Prof. Dr. M. Sayuti: Belasan Tahun Meneliti Cetakan Bergetar

SHARE:  

Humas Unimal
Guru besar Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh, Prof. Dr M. Sayuti, meneliti tentang cetakan bergetar selama belasan tahun. Foto: Dok.Probadi.

PENGUKUHAN  Dr M. Sayuti ST MSc sebagai guru besar pada 14 Juni 2021 menjadi salah satu rangkaian kegiatan puncak Dies Natalis Universitas Malikussaleh ke-52. Prosesi pengukuhan berlangsung sederhana di tengah pandemi Covid-19 yang masih melanda. Tidak ada kemeriahan berlebihan, semuanya berlangsung khidmat tanpa meninggalkan makna yang dalam, tak jauh-jauh dari tema Dies Natalis; “Berkhidmat Pada Nalar Budi, Membangkitkan Spirit Keberagaman Bagi Negeri”.

Undangan yang hadir sangat terbatas, hanya para anggota senat Universitas Malikussaleh dan keluarga besar Prof Dr M. Sayuti. Selebihnya menyaksikan prosesi itu dari kanal Unimal TV serta Zoom.

Dalam pidato ilmiahnya, Sayuti memaparkan hasil penelitiannya yang terdengar sedikit teknis bagi masyarakat awam, apalagi bila tidak memiliki latar pendidikan atau pengetahuan di bidang teknik. Tak heran para hadirin membutuhkan konsentrasi tinggi untuk memahami paragraf demi paragraf.

Inti dari orasi ilmiah Prof Sayuti tentang penggunaan cetakan bergetar untuk memperbaiki sifat bahan logam. Cetakan tersebut digunakan pada pengecoran semua yang berbahan logam yang lazim digunakan pada industri otomotif.

Kemudian apa keistimewaan cetakan bergetar yang menjadi objek penelitian Prof Sayuti?

Karena menggunakan cetakan yang bergetar, sifat mekaniknya meningkat. Getaran itu menimbulkan kekuatan daya tarik bahan menjadi lebih padu di setiap sudut dan setiap bagian. Kondisi akan menghasilkan bahan logam yang bebas dari porositas karena udara yang terperangkap dalam bahan logam lebih rendah.

“Dengan cetakan bergetar, risiko gagal menjadi lebih kecil. Potensi cacat juga lebih rendah,” ungkap Sayuti melukiskan keistimewaan hasil penelitiannya, beberapa waktu lalu.

Tentu saja itu bukan sebatas paparan di atas kertas. Untuk mendapatkan teori dan metodologi tersebut, Sayuti sudah melakukan penelitian selama bertahun-tahun dengan beberapa kali kegagalan dalam uji coba. Namun, seperti idealnya seorang peneliti, Sayuti tidak pernah menyerah dengan kegagalan demi kegagalan.

Penggunaan cetakan bergetar terlihat sederhana, tetapi memberikan hasil maksimal. Lantas dari mana Sayuti mendapatkan gagasan menggunakan cetakan bergetar untuk menghasilkan material yang lebih sempurna?

Semuanya berangkat dari pertanyaan dan pemikiran bagaimana menghasilkan logam cetakan yang lebih sempurna. Banyak teknik yang bisa digunakan untuk menghasilkan material lebih bagus. Sayuti lalu mengambil salah satunya, yakni dengan cetakan bergetar.

Menurut ayah tujuh anak ini, sebelumnya sudah banyak teori dan teknologi untuk menghasilkan material berkualitas, tetapi sebelumnya bukan di komposit, melainkan di material lain. Dengan cetakan bergetar yang dikembangkan, getarannya terukur pada frekuensi tertentu. “Ada alat yang digunakan untuk mengukur. Intinya, untuk getaran ini untuk memperbaiki sifat material,” jelas Sayuti dalam bahasa lebih sederhana yang bisa dipahami masyarakat awam.

Penelitian bertahap
Penelitian tentang cetakan bergetar sudah mulai dilakukan Sayuti sejak 2002. Setiap meneliti, ia menuliskan jurnal secara bertahap sejak 2010. Tentang material saja, Sayuti sudah mempublikasi di 12 jurnal.

