Sengkarut SNMPTN

SHARE:  

Humas Unimal

Oleh Ayi Jufridar

Dosen Universitas Malikussaleh, Aceh.  

Seorang operator pengisian Pangkalan Data Sekolah dan Siswa di Aceh mengisahkan orang tua siswa mendatangi rumahnya sambil menangis karena anaknya tidak bisa mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Pasalnya, sekolah terlambat melakukan pemeringkatan dan tidak selesai sampai batas waktu yang sebenarnya sudah diperpanjang dari 8 Februari menjadi 10 Februari pukul 18.00 WIB. Padahal, siswa bersangkutan memiliki prestasi akademik yang memenuhi syarat menjadi calon prioritas di SNMPTN. Kelalaian sekolah membuat peluangnya tertutup sama sekali.

Itu bukan satu-satunya persoalan dalam proses SNMPTN tahun ini yang sedikit berbeda dengan tahun sebelumnya. Dalam kasus lain, masih ada siswa yang tidak melakukan registrasi di portal Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) sehingga gagal mengikuti SNMPTN. Ada juga kasus sekolah keliru melakukan pemeringkatan karena ada dua nama siswa yang sama sehingga merugikan siswa yang peringkatnya jauh lebih baik. Meski kepala sekolah bersangkutan sudah menyurati LTMPT, perubahan setelah finalisasi tidak bisa dilakukan sehingga siswa menjadi korban akibat kelalaian sekolah.

Kejadian lain, ada sekolah hanya mengisi data siswa dalam persentase sesuai dengan akreditasi mereka. Padahal yang benar semua data siswa harus diisi dan hanya pemeringkatan yang diisi sesuai dengan kuota akreditasi. Banyak sekolah menyebutkan informasi tersebut mereka dapatkan di kanal Youtube, padahal LTPMT tidak membuat tutorial tersebut.


Perubahan untuk kemudahan

Pemeringkatan pada PDSS memang baru tahun ini diserahkan kepada pihak sekolah karena dianggap merekalah yang menguasai prestasi akademik siswanya (jadi bukan memindahkan beban LTMPT ke sekolah). Sempat muncul kekhawatiran adanya permainan pemeringkatan di sekolah, dan itu sempat terjadi di beberapa sekolah meski kemudian diperbaiki. Untuk itulah dibutuhkan kejujuran di pihak sekolah dan operator serta pengawasan dari orang tua, siswa bersangkutan, dan semua pihak agar kesucian lembaga pendidikan tidak terkotori.

Sampai hari terakhir, jumlah sekolah yang mengisi data 17.512 sekolah, jumlah sekolah yang melakukan finalisasi 16.187, dan jumlah sekolah yang sudah melakukan pemeringkatan 15.711 sekolah. Sedangkan jumlah siswa terisi datanya 2.023.280, jumlah siswa yang datanya terisi dan memiliki akun LTMPT 1.320.454, dan siswa yang memiliki akun LTMPT dan melakukan simpan permanen akun serta terisi datanya 1.215.744 siswa (ltmpt.ac.id).

Belum diketahui persis jumlah siswa yang tidak bisa mengikuti SNMPTN akibat kesalahan dan kelalaian seperti di atas. Kuota siswa bisa mengikuti SNMPTN tergantung dengan akreditasi sekolah. Namun jika melihat perbandingan antara siswa yang terisi datanya dengan siswa yang simpan permanen akun sampai 60 persen lebih, terbayang betapa banyak siswa menjadi korban perubahan sistem penerimaan mahasiswa baru melalui jalur SNMPTN.

Sejak awal siswa harusnya sadar bahwa bila registrasi di poltarl LTMPT tetapi tidak melakukan simpan permanen, mereka tidak bisa mengikuti SNMPTN. Demikian juga bila siswa memiliki akun dan simpan permanen, tetapi sekolah tidak melakukan peringkatan dan finalisasi, siswa juga tidak bisa mengikuti SNMPTN.

 

Sosialisasi terbatas

Bila melihat sistem penerimaan mahasiswa baru yang disosialisasikan LTMPT, sesungguhnya sistem itu memberikan kemudahan, transparansi, serta pemanfaatan teknologi untuk efisiensi dan efektivitas. Namun mengapa perubahan yang dimaksudkan untuk kemudahan itu justru membuat siswa menjadi korban?

Sosialisasi dan promosi yang dilakukan LTMPT terhadap perubahan tersebut belum memadai karena alasan klasik, keterbatasan waktu dan biaya. Materi sosialisasi bersifat umum sementara persoalan yang dihadapi operator sekolah sangat teknis. Ketika operator bertanya kepada humas masing-masing universitas, mereka tidak memperoleh jawaban yang tuntas karena staf kehumasan tidak menguasai masalah teknis dan tidak pernah mengisi PDSS. Akhirnya, pertanyaan tersebut dilanjutkan ke LTMPT melalui kanal yang tersedia. Terkadang respon yang diperoleh demikian cepat, tapi tak jarang ada juga yang harus menunggu beberapa hari, sementara operator harus berkejaran dengan tenggat yang ketat.

Kerja sama antara siswa dan sekolah menentukan dalam keberhasilan pemeringkatan untuk bisa mengikuti SNMPTN. Beberapa sekolah berinisiatif melakukan login secara massal dengan beberapa pertimbangan. Selain memberi kemudahan bagi siswa, juga di beberapa daerah kualitas internet sangat buruk, apalagi menjelang injury time, untuk sekadar masuk ke portal LTMPT saja tidak bisa.

Mengingat masalahnya bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga menyangkut teknologi internet, pemerintah daerah dan sekolah ke depan harus mengambil peran lebih besar. Sejak awal, pemerintah daerah harus memastikan semua sekolah memiliki jaringan internet dan fasilitas komputer yang memadai untuk digunakan siswa. Penurunan kualitas dan kuantitas lulusan juga menjadi tanggung jawab daerah, sekolah tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri dengan fasilitas seadanya.

Penggantian kepala daerah dan diikuti kepala dinas juga jangan sampai mengorbankan agenda pendidikan seperti penerimaah mahasiswa baru. Ada sekolah yang mengganti operator di tengah jalan karena kepala sekolah ingin menempatkan orangnya di sana meski harus belajar dari awal.

Berbagai persoalan yang terjadi dalam proses penerimaan mahasiswa baru melalui jalur SNMPTN ini harus menjadi evaluasi bagi semua—terutama LTMPT dan sekolah. Jadwal pendaftaran yang dimulai 14 – 27 Februari dan tahapan lainnya, harus dipastikan sampai ke sekolah dan siswa. Pihak sekolah diharapkan bisa mendampingi siswa dalam setiap proses pendaftaran dengan memanfaatkan fasilitas sekolah. Dalam beberapa kejadian, siswa mendapat kendala ketika melakukan login melalui gadget tetapi lancar ketika menggunakan laptop. Masalanya, tidak semua siswa memiliki fasilitas tersebut.  

Metodologi sosialisasi tidak bisa hanya mengandalkan internet dengan menyebarkan informasi melalui situs semata. Kondisi dan fasilitas di daerah sangat beragam sehingga tidak semua sekolah bisa dengan mudah menyerap informasi secara daring.

Berbagai persoalan itu hendaknya menjadi pelajaran bagi semua pihak dan bisa diperbaiki dalam SBMPTN ke depan. Jangan sampai kasus serupa terjadi lagi sebab SBMPTN memiliki permasalahan yang lebih kompleks karena peserta jauh lebih banyak.[]

[Sumber: Serambi Indonesia]

 

 

 


Berita Lainnya

Kirim Komentar