Simalakama Rohingya

SHARE:  

Humas Unimal
Teuku Kemal Fasya, dosen Antropologi FISIP Unimal menemui pengungsi rohingya yang ditempatkan di Balai Latihan Kerja (BLK) Gampong Meunasah Mee Kandang, Lhokseumawe. Foto: Bustami Ibrahim

Oleh: Teuku Kemal Fasya

Ketika komunitas pengungsi Rohingya terlihat di perairan Bireuen, 26 Desember 2021, seluruh armada keamanan laut seperti kesepakatan senelumnya untuk tidak mendaratkan kembali di Aceh. Mereka sempat terapung-apung di laut selama berhari-hari tanpa harapan mungkin ke Aceh.

Hasil workshop multi-stakeholders yang dilaksanakan oleh Yayasan Kemanusiaan Madani Indonesia – UNHCR – Unimal dan dihadiri juga oleh institusi keamanan seperti Lanal, Polairud, Kodim 0103, dan Polres Lhokseumawe menyatakan dengan tegas bahwa problem pengungsian Rohingya selama ini memberikan risiko pada keamanan nasional.

Hasil pemantauan selama ini bahwa pengungsian Rohingya yang mendarat tidak berasal dari pusat konflik, yaitu Provinsi Rakhine, tapi dari limpahan pengungsian seperti Cox’s Bazar, Bangladesh. Tempat pengungsian Cox’s Bazar sendiri adalah tempat penampungan pengungsi terbesar di dunia yang akhirnya menjadi masalah sendiri akibat kepadatan, kekumuhan, dan kurangnya pelayanan kesehatan dan pendidikan yang dialami. Banyak para pengungsi menggunakan “jaringan eksploitasi manusia” untuk bisa keluar dari Cox’s Bazar dan tiba di negara tujuan utama. Jaringan perdagangan manusia ini menyebar sepanjang lautan Selat Melaka, tak terkecuali di Aceh yang berkamuflase sebagai nelayan.

Alasan Kemanusiaan

Ketika akhirnya mereka bisa mendarat pada 31 Desember 2021 di perairan Aceh, tak lepas dari sinyal Jakarta untuk membiarkan mereka masuk. Tidak ada alasan lain yang digunakan kecuali kemanusiaan. Pemerintahan Jokowi memang cukup responsif dalam penanganan para pengungsi dari luar negeri dengan mengeluarkan Perpres 125 tahun 2016. Ini adalah salah satu solusi terbaik ketika Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang hak-hak dasar pengungsi.

Namun alasan kemanusiaan dengan mudah menjadi rapuh. Pembelaan itu dikicuh dengan sikap para pengungsi yang sebenarnya tidak pernah betah di Aceh. 105 pengungsi yang berhasil mendarat itu akhirnya kembali menghilang dari tempat penampungan BLK Kandang, Lhokseumawe. Per 18 Januari 2022, delapan orang telah berhasil melarikan diri, dan beberapa lainnya masih terus mencoba kabur (Serambi, 22 Januari 2022). Seperti pengalaman sebelumnya, para pengungsi menghilang dan memilih destinasi impian mereka sebenarnya.

Berdasarkan SE Mendagri No. 300/2307/SJ tanggal 11 Maret 2020 tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri di Provinsi, Aceh tidak menjadi 13 rumah detensi imigrasi (Rudenim) yang memiliki fasilitas dalam penanganan pengungsi luar negeri. Itu pula yang menjadi hal kompleks lain ketika para pengungsi tiba di Aceh, pemerintah setempat kelabakan, seperti kasus pendaratan Rohingya 31 Desember 2021. Satgas Penanganan Pengungsi Kota Lhokseumawe akhirnya menyerah menangani para pengungsi dan meminta segera dipindahkan ke Rudenim terdekat.

Demikian pula solidaritas kemanusiaan warga Aceh dalam membantu para pengungsi. Euforia itu biasa hanya terjadi pada dua minggu awal “ketibaan tamu”, sebelum akhirnya tenggelam dalam rutinitas dan kesulitan hidup sehari-hari. Bahkan pada penanganan pengungsi yang lalu, masyarakat sekitar BLK di Kandang yang rata-rata miskin sempat terjadi kecemburuan sosial karena fasilitas yang diterima oleh “orang nan jauh di sana” lebih baik dibandingkan warga tempatan.

Akhirnya, untuk menghindari ketegangan sosial dengan masyarakat sekitar, organisasi penanganan pengungsi Rohingya, memberikan program integrasi sosial-ekonomi untuk mengurangi dampak kemiskinan masyarakat sekitar. Politik bantuan memang kadang kejam dengan klasifikasi siapa yang perlu dibantu dan siapa yang disisihkan.

