Sosok Pemimpin Bijak nan Tangguh

SHARE:  

Humas Unimal
Rektor Universitas Malikussaleh, Prof Dr Herman Fithra, ST, MT, Asean Eng. Foto: Bustami Ibrahim

TANTANGAN bagi pemimpin di era milenial saat ini lebih berat dibandingkan masa-masa sebelumnya, ditambah lagi dengan kondisi post-truth, situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan fakta-fakta yang obyektif.

Era milenial adalah era dimana suatu organisasi dikuasai oleh lebih banyak kaum milenial.

Istilah milenial pertama kali dicetuskan Strauss dan Howe dalam bukunya yang berjudul Millenials Rising: The Next Great Generation (2000). Istilah ini diciptakan tahun 1987 yaitu ketika anak-anak yang lahir tahun pertengahan 80-an dan mereka akan berada di awal millennium ketiga baru ketika lulus SMA.

Generation Theory yang dicetuskan oleh sosoolog Jerman, Karl Mannheim, yang menyebutkan generasi milenial adalah generasi yang lahir pada rasio tahun 1980 sampai dengan 2000. Kaum milenial memiliki karakter unik, salah satu ciri utama adalah peningkatan penggunaan teknologi informasi dan keakraban dengan dunia digital.

Kaum milenial yang dibesarkan oleh kemajuan teknologi, yang lebih kreatif, tidak terkukung pada satu pekerjaan, informatif mempunyai passion besar pada globalisasi dan produktif.

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat dewasa ini mendorong kaum milenial menggunakan smart phone. Penggunaan gadget ini sangat diperlukan untuk mendukung aktivitas harian dan menjadi lebih efektif dan efisien. Seiring meningkatnya populasi generasi milenial yang akan menyentuh 75% di tahun 2025, diperlukan pemimpin tangguh yang mempunyai kemampuan istimewa dan berbeda dalam memimpin masyarakat milenial.

Kehebatan dalam berpidato di ruang publik masih diperlukan, tapi penampilan wicara serba kompleks di dunia maya juga dituntut. Pemimpin saat ini tidak diharapkan banyak retorika, harus penampilan kaku, berengosan, tapi komunikatif dan bersedia melebur dengan anak-anak muda.

Kepemimpinan di Aceh

Pengertian “Leadership” sebenarnya mempunyai arti yang lebih luas dari sekedar jabatan atau posisi. John C. Maxwell mengatakan “Leadership is not about titles, positions, or flowcharts. It’s about one life influencing another”. Ada juga yang mengatakan bahwa “Leadership is about behavior” atau “Leadership is about relationships”.

Para pemimpin yang berhasil tentu melakukan proses ini dengan kepiawaian yang dimilikinya untuk berkomunikasi dan membina hubungan “mesra” dengan para pihak dan msyarakat.

Perkembangan teknologi yang begitu pesat di era milenial sekarang untuk menjadi pemimpin yang berhasil tentulah bukan hal yang mudah dengan tantangan yang semakin kompleks.

Akses komunikasi harus dibuka seluas-luasnya dan tanpa apa batas kasta, sehingga memudahkan terjalinnya interaksi dengan semua lapisan masyarakat yang memiliki karakter dan budaya yang berbeda-beda untuk menjawab permasalahan yang ada.

Aceh memiliki Gubernur dan Bupati/Walikota tahun definitif hasil pilkada tahun 2017 yang akan berakhir di pertengahan tahun 2022. Gubernur dan Bupati/Walikota ini sudah menjalankan kepemimpinannya untuk merealisasikan visi dan misi saat kampanye yang dituangkan dalam RPJM.

Hasil kinerja Gubernur dan Bupati/Walikota ini sudah dapat dirasakan dan dinilai oleh masyarakat secara objektif, sejauh hasilnya dan bagaimana manfaat buat masyarakat. Sisa waktu kepemimpinan mereka yang tinggal sekitar sebelas bulan lagi, seyogyanya kita semua mendukung Gubernur dan Bupati/Walikota agar dapat menyelesaikan semua tugas-tugasnya dengan penuh tanggungjawab.

