Benteng Demokrasi Jurnalis

SHARE:  

Humas Unimal
Teuku Kemal Fasya, kepala UPT Bahasa, Kehumasan, dan Penerbitan Universitas Malikussaleh. Foto: Bustami Ibrahim

Oleh: Teuku Kemal Fasya

PADA 12 April lalu saya diundang oleh tim survei Dewan Pers terkait hasil penelitian mereka tentang Indeks Kebebasan Pers di Aceh.

Saya sendiri telah dipilih sebagai informan kunci mewakili akademisi selama dua tahun terakhir, melengkapi pandangan dari jurnalis, pemilik media, organisasi wartawan, humas pemerintah, kelompok perempuan, dan Komisi Informasi Aceh. Data per provinsi ini ditabulasi dan menjadi data nasional perangkingan kebebasan pers Indonesia dan melihat perbandingannya dengan negara-negara lain.

Meningkat tapi belum signifikan

Secara umum, IKP Indonesia mengalami perkembangan bahkan di era pandemi Covid-19. Jika pada 2019 skor IKP nasional adalah 73,71, pada dua tahun setelahnya nilainya semakin meningkat, yaitu 75,27 (2020) dan 76,02 (2021).

Meskipun demikian, ada turbulensi terkait demokratisasi pers di Indonesia, salah satunya kriminalisasi terhadap kritik melalui instrumen UU ITE, dan kekerasan terhadap wartawan. Salah satu kasus fenomenal ialah pembunuhan Muhammad Syafruddin atau Udin, wartawan harian Bernas, Yogyakarta. Kasus ini telah memasuki seperempat abad dan masih menjadi misteri.

Pembunuhan Udin terkait pemberitaannya tentang korupsi di lingkaran bupati Bantul saat itu yang masih memiliki hubungan famili dengan Cendana. Koalisi Masyarakat untuk Udin (K@MU) dan AJI Yogyakarta tidak berhenti meminta pemerintah mengusut kasus ini, karena menjadi salah satu bercak merah kebebasan pers di Indonesia.

Di Aceh sendiri, kekerasan terhadap wartawan juga masih terjadi, meskipun pada 2021 tidak ditemukan kasus. Pembakaran rumah wartawan Serambi Indonesia di Aceh Tenggara, Asnawi Luwu masih belum tuntas, padahal sudah 2,5 tahun kasus ini berlalu. Perkembangan terakhir, Polda Aceh menyerahkan kasus ini ke Pomdam Iskandar Muda karena adanya dugaan keterlibatan oknum TNI (Serambinews.com, 11 Januari 2022).

Pengalaman dalam rentang kejadian dua tahun terakhir itu meskipun membuat IKP nasional meningkat, posisi kebebasan pers di Indonesia masih medioker. Kita berada di rangking 113 dari 184 negara yang disurvei. Dari 20 indikator yang dinilai, pers di Indonesia dianggap meningkat pada 17 indikator, tapi menurun pada tiga hal, yaitu terkait informasi yang akurat dan berimbang, tata kelola perusahaan pers, dan perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas.

Terkait skor IKP Aceh pada 2022 adalah 76,39. Nilainya sedikit lebih tinggi dibandingkan IKP nasional 2021. Pada tahun pandemi IKP Aceh juga terus meningkat meskipun tidak signifikan yaitu 75,68 pada 2020 dan 75,84 pada 2021. Artinya pers di Aceh sudah masuk dalam kelompok “cukup bebas”.

Jika dibreak-down pada indikator yang ada, skor tertinggi terjadi pada aspek kebebasan berserikat bagi wartawan (89,15) dan terendah pada aspek kesetaraan akses bagi kelompok rentan (73,63).

Terkait kebebasan berserikat, Aceh cukup positif pada kegiatan itu, karena pelbagai asosiasi jurnalis ada di daerah ini. Bahkan ada asosiasi yang hanya ada di Aceh. Sebagian wartawan juga mudah “hijrah” dari satu asosiasi ke asosiasi yang lain, berdasarkan kepentingan dan “kekerabatannya”. Adapun terkait akses bagi kaum disabilitas, jika dilihat belum ada pemilik media dan organisasi pers yang sensitif terhadap akses informasi bagi kaum disabilitas. Dari pertemuan itu diketahui ternyata belum ada aplikasi yang bisa digunakan oleh kelompok tuna netra untuk bisa mengonsumsi berita teks model berita suara (voice news) atau koran versi braille. Demikian pula, belum terbiasanya televisi lokal atau media visual mendukung dengan bahasa isyarat. Hal ini masih dianggap kemewahan untuk Aceh.

