Saatnya Revisi UU PA

SHARE:  

Humas Unimal
Teuku Kemal Fasya Juga Kepala UPT Bahasa, Kehumasan, dan Penerbitan Universitas Malikussaleh. Foto: Bustami Ibrahim

Oleh Teuku Kemal Fasya, Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh. Salah satu tim perumus RUU Pemerintahan Aceh dari Universitas Malikussaleh pada 2005

Ide tentang revisi Undang-undang No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) telah bergema sepanjang tahun 2021-2022. nPelbagai diskusi dan seminar telah dilakukan untuk penguatan wacana itu.

Penulis sendiri terlibat paling sedikit dua kali sebagai narasumber, yaitu Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komite I DPD R.I (18 Januari 2022) dan seminar nasional Pengurus Pusat Taman Iskandar Muda (30 Januari 2022).

Artinya, gagasan ini telah memenuhi ruang publik untuk disahuti, seperti disuarakan juga oleh PYM Malik Mahmud Al-Haythar (Serambi, 18 Februari).

Faktor eksternal

Ada beberapa faktor pendorong eksternal yang menyebabkan UU PA harus segera diubah.

Pertama, keberhasilan amandemen UU Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.

Setelah UU No.21 tahun 2001 yang diinisiasi pada masa Presiden Abdurrahman Wahid berakhir pada 2021, ada tuntutan UU Otsus itu diperpanjang.

Menariknya, revisi UU No 21 tahun 2001 menjadi UU No.2 tahun 2021 berjalan mulus, dengan strategi kerja yang dilakukan oleh DPD R.I.

Hal ini menjadi kemenangan bagi Papua dalam mempertahankan lex specialis-nya dalam konteks NKRI.

Memang ada beberapa kekecewaan tentang praktik Otsus Papua, seperti besarnya kebocoran dan tidak tepat sasaran pembangunan –-hal sama juga terjadi di Aceh--yang kemudian diperbaiki di dalam Undang-undang baru.

UU baru memperbaiki sistem pengawasan dan monitoring dana Otsus.

Di atas itu semua, UU No.2 tahun 2021 berhasil meningkatkan Dana Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, dari sebelumnya 2 persen menjadi 2,25 persen.

Kedua, cuaca politik nasional ke depan jelas semakin sulit diprediksi.

Keberhasilan revisi UU Otsus Papua tak lain karena ada kehendak politik dari Jokowi yang dianggap sebagai Bapak Pembangunan Papua/Papua Barat.

Jika saja presiden saat ini bukan Jokowi, besar kemungkinan revisi Otsus Papua tidak berjalan sepositif ini.

Momentum ini pula yang harus diambil oleh representasi politik Aceh agar tidak kehilangan momentum.

Ketiga, meskipun anggota DPR asal Aceh kurang bisa meyakinkan Senayan untuk memasukkan revisi UU PA pada prolegnas 2022, strategi revisi tidak patah arang.

Komite I semakin lengkap karena juga diisi wakil ketua asal Papua Barat (Dr.Filep Wamafma).

Semangat dari dua tokoh dari daerah terluka ini tentu mengerti makna perjuangan revisi UU PA setelah keberhasilan RUU Otsus Papua.

Memang hak legislasi dimiliki oleh DPR R.I, tapi kewenangan DPD dalam melakukan hak inisiatif RUU menjadi hal penting juga dilihat.

Dengan adanya perangkat perumusan yang difasilitasi oleh DPD, diharapkan peta jalan revisi berlangsung komprehensif sehingga menutup peluang adanya pasal-pasal bajakan yang merugikan lex specialis Aceh.

Faktor “existing” UU PA

Jika dilihat secara instrinsik beberapa bagian dari UU PA ini telah mengalami korosi secara norma hukum dan praksisnya.

Pertama, sebagian postur kelembagaan dan sistem administrasi di dalam UU PA telah ketinggalan zaman dari norma hukum dan nomenklatur.

Di antaranya istilah Panitia Legislasi di dalam UU PA (pasal 34-35) telah berubah menjadi Badan Legislasi.

Demikian pula dengan lembaga pemutus sengketa Pemilu(kada) bukan lagi Mahkamah Agung (pasal 74), tapi Mahkamah Konstitusi.

Hal lain adalah tentang Panitia Pengawas Pemilihan yang disebut di dalam UU PA “dibentuk oleh panitia pengawas tingkat nasional dan bersifat ad hoc,” (pasal 60 ayat (1) tidak lagi sinkron dengan produk UU Pemilu (UU No.7 tahun 2017) yang menjadikan struktur lembaga pengawasan hingga tingkat kabupaten/kota bersifat permanen.

