Menangkal Hoaks di Kalangan Intelektual

SHARE:  

Humas Unimal
Webinar bertema "Literasi Digital untuk Pendidik" yang digelar Tular Nalar, mengundang dosen Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya, sebagai pemateri, Sabtu (19/6/2021). Foto: Ayi Jufridar.

HOAKS atau berita palsu menjadi sebuah risiko di tengah tsunami informasi melalui media digital ketika setiap orang memiliki kapasitas menyuplai informasi melalui media sosial. Infodemi atau pandemi informasi bukan hanya menyerang kaum berpendidikan rendah yang belum selesai dengan literasi, tetapi kaum intelektual juga bisa terpapar wabah hoaks tersebut.

Infodemi yang terjadi di kalangan intelektual disebabkan karena lemahnya daya kritis dan logika, terutama menyangkut  isu-isu tertentu seperti agama dan politik. Akibatnya, informasi-informasi yang tidak logis dan menyesatkan, langsung ditelan dan dibagikan kepada orang lain tanpa adanya disiplin verifikasi. 

Selain itu, sudah terbentuk asumsi negatif terhadap isu tertentu sehingga apa pun informasi yang benar setelahnya tidak akan dipercaya. “Jadi, tidak heran bila seorang guru besar pun bisa terjebak ikut menyebarkan berita bohong,” ujar dosen Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal, Fasya, ketika menjadi pemateri dalam webinar “Literasi Digital untuk Pendidik” yang digelar Tular Nalar, Sabtu 19 Juni 2021.

Penjelasan itu disampaikan Teuku Kemal Fasya menanggapi pertanyaan seorang peserta tentang hoaks yang melanda kalangan intelektual. Hoaks di kalangan terdidik dinilai lebih berbahaya dan tidak bisa diedukasi karena mereka lebih paham tentang literasi.

Untuk menangkal penyebaran hoaks, lanjut Kemal, juga dibutuhkan detail dari sebuah informasi. Dengan memeriksa kelengkapan informasi, orang bisa menemukan beberapa data atau informasi yang tidak rasional.

Strategi lain yang bisa digunakan untuk menangkal penyebaran hoaks adalah dengan mempertimbangkan  konsekwensi dan risiko dari sebuah informasi. “Bahkan terkadang sebuah informasi yang mengandung kebenaran pun, harus ditahan bila ada risiko yang lebih besar kalau menyebarkannya,” ujar Teuku Kemal Fasya.

Tidak hanya di Indonesia, hoaks juga bisa menyerang negara maju seperti dalam pemilu presiden di Amerika Serikat serta referendum Brexit di Inggris. Namun, Kemal juga menyebutkan hoaks gagal mempengaruhi even politik di sejumlah negara Eropa Barat.

Hal itu disampaikan Teuku Kemal Fasya ketika merespon pertanyaan wartawan di Lhokseumawe, Agam Khalilullah, tentang tsunami hoaks yang terjadi di Indonesia menjadi bagian dari sebuah rencana besar atau terjadi secara alamiah.

Hoaks menyusup ketika intekektual hanya peduli pada disiplin kajiannya, dan tidak mau belajar yang lain atau interdisciplinary. “Ketika kaum intelektual hanya peduli pada bidang keilmuannya saja, hoaks mudah masuk melalui bidang ilmu berbeda,” tutur Kemal dalam webinar yang dipandu Silfana Amalia.

Webinar tersebut didukung Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) bersama Tular Nalar, Maarif Institute, dan Love Frankie Dink. Kegiatan itu diikuti peserta dari kalangan guru, wartawan, dosen, mahasiswa, aktivis perempuan, juga pegiat #SteemLiteracy, sebuah komunitas literasi di platform Steemit.com yang berbasis teknologi blockchain dan cryptocurrency.  Edukasi serupa juga digelar di berbagai daerah lain di Indonesia.

Pegiat perempuan di Aceh Utara, Kasmoini, mengharapkan edukasi tentang literasi digital juga digelar kepada guru di pedalaman. “Saya mengajak beberapa guru di pedalaman, tetapi karena susah sinyal, mereka butuh waktu untuk mencari tempat yang sinyalnya kuat,” ujar Kasmoni yang juga menjadi pendidik.

Sementara Marini dari Universitas Malikussaleh mempertanyakan strategi edukasi literasi bagi anak-anak yang sekarang sudah sering memegang gadget. Ia mengharapkan adanya pelatihan khusus tentang tema itu.

Niken dari Mafindo menyatakan pihaknya siap bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menggelar edukasi digital, termasuk materi untuk anak-anak. “Anak-anak harus memiliki ketahanan sederhana dalam melakukan cek fakta. Kami memiliki banyak materi tentang itu yang bisa dipelajari,” ujar Niken.[Ayi Jufridar]

Baca juga: Mengelola Hoaks Pemilu Bernilai Edukasi

 


Berita Lainnya

Kirim Komentar