Jaminan Pendapatan Dasar, Solusi Kemiskinan Aceh

SHARE:  

Humas Unimal
Nurlaili, mahasiswi Program Studi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Malikussaleh. Foto: Dok. Pribadi.

Oleh Nurlaili

PANDEMI Covid-19 telah membahwa kepada krisis global yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam satu dekade. Wabah virus korona bukan hanya menandakan krisis besar di sektor kesehatan, tapi juga telah mendorong dunia ke arah krisis ekonomi ke arah resesi global.

Untuk konteks Aceh, pandemi bukan hanya membuat ekonomi terpukul, tapi disaat bersamaan angka kemiskinan dan pengangguran berlomba  naik. Tahun 2021 terdapat kenaikan jumlah penduduk miskin sebanyak 834,24 ribu jiwa di Aceh. Tak hanya penduduk miskin, pengangguran di Aceh melonjak 169 ribu orang dari sebelumnya 167 ribu orang. 

Secara histori, paling tidak sudah sekitar 19 tahun tepatnya dari tahun 2002 hingga 2021 Aceh  terus menerus menjadi jawara kemiskinan di pulau Sumatra. Untuk level nasional Aceh juga kerap tak ketinggalan masuk 10 besar provinsi dengan predikat termiskin.

Kondisi memprihatinkan, sekaligus  memalukan ini , terus menerus terjadi meski disaat bersamaan Aceh juga mendapat distribusi pendapatan melimpah dari pusat setiap tahun. Dana Otonomi Khusus (Otsus) misalnya, total 88,433 triliun telah diperoleh Aceh dari 2008 hingga 2021. Belum lagi berbicara dana tambahan hasil migas yang berkisar ratusan milyar juga diperoleh saban tahun.

Kendati demikian kucuran dana melimpah ternyata terbukti jangankan membawa rakyat Aceh sejahtera, sekadar melepas status daerah termiskin saja terbukti Aceh belum mampu. Tak heran kemudian Aceh menjadi anomali tersendiri dalam wilayah Indonesia.  Miskin di saat konflik dan semakin miskin di era damai.  

George Bernard Shaw pernah berujar bahwa ”lack of money is the root of all evil”. Rayuan setan akan terdengar indah ketika manusia lapar dan tidak memiliki uang tunai. Para ekonom dunia sepakat bahwa kekurangan uang adalah sumber dari munculnya berbagai kejahatan.

Itulah mengapa setiap pengangguran meningkat, kriminalitas melompat. Tak heran akibat merajalelanya kemiskinan dan pengangguran, berita  kriminalitas di Aceh menjadi pemandangan lazim menghiasi beranda media massa . Kasus kriminalitas seperti pencurian dan peredaran narkoba yang marak belakangan di Aceh menjadi cermin akan minimnya pilihan untuk bertahan hidup bagi sebagian besar rakyat Aceh.

Jangan lupa bahwa akar konflik Aceh sedari awal muncul ekses ketimpangan pendapatan dan ketidakdilan redistribusi kesejahteraan. Kita tentu belum lupa bahwa argumen tidak meratanya kesejahteraan dan ketidakadilan Aceh di era migas telah membuat seorang Hasan Tiro mengangkat senjata dan melakukan perlawanan kepada republik ini.

Sejarah kelam konflik Aceh tersebut tidak hanya membuat Aceh terpuruk namun juga meninggalkan duka mendalam bagi Aceh. Aceh  terus berputar dalam siklus kemiskinan yang tidak pernah pudar meski telah berganti era. Sungguh sebuah ironi di tengah kucuran dana melimpah namun rakyat Aceh sendiri justru terjebak dalam siklus kefakiran.

Jaminan Pendapatan Dasar Sebagai Solusi
Kondisi ekonomi Aceh yang kian terpukul ekses tata kelola pemerintahan amburadul ditambah efek  pandemi korona, membuat cara cara konvensional dalam mengatasi kemiskinan selama ini terbukti tidak efektif.  Perlu langkah radikal dalam menyelesaikan akar kemiskinan di Aceh.

Memang  pemerintah sendiri saat ini sudah menerapkan sejumlah program stimulus bantuan penanggulangan kemiskinan. Contohnya, stimulus listrik rumah tangga, Bantuan Langsung Tunai (BLT),  dana desa, Program Keluarga Harapan (PKH). Namun semua program ini rentan dengan dengan error positive, dimana yang tidak berhak malah menerima bantuan karena bisa mengakali persyaratan. Sebaliknya, muncul juga error negative, dimana mereka yang seharusnya menerima, malah tidak masuk daftar penerima karena tidak bisa menunjukkan kelengkapan administratif.