Tentu adaptasi yang dilakukan dalam praktiknya di Aceh adalah memperkuat fungsi kelembagaan tanpa sadar telah “mengabaikan” UU PA.

Hal yang sama terjadi dengan “pasal mati” 256 tentang calon independen dalam Pilkada yang hanya berlaku sekali sejak diundangkan (einmalig), ternyata memang tidak cocok.

Norma calon perseorangan di dalam Pilkada yang berasal dari Aceh telah diadopsi di dalam UU nasional (UU No.10 tahun 2016 yang merupakan perubahan kedua atas UU No.1 tahun 2015 tentang penetapan Perppu No.1 tahun 2014).

Artinya inspirasi calon perseorangan dari Aceh telah disempurnakan di dalam UU nasional menjadi prinsip yang selalu berlaku (laufend).

Kedua, ada pasal yang merupakan aktualisasi MoU Helsinki tapi hanya menjadi asesoris di dalam UU PA.

Salah satunya adalah tentang Peradilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi (pasal 228-229).

Jika dibaca secara jeli, rumusan pasal-pasal tersebut jelas mencederai prinsip HAM internasional, bahwa kasus pelanggaran HAM di Aceh tidak boleh menyasar kasus-kasus sebelum UU disahkan.

Padahal jelas kasus pelanggaran HAM bekerja menginvestigasi kejahatan masa lalu ketika rejim belum demokratis, makanya ia berlaku surut (retroaktif).

Demikian pula eksistensi KKR Aceh.

Meskipun telah diakui berdasarkan Qanun No.17 tahun 2013 dan baru dibentuk tiga tahun kemudian, tidak bisa berbuat banyak dalam konteks membangun peta jalan rekonsiliasi Aceh.

Legitimasinya menjadi lemah karena UU KKR nasional telah dibatalkan oleh MK No.006/PUUIV/2006.

Entah disengaja atau bukan, pembatalan UU KKR sendiri terjadi hanya empat bulan setelah UU PA disahkan (4 Desember 2006).

Dampaknya merontokkan upaya penyelesaian kasus HAM di Aceh.

Analisis penulis, meskipun pasal 228-229 ini tidak sesuai dengan semangat MoU Helsinki, akan sulit diperbaiki, terutama oleh para pihak yang bisa menjadi pelaku kejahatan masa lalu (perpetrators).

Ketiga, UU PA masih gagal menjadikan imajinasi asymmetric decentralization hadir dengan nyata dan membedakan dengan daerah lain, terutama pada model pembangunan berkesejahteraan.

Itu terlihat dari sedikitnya pasal-pasal pengelolaan ekonomi (Bab XXII, pasal 154-161).

Hal lain tentang masih mandulnya kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang (bab VII pasal 167 -170).

Mungkin tak salah juga, rumusan UU PA berhubungan dengan antropologi kognitif elite Aceh yang terlalu banyak berwacana politik dan abai pada gagasan ekonomi sehingga terjerumus menjadi termiskin kelima se-Indonesia dengan pengelolaan dana desa terbesar kelima nasional.

Ada anomali dalam konteks ini untuk tidak menyebutkan bahwa kultur korupsi sudah menjerat ke tulang sumsum pemerintahan hingga level terkecil.

Keempat, ada beberapa hal yang masih belum jelas fungsinya sesuai semangat keistimewaan Aceh sekaligus tidak melanggar prinsip perundangan-udangan dan etika demokrasi.

Hal itu seperti tentang bendera, lambang dan himne (bab XXXVI), ambiguitas posisi kelurahan (pasal 2 (ayat 2), pasal 113, pasal 267 (ayat 2), Wali Nanggroe (Bab XII pasal 96-97), dan Syariat Islam kaffah yang memberikan ruang bagi kelompok minoritas dalam menjalankan hak keberagamannya (Bab XVII pasal 125-127).

Rumusan itu hendaknya dibuat dalam bahasa tegas dan tidak sumir atau bersayap. Memang ada banyak hal yang memerlukan ekstrapolasi yang cukup.

Namun, tulisan ini menjadi sinyal bahwa diskursus revisi UU PA demi penguatan perdamaian yang berkelanjutan dan demokrasi kesejahteraan di Aceh sudah tidak bisa ditunda lagi.

Artikel ini telah terbit pertama kali di laman Opini Serambi Indonesia 25 Februari 2022


Berita Lainnya

Kirim Komentar