Pendidikan Harapan untuk Aceh Maju

SHARE:  

Humas Unimal
Rektor Universitas Malikussaleh, Prof Dr Herman Fithra Asean Eng. Foto: Bustami Ibrahim

Oleh Herman Fithra, Rektor Universitas Malikussaleh, Ketua Forum Rektor Aceh (PTN) dan Wakil Pokja Ideologi dan Karakter Bangsa Forum Rektor Indonesia

Setiap tanggal 2 September kita memperingati Hari Pendidikan Daerah (Hardikda) di Aceh dan tahun ini sudah berusia 62 tahun. Hardikda dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Aceh almarhum Ali Hashimy yang juga sebagai Gubernur Aceh saat itu. Penetapan Hardikda ini menjadi spirit pembangunan pendidikan menuju kemajuan di Aceh.

Tanggal ini selayaknya diingat sebagai hari pendidikan kita bersama dan tidak diklaim menjadi milik salah satu institusi pendidikan semata. Namun sayang, semangat untuk menjadikan tanggal 2 September sebagai hari pendidikan kita bersama masih belum terengkuh dayung. Tahun depan selebrasinya bisa berlangsung meriah di semua daerah.

Jurang harapan

Keinginan yang dicapai dalam pengembangan pendidikan Aceh masih belum sebangun antara das Sein dan das Sollen. Semangat dan energi yang dicurahkan untuk membuat dunia pendidikan semakin bermakna belum rapat dengan realitas sosial-budaya masyarakat Aceh.

Banyak ide yang belum aplikatif dan implementatif. Besarnya amanat konstitusi dalam “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang pasti mengarah pada memajukan “kesejahteraan umum; belum terlaksana. Dipercaya bahwa dengan adanya pengembangan kualitas pendidikan anak bangsa akan mengarahkan pada politik kesejahteraan yang lebih merata dan berasaskan keadilan.

Namun, amanat konstitusional itu dalam berbagai kebijakan dan arah pembangunan nasional yang begitu didengungkan itu belum efektif, termasuk di Aceh yang memiliki Undang-undang Pemerintahan Aceh No. 11 tahun 2006 yang mengatur tentang pendidikan dengan semangat “lex specialis.”

Pada pasal 215 ayat (1) UUPA disebutkan, “Pendidikan yang diselenggarakan di Aceh merupakan satu kesatuan dengan sistem pendidikan nasional yang disesuaikan dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan masyarakat setempat.” Kemudian pada pasal 216 ayat (1) disebutkan pula, “Setiap penduduk Aceh berhak mendapat pendidikan yang bermutu dan Islami sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.”

Pada pasal 215 yang disebutkan di atas menunjukkan sistem pendidikan di Aceh, seberapa pun lex specialis-nya tetap mengacu kepada Sistem Pendidikan Nasional seperti yang tertuang di dalam UU No. 20 tahun 2003. Nilai-nilai filosofis, pedagogis, dan politis yang terdapat di dalam UU Sisdiknas itu adalah nyala api pendidikan nasional yang harus menjadi panduan hingga tingkat pendidikan di daerah.

Bahkan dalam UU yang hadir lima tahun pascareformasi itu dengan tegas menyebutkan bahwa 20 persen dana pembangunan nasional harus ditujukan kepada pembangunan sistem pendidikan nasional yang kuat, sehat, berdaya, dan tentu saja mencerdaskan anak bangsa. Sistem pendidikan nasional harus mampu membawa semangat penguatan karakter dan moralitas bangsa, termasuk penguatan pada nilai-nilai spiritualitas, bukan semata intelektualitas dan vokasionalitas.

Politik pendidikan

Hal yang paling disorot adalah pada politik pendidikan di Aceh. Legacy sudah diberikan oleh tokoh-tokoh Aceh terutama di tingkat nasional dengan berhasil menambah nilai dari Dana Otonomi Khusus yang salah satu peruntukannya adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Aceh. Demikian pula dengan beasiswa yang semakin hari semakin luas dirasakan oleh elemen masyarakat, dari sejak pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.

Demikian pula kebijakan penegerian perguruan tinggi di Aceh. Dengan adanya kebijakan nasional untuk menegerikan perguruan tinggi yang sebelumnya dikelola oleh swasta dan pemerintah daerah membuat mutu dan kinerja PTN baru dari swasta itu semakin menjanjikan, bahkan bisa berkompetisi dengan PTN provisinsi lain secara nasional.