Yang jarang terungkap

Berulangnya terdamparnya para pengungsi Rohingya ke Aceh harus dilihat sebagai sesuatu yang terjadi by design, dan bukan semata kebetulan (by accident).

Pertama, Aceh adalah provinsi terlemah dalam pengawasan di sepanjang perairan Selat Melaka. Mudahnya pendaratan para pengungsi itu juga bagian dari testing the water betapa disfungsi surveillance keamanan laut telah kronis. Itu juga bisa dilihat dari maraknya peredaran narkoba dan barang ilegal yang masuk dari Aceh dan kemudian menyebar ke seluruh Nusantara.

Kedua, seperti meneguhkan deskripsi awal, kasus pendaratan itu bisa dikatakan berhubungan dengan penyeludupan (people’s smuggling) dan perdagangan manusia (human trafficking). Artinya ada agensi yang mengatur dari sejak tempat asal, pelepasan di tengah laut, dan penyambutan oleh agen darat. Belajar dari kasus empat terpidana yang melakukan pendaratan 94 etnis Rohingya di Lancok, Bayu, 26 Juni 2020 lalu, memang terlihat ada koordinasi dan komunikasi, termasuk transfer dana untuk memuluskan mereka tiba di Aceh.

Ketiga, uang yang beredar dari praktik perdagangan manusia ini sendiri bukan uang ala kadar atau seikhlasnya dari para pengungsi. Dari hasil penelitian penulis ketika menemui para pengungsi di Rumah Komunitas di Medan terungkap bahwa setiap orang yang masuk dalam transaksi “travelling” dari Cox’s Bazar untuk masuk ke Malaysia harus menyediakan anggaran RM1500 –5000 atau Rp 5 – 17 juta rupiah per orang. Artinya mereka sanggup menyediakan anggaran untuk bisa mendapatkan kesempatan menjadi warga negara impian seperti ke Malaysia, Australia, Amerika Serikat, Eropa, Uni Emirat Arab, atau Kanada.  Ketika terjadi pendaratan ke Aceh, itu hanya transit untuk bisa masuk kembali ke Malaysia. Apalagi Malaysia menjadi negara ASEAN yang paling banyak menampung pengungsi Rohingya.

Kenapa pilihannya adalah negara-negara maju, yang sebagian besar bukan negara mayoritas muslim? Itu karena telah ada kisah sukses sebagian pengungsi yang akhirnya bisa hidup lebih bahagia di negara-negara itu. Para pengungsi ini sendiri juga tidak semua “kaum fakir”. Sebagian telah memiliki usaha perniagaan yang cukup baik di negaranya, Myanmar. Namun problem diskriminasi dan persekusi yang membuat mereka keluar dari negara yang masih galau mengonsolidasikan demokrasinya itu.

Keempat, karena pendaratan di Aceh bukan sebagai tujuan, problem selama transisi itu sendiri juga memberikan masalah bagi pengungsi Rohingya itu. Masyarakat Aceh awalnya juga kaget dengan praktik Islam mazhab non-Syafii, dan menganggap mereka aneh. Masalah lain juga muncul ketika berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Dari hubungan yang awalnya rela membantu hingga akhirnya mengambil kesempatan dalam kesempitan, seperti ketika memerlukan tampungan rekening untuk menerima transfer dari luar negeri atau daerah. Belum lagi kasus hubungan perkawinan ilegal hingga kasus pelecehan seksual. Sejumlah masalah ini membuat “kaum Benggali” itu seperti buah simalakama, membantu atau tidak membantu sama-sama melahirkan dilema.

Meskipun, kasus Rohingya sebagai etnis yang paling menderita di dunia tidak bisa dikesampingkan, penting melihat kondisi dan situasi kita untuk menyelamatkan makna humanisme mereka sebagai bangsa yang terusir dan terbuang itu. Seperti dikatakan oleh filsuf David Hume, pembentukan kesadaran humanisme bukan sekedar berangkat dari kesan dan emosi sesaat, tapi sungguh-sungguh dari ide untuk menyelamatkan makna kemanusiaan secara utuh. Maka, kesadaran kita membantu etnis Rohingya harus murni dari nurani yang tulus. Bukan atas dasar kepentingan politis, ekonomis, atau hal-hal egoistis lainnya.

Teuku Kemal Fasya, dosen Antropologi FISIP Unimal. Baru-baru ini melakukan riset tentang Dampak Sosial-Ekonomi Keberadaan Pengungsi Rohingya.

Artikel ini telah dimuat di koran harian Serambi Indonesia,  hari Senin, 31 Januari 2022.


Berita Lainnya

Kirim Komentar