Pelaksanaan Pilkada serentak di tahun 2024 dan berakhirnya kepemimpinan Gubernur dan Bupati/Walikota di Juli 2022 tentunya melahirkan pejabat Gubernur dan Bupati/Walikota. Dalam era milenial ini diharapkan pejabat gubernur dan bupati/walikota adalah yang memahami keinginan dan keperluan masyarakat secara umum dan khususnya kaum milenial.

Sosok bijak nan tangguh

Pada masa kemerdekaan, Indonesia memiliki Soerkarno seorang pemimpin yang gagah berani, mengusir penjajah, nasionalis, dan menolak imperialisme. Soekarno adalah sosok yang layak menjadi presiden pertama Indonesia karena memiliki profil dan karakter kuat yang diperlukan pada masa perjuangan kemerdekaan. Kemampuan dan kemahirannya untuk menyemangati publik tidak pernah diragukan, termasuk juga memberikan pidato dalam bahasa asing di forum-forum internasional.

Di era digital dengan pengaruh media sosial yang dan masyarakat sudah “bosan” dengan cara kepemimpinan yang formal, normatif, kaku, dan artifisial. Publik memerlukan pemimpin nasional apa adanya, sederhana dan merakyat tampilah sosok Joko Widodo.

Jokowi tampil sebagai presiden yang apa adanya, luwes, merakyat, tidak dibuat-buat, dan tidak ada jarak dengan rakyat, dengan konsep “blusukan”. Hal ini sesuai dengan keinginan generasi milenial yang mengharapkan pemimpin nasional yang tidak ada jarak dengan rakyat, merakyat, apa adanya, inovatif, kreatif dan interaktif serta akrab dengan dunia digital.

Memang juga ada kelemahan pada sosok Jokowi yang teknokratis, tapi siapa yang memiliki puzzle kepemimpinan serba sempurna saat ini?

Namun faktanya, kita kini berhadapan dengan generasi milenial sulit untuk didikte dan didoktrin, karena mereka memiliki perhitungan sendiri, mempunyai kalkulasi masing-masing, dan mendasarkan pilihan pada apa yang dilihat, didengar, dialami, dan diketahui, yang umumnya dari media sosial. Generasi ini akrab dengan teknologi informasi, internet, gadget, smartphone, dan komputer.

Dalam perspektif perilaku pemilih, pemilih generasi milenial tergolong pemilih yang rasional, bukan pemilih yang emosional dan bukan pemilih yang transaksional. Generasi milenial memiliki kedaulatan sendiri dalam menentukan kepemimpinan nasional di masa mendatang.

Sikap rasional pemilih milenial ini menjadi modal bagi masa depan demokrasi di Indonesia yang harus dijaga, dipelihara dan diberdayakan agar supaya mampu membangun demokrasi yang transparan dan akuntabel sehingga terpilih pemimpin nasional yang amanah.

Pada tahun 2024 Indonesia akan melaksanakan pemilihan kepemimpinan nasional, begitu juga dengan Aceh akan melakukan pemilihan Gubernur dan Bupati/Walikota secara serentak.

Sejarah telah menunjukkan bahwa setiap masa akan lahir pemimpin sesuai perkembangan zaman, kita mengharapkan agar Aceh melahirkan pemimpin dengan sosok bijak nan tangguh yang mampu menghadapi tantangan kemajuan zaman, tetap tegar dan kuat menghadapi fitnah dan cacian dalam era post-truth.

Adapun pemimpin yang baik adalah yang bisa menampilkan tata perilaku dan wicara yang teratur, tidak asal hambur di ruang digital. Jejak digital akan bertahan lama, akan memberikan kesan apakah ia sedang bersikap bijaksana atau tergopoh-gopoh dengan penuh amarah.

Publik dengan mudah menilai logika dan sintaksis kalimat diucapkan dan dengan mudah mengklasifikasi sang tokoh apakah sedang membicarakan visi kepemimpinan atau hanya seorang oportunis yang sedang menabung pulsa wicara di ruang publik untuk keuntungan pribadi.

Penulis: Prof Dr. Herman Fithra ST MT Asean Eng, Rektor Universitas Malikussaleh, Ketua Forum Rektor Aceh (PTN), dan Wakil Pokja Ideologi dan Karakter Bangsa Forum Rektor Indonesia

Artikel ini telah tayang di Harian Serambi (8/9/2021)


Berita Lainnya

Kirim Komentar