Pilihan ini awalnya memang dianggap sebagai upaya untuk memperkuat perdamaian Aceh. Namun perdamaian tidak akan berarti tanpa kesejahteraan dan keadilan. Dua dimensi terakhir itu hanya mungkin terisi ketika politik pendidikan dijalankan sebagai peningkatan mutu sumberdaya manusia.

Namun politik pendidikan Aceh ini dirasa saat ini mengalami stagnasi dan bahkan regresi. Hal yang paling terasa adalah tidak berdaurnya energi pendidikan menjadi kekuatan untuk kemajuan dan kegemilangan. Hal yang perlu ditempuh bersama-sama para pemangku kepentingan adalah mengarahkan politik pendidikan Aceh kepada lompatan-lompatan jauh lagi secara nasional.

Perbesar pendidikan harapan

Yang belum disadari banyak oleh sebagian besar masyarakat di Aceh adalah besarnya daya pengaruh pendidikan dalam membangun harapan. Pendidikan sesungguhnya jalan transformatif untuk membuka selubung-selubung misteri terkait dengan kekuatan, enigma, intelejensia, dan nilai-nilai revolusioner yang bisa diterapkan di dalam kehidupan. Pendidikan bisa memanjati nilai-nilai idealis agar mampu berkorespondesi dengan realitas pragmatis kehidupan.

Selama ini lingkar keputusasaan dan rendah diri terjadi karena sebagian besar masyarakat tidak terdidik sehingga gagal memanfaatkan potensi ekonomi, demografi, ekologi, dan politik yang dimilikinya untuk kemajuan dan kebahagiaan.

Pendidikan sesungguhnya memberikan harapan untuk keluar dari kesumpekan dan ketertindasan. Tidak ada jalan lain untuk membangun optimisme selain dengan memajukan pendidikan harapan (pedagogy of hope) dalam setiap satuan dan jenjang pendidikan. Hal itu bisa dijalankan jika digerakkan oleh hati yang bersih dan ingin membantu.

Pendidikan harapan dirancang untuk menghadapi masalah dan bukan malah menghindarinya. Kecerdasan diuji untuk melewati kerumitan dan rasa sakit. Keterbatasan adalah laboratoriumnya dan hasrat untuk berubah adalah alat praktiknya.

Tanpa ada ujian dan latihan untuk menyelesaikan masalah, maka peserta didik akan berada pada situasi manja dan malas; dua indikasi yang bisa mengarah kepada kemunduran potensi ekonomi-sosial-kultural masyarakat.

Harus muncul pemahaman untuk memberikan pelayanan pendidikan untuk semua (education for all!). Politik pengembangan pendidikan harus dijalankan dengan semangat demokratis, yang dalam taraf tertentu harus memberikan afirmasi kepada kelompok yang selama ini kurang terakses pendidikan. Timbangannya tentu saja bukan kuantitas etnis, tapi representasi untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang ditinggalkan dalam sistem pendidikan di Aceh.

Gerenasi Aceh ke depan harus dipersiapkan menjadi generasi yang efektif dan efesien, yang bisa menjadikan setiap aktualitas kerja dan baktinya sebagai modal untuk membangun Aceh lebih baik. Kita impikan masyarakat Aceh menjadi civil society yang secara etika dan adab berpartisipasi di dalam pembangunan dan mampu menyumbangkan pemikirannya yang konstruktif dalam memajukan bangsa; bangsa Aceh sebagai salah satu penerus peradaban dunia.  Hal itu hanya mungkin hadir melalui sistem, mekanisme, strategi, dan politik pendidikan yang komprehensif dan terencana.

Gagasan yang pernah disampaikan oleh Paulo Freire, tokoh pedagogi dari Brazil, 50 tahun lalu, tentang pendidikan harapan (The Pedagogy of Hope) layak untuk diapropriasi kembali.

Memang deru derap pendidikan yang tidak menjulang selama ini adalah resultante dari krisis ekonomi dan pembangunan, lapisan konflik, dan ketidaktuntasan perdamaian. Namun jangan sampai memutuskan semangat untuk maju. Pendidikan harapan yang bisa dikembangkan adalah terus menyalurkan energi positif dalam pendidikan sembari mengingat pemikiran filosofis dari pemikir dan pendidik Aceh yang menyebabkan kita pernah menjadi bangsa maju di antara bangsa-bangsa lain di dunia.

Artikel ini telah tayang di halaman harian Serambi Indonesia, Selasa, 28 September 2021


Berita Lainnya

Kirim Komentar