Kalaupun ada masalah yang muncul di Aceh adalah terkait dengan intervensi dari negara termasuk aparat keamanan, meskipun kasusnya tidak massif. Intervensi terjadi karena ada kepentingan pemerintah daerah dan aparat keamanan yang terganggu. Kasus-kasus yang sensitif diberitakan adalah kasus korupsi, kemiskinan, kekerasan seksual yang melibatkan orang penting, politik agraria, dan juga illegal logging. Bentuk intervensi bisa secara verbal hingga fisikal yang dialami oleh Asnawi.

Hubungan antara media dengan isu-isu panas tersebut menurut survei tidak terjadi upaya swasensor baik oleh pemilik media atau wartawan. Namun menurut saya self-sensorship masih terjadi. Alasannya bukan semata karena tekanan politik, tapi “akses-akses lain” yang mungkin terhambat kalau mereka menjadi “media keras kepala” kepada birokrasi-pemerintahan. Iklan masih menjadi nyawa utama media-media tersebut dalam menjalankan pekerjaan bisnisnya. Bahkan kedekatan media dengan pemberi iklan kerap membuat fungsi kontrol sosial berkurang.

 

Ketepatan berita dan masalah amplop

Salah satu yang menjadi masalah dalam pemberitaan adalah ketepatan dalam pemberitaan dan masalah amplop. Jika dilihat di era multiplatform dan menjamurnya media siber, akurasi pemberitaan kerap terjadi. Masalahnya, media saat ini lebih mementingkan kecepatan dalam pemberitaan dibandingkan ketepatan faktual. Wartawan merasa menjadi pemenang ketika bisa menjadi media pertama yang memberitakan.

Godaan dari pemberitaan netizen atau media sosial juga menjadi sebab wartawan kerap blunder dalam memberitakan info atau rumor dibandingkan fakta. Memang sejak memasuki milenium ketiga konstruksi media informasi dan komunikasi semakin beragam, dan peran penyedia platform seperti google dan youtube semakin perkasa. Akhirnya yang terjadi saat ini adalah membuncahnya informasi di jagad maya dan digital, yang membuat batas antara fakta dan opini semakin kabur, dan tergelincir pada misinformasi, disinformasi, dan berita palsu.

Padahal kode etik jurnalistik jelas menyebutkan bahwa wartawan dilarang memberitakan hal kebohongan, fitnah, sadisme, dan kecabulan. Kebebasan pers harus melakukan swasensor agar tidak mengotori ruang media.

Kasus terkini yang sempat heboh adalah video yang memperlihatkan seorang suami memergoki istri selingkuh ketika ia pergi teraweh, disebutkan lokasinya berada di Lhokseumawe. Masalahnya fakta itu sampai sekarang tidak pernah terverifikasi, tapi ramai-ramai media termasuk mainstream memberitakan.

Demikian pula kasus pemberian gelar uleebaang kepada Ganjar Pranowo juga tidak pernah ada faktanya, tapi tetap terus diberitakan, padahal pihak Humas Unimal telah mengeluarkan rilis mengklarifikasi rumor itu. Anehnya masih ada media yang terus memproduksi prasangka dengan basis opini narasumber, walaupun tidak berbasis fakta. Seperti novel Edgar Alain Poe, The Porloined Letter, media membiarkan pembaca terbuai pada thriller fiksional dibandingkan menerima fakta apa adanya.

Tentang amplop untuk wartawan,  Dewan Pers sendiri telah mengeluarkan imbauan pada 2022 untuk tidak memberikan bingkisan atau THR kepada wartawan, karena hal itu menjadi tanggung jawab perusahaan pers tempat mereka bernaung. Bahkan jika ada yang memaksa bisa dilaporkan ke pihak berwajib, karena bisa menurunkan standar moral, etika profesi, dan kepercayaan publik kepada pers.

Mengutip pernyataan bernada jokes dari wartawan senior, Juli Amin, wartawan dilarang menerima apapun meskipun sebotol sirup. Namun, dalam praksisnya tak mudah hal itu didefenisikan karena berhubungan dengan problem kesejahteraan wartawan, lemahnya bisnis media, dan kompetensi serta profesionalisme sang jurnalis.

Meskipun demikian, hal inilah harus terus diperjuangkan agar pers di Aceh bisa menjadi benteng pertahanan jurnalisme etik dan sehat dalam mendukung demokratisasi informasi.

Teuku Kemal Fasya, kepala UPT Bahasa, Kehumasan, dan Penerbitan Universitas Malikussaleh.

Artikel ini Telah tayang di Halaman Koran Serambi Indonesia, Selasa, 26 April 2022


Berita Lainnya

Kirim Komentar