“Setiap jurnal fokusnya berbeda-beda, misalnya di persentase berat titanium karbon atau di frekuensi yang digunakan,” jelasnya.

Hasil penelitian ini sudah dipresentasikan di seminar internasional antara lain di Istanbul, Perancis, Australia, Hongkong, Jepang, Malaysia, serta di Guangzhoa dan Nanchang (China), serta sejumlah negara lainnya. Presentasi di seminar itu sudah dilakukan sejak 2008 – 2011. Sebenarnya, Sayuti juga mendapat beberapa undangan untuk seminar internasional penelitian ini, tetapi terganjal pandemi Covid-19.

Menyangkut respons dari jurnal dan presentasi di berbagai negara, kata Sayuti, bisa dilihat dari banyaknya kutipan dalam artikel (sitasi) yang jumlahnya sampai ratusan. Ia mengaku selama ini belum mendapatkan kritik tentang hasil penelitian tersebut. “Malah banyak yang mengundang untuk membahas,” ungkap suami dari Cindenia Puspasari M.Soc.Sc tersebut.

 

Paten dipegang UPM
Setelah meneliti cetakan bergetar sejak 2002, Sayuti mendapatkan metode baru untuk memperbaiki material. Menurutnya, itulah inti dari sebuah penelitian yang harusnya mendapatkan hasil lebih baik dari penelitian sebelumnya.

Meski hasil penelitian selama belasan tahun tersebut bisa digunakan dalam industri otomotif, sejauh ini belum ada industri yang berminat sehingga belum ada peluang komersialisasi. “Hanya keuntungan sitasi saja dari beberapa penelitian sejenis di Amerika Serikat, Rusia, dan beberapa negara Asia,” ujar Sayuti.

Disinggung mengenai hambatan utama dalam penelitian, ia menyebutkan alat yang masih susah didapatkan sehingga semua tahapan riset tersebut harus dilakukan di Universitas Putra Malaysia (UPM). “Sampai sekarang saya masih menjalin hubungan kolaborasi dengan Malaysia,” kata Sayuti yang pernah bekerja sama dengan beberapa peneliti asing.  

Laboratorium di Universitas Malikussaleh dan kampus lainnya di Aceh, belum ada peralatan yang mendukung sehingga paling mudah dan murah mencari alat lab di kampus almamater karena tidak dikomersialkan.  Namun, risikonya hak paten hasil penelitian tersebut dipegang UPM.

Tapi Unimal bisa membuat prototipenya karena yang malah adalah alat pengujian. Ada beberapa jenis alat pengujian yang harganya alat bisa Rp1 miliar per alat. “Ini yang mahal, yang ada hanya di BATAN atau di LIPI,” ujar Sayuti lagi.

Untuk berhasil dalam sebuah penelitian yang membutuhkan waktu selama bertahun-tahun, Sayuti membagikan tips agar tidak bosan sekaligus memberikan hasil maksimal. Menurutnya, risiko kegagalan dalam penelitian pasti ada dan itu menjadi bagian yang harus diterima. Namun, ia mengingatkan agar peneliti jangan pernah menyerah.

“Teruslah meneliti, kegagalan jadi pengalaman terbaik. Jangan berhenti, terus mencari mengapa gagal. Sumber kegagalan harus dikaji. Itu sikap utama dari peneliti.  Kemudian bangun komunikasi dengan peneliti lain. Mungkin dari diskusi dengan kawan, akan ada jawaban, meski ada beberapa peneliti yang tidak terbuka terhadap berbagai informasi,” papar Sayuti.

Untuk menghindari kebosanan, ia menyarankan agar sering ikut konferensi di berbagai kota dan di berbagai negara. “Kalau konferensi ada masanya dan butuh biaya, apalagi di saat pandemi, sering vakum. Solusi yang paling efektif adalah ke masjid. Zikir dan ikut pengajian, sehingga yang buntu itu kemudian hilang,” pungkasnya. [Ayi Jufridar]


Berita Lainnya

Kirim Komentar