen alokasi dana dari total APBD digunakan untuk menanggung urusan pegawai ketimbang diperuntukkan bagi masyarakat dan infrastruktur. Sri Mulyani mencatat bahwa sekitar 13,4 persen dana APBD digunakan untuk perjalanan dinas. Lalu sekitar 17,5 persennya untuk jasa kantor. Total nilainya mencapai 31 persen dari APBD. Besar belanja pegawai, sementara itu, menyentuh sekitar 36 persen.

Jika ditotal dengan pos belanja sebelumnya, Menkeu berkesimpulan, sekitar 70 persen belanja APBD hanya digunakan untuk mengurusi pejabat daerah. Menurutnya, hal ini merupakan ironi karena masyarakat hanya mendapat sisa sekitar 30 persen atau sepertiganya saja. Ia mengatakan, porsi anggaran yang demikian harus diubah sehingga masyarakat mendapat manfaatnya.(https://tirto.id/emtP)

Pernyataan Srimulyani ini merupakan kondisi keprihatinan menteri keuangan terhadap efektivitas penggunaan uang negara. Pendapatan negara yang sebagian besar bersumber dari pajak masyarakat, seharusnya dikelola dengan baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dana tranfer dari pusat hendaknya semuanya digunakan untuk kepentingan publik jangka panjang. Agar ketertinggalan pembangunan dapat disejajarkan dalam waktu yang tidak terlalu lama, atau sebelum dana bagi hasil berakhir.

Untuk itu pengelolaan uang rakyat, tidak hanya dituntut sesuai dengan mekanisme pengelolaan keuangan yang baik dan benar, namun harus dapat meningkatkan produktivitas sehingga adanya kesejahteraan masyarakat yang meningkat dari tahun ketahun. Peningkatan produktivitas tentu tergambar oleh adanya pertumbuhan ekonomi yang masif yang dapat menekan tingkat penggangguran dan meningkatkan pendapatan masyarakat dalam jangka panjang.

Agar pendapatan masyarakat dapat meningkat, tentu harus didukung dengan infrastruktur produksi yang mumpuni. Dengan baiknya infrastruktur produksi, tentu akan akan mengundang para investor  untuk menanamkan modal pada berbagai sektor produksi. Bahkan sektor Usaha Menengah Kecil Mikro (UMKM) ataupun sektor informal juga akan lebih mudah untuk menjalankan usahanya secara mandiri dengan biaya yang murah dengan baiknya infrastruktur produksi.

Sudah saatnya Aceh harus fokus untuk pembangunan ekonomi jangka panjang. Jangan terlena dengan berbagai kegiatan rutinitas dengan alasan merawat perdamaian, sehingga kucuran dana aspirasi yang tidak mendukung pada peningkatan infrastruktur dasar serta untuk meningkatkan produksi jangka panjang perlu dipertimbangkan kembali.  Perkebunan sawit aceh yang begitu luas, belum didukung oleh alat pengolahan cpo yang mencukupi di berbagai daerah. Sehingga banyak sekali nilai tambah dan produksi turunan dari hasil sawit tersebut dinikmati oleh pengusaha luar. Begitu juga dengan kilang padi yang mampu mengolah beras dengan kualitas tinggi belum dimiliki oleh pengusaha Aceh di setiap daerah kabupaten kota. Sehingga banyak sekali gabah yang diangkut keluar untuk diproses kemudian dijual kembali ke Aceh dengan demikian nilai tambah lebih banyak dinikmati para pengusaha luar.

Untuk kebutuhan telur dan ayam buras Aceh selalu mengandalkan propinsi tetangganya secara rutin. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tersebut, dikarenakan Aceh belum memiliki pakan ternak yang mencukupi terhadap kebutuhan tersebut. Alam yang dianugrahi Allah Swt belum dikelola dengan baik untuk kesejahteraan rakyatnya. Kadang kita tersita waktu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang tidak mendasar. Bahkan sering disibukkan oleh pernyataan dan klarifikasi berita hoak.

Untuk menyahuti Revolusi Industri 5.0 ke depan, hendaknya masyarakat kita harus sudah femiliar dengan program artificial intelligence atau kecerdasan buatan, virtual reality, nano teknology, internet of thing, robotika, big data dan lainya. Berbagai istilah di atas di-era industrialisasi sekarang ini harus sejalan dengan infrastruktur produksi yang mesti disiapkan.

Faktanya sahagian besar kaula muda sekarang lebih senang nongkrong di warung kopi berjam-jam, ketimbang berinovasi dan berkarya serta meningkatkan intelektualitasnya di perpustakaan ataupun laboratorium. Layanan wifi yang ada di warung kopi lebih banyak digunakan untuk interaksi media sosial. Literasi masyarakat kita berada pada tingkatan 0,001 atau dengan kata lain hanya ada satu dalam seribu orang yang mau membaca buku secara serius.

Dari beberapa contoh kasus tersebut di atas, untuk memenuhi perangkat dasar dari produksi tersebut sebenarnya tidak menelan anggaran yang besar. Namun dikarenakan belum ditangani dengan baik dan fokus, sehingga cerita lama tersebut selalu terulang yang mengesankan Aceh belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Walau fakta menyatakan sumberdaya Aceh sebenarnya melebihi dari keperluan yang diperlukan. Kesamaan pandang dalam membangun perekonomi yang baik sangat dibutuhkan. Sudah saatnya "cosial cost" yang tinggi dengan alasan masa peralihan dari konflik Aceh masa lalu yang membuat para pengusaha tidak nyaman untuk berinvestasi di Aceh harus segera dicari solusi.

Pemerasan dengan cara penetapan biaya aneh-aneh terhadap berbagai kegiatan ekonomi harus disikapi dengan katagori kejahatan luar biasa demi untuk menyelamatkan rangkaian proses produksi yang lebih baik kedepan. Jangan sampai dinegeri syariah yang teduh dan nyaman masih ada kelompok yang menggunakan hukum rimba dalam kesehariaannya. Pemerintah harus dapat menjamin para pengusaha bahwa berinvestasi di Aceh saat ini sudah aman dan nyaman.

Kita harus dapat menyepakati bahwa yang menjadi tolak ukur dari aman dan nyaman berinvestasi di Aceh yaitu adanya peningkatan investasi yang dapat meningkatkan guliran perekonomian secara masif. Hal tersebut tentu akan meningkatkan serapan tenaga kerja dan pengurangan angka pengangguran dengan tingkat pendapatan masyarakat yang senantiasa meningkat secara bertahap.

Dalam mencanangkan pembangunan perekonomian yang hakiki, kita perlu bertekat bulat agar menghasilkan karya nyata bagi bangsa dan negara kita. Moga pembangunan infrastruktur produksi di negeri syariah ini juga harus sejalan dengan misi Islam itu sendiri yaitu menjadi rahmatan lil aalamiin.

Prof. Dr. Apridar, S.E, M.Si, Guru Besar Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan dan Kelautan Universitas Malikussaleh

> Artikel ini telah tayang di halaman Serambi Indonesia pada 07 Januari 2020.


Berita Lainnya

Kirim Komentar