Penulis menawarkan alternatif penyelesaian kemiskinan di Aceh dengan jalan  mengubah skema bantuan tunai, dari targeting (menyasar kelompok tertentu) menjadi universal atau menyasar semua warga/semesta Aceh. Skema pendanaan dapat diupayakan dari beragam sumber, baik dana otsus, migas maupun sumber lainnya yang sesuai ketentuan perundangan.

Konsep ini dikenal dengan universal basic income (UBI)  atau disebut juga jaminan pendapatan dasar (JPD). Secara singkat skema JPD ini merupakan transfer tetap kepada individu tanpa memerhatikan status sosial (Hanna and Olken, 2018; Tondani, 2009).

Sebelum pandemi Covid-19, gagasan ini nampak utopis. Namun, pascapandemi JPD justru semakin relevan dan bisa menjadi jalan keluar yang menjanjikan di negara maju dan berkembang.  Bantuan tunai tanpa syarat untuk semua di sejumlah negara telah efektif untuk mengatasi dampak sosial-ekonomi dari pandemi virus korona.

Sukses di Alaska
Alaska adalah salah satu contoh negara yang sukses mensejahterakan warganya melalui redistrubsi pendapatan migas dengan skema JPD. Lahan seluas 43 juta hektar dipenuhi dengan sumber migas melimpah disewakan kepada pihak ketiga.  Bagi hasil dari keuntungan industri minyak bumi itu pun menembus angka 60 miliar USD pada 2017  yang berarti sekitar 80.000 USD per penduduk. Hasilnya terjadi peningkatan kesejahteraan signifikan di Alaska.

Eksperimen JPD tidak hanya sukses  dilakukan di negara maju, namun juga di negara berkembang seperti Namibia.  Namibia berhasil menurunkan jumlah warga yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi 37 persen dari 76 persen sebelum eksperimen berjalan. Tingkat kriminalitas di lokasi percobaan di Namimbia menurun drastis hingga 42 persen  selama program berjalan.

Dalam konteks Indonesia, setiap warga negara pada dasarnya berhak mendapatkan jaminan pendapatan dasar oleh negara karena dia adalah bagian dari warga negara. JPD merupakan perwujudan sila kelima pancasila “Keadilan Sosial Bagi seluruh rakyat Indonesia” sekaligus pengejawantahan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”

Berbeda dengan program bantuan tunai yang diterapkan pemerintah saat ini yang sarat birokrasi dan rentan dikorupsi.  Justifikasi etis JPD adalah sama dengan skema asuransi sosial yaitu: semua warga perlu dilindungi. JPD memiliki pandangan bahwa semua warga harus didukung agar memiliki kesempatan setara  dari kendala daya beli dan semakin sejahtera.

Berkaca dari pengalaman negara lain,  program JPD dinilai berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, mengurangi angka kemiskinan, serta mendorong pemberdayaan dan keberlanjutan masyarakat. Dalam jangka pendek, program jaminan dasar ini penulis yakini mampu mengurangi angka kemiskinan di Aceh. Sedangkan dalam jangka panjang akan menumbuhkan rangsangan ekonomi rakyat ekses meningkatnya daya beli terutama di level mikro.

Semestinya skema JPD ini sudah dapat diterapkan ketika Aceh dulunya pernah berjaya di era migas. Apabila skema ini diterapkan sedari awal, mungkin tidak akan ada kisah pergolakan sejumlah pihak yang mengangkat senjata hanya karena ketidakadilan redistribusi dan pemerataan kesejahteraan. Aceh hari ini memang telah damai. Namun sejatinya Aceh belum berdamai dengan kemiskinan. Deklarasi perang terhadap kemiskinan perlu dicanangkan. JPD layak dipertimbangkan sebagai solusi radikal dalam  menyongsong Aceh baru, Aceh bebas dari kemiskinan. Semoga!

***

Nurlaili, mahasiswi Program Studi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Malikussaleh. Artikel ini merupakan juara ketiga Lomba Menulis Artikel “Semangat Perubahan Aceh Baru” yang digelar Universitas Malikussaleh, SKK Migas, dan Premier Oil Andaman Ltd A Harbour Energy Company.

 


Kirim Komentar