Menunggu Pj Rasa Gubernur Definitif

SHARE:  

Humas Unimal
Teuku Kemal Fasya. Foto : Bustami Ibrahim

Teuku Kemal Fasya

 

Menit dan detik berdentang, jabatan Gubernur Nova Iriansyah pasti segera berakhir pada 5 Juli 2022. Lima tahun lalu Nova dilantik sebagai pemenang Pilkada Serentak 2017 sebagai wakil gubernur berpasangan dengan Irwandi Jusuf.

Sayang sekali, Irwandi harus tersandung kasus suap proyek Dana Otonomi Khusus Aceh, tepat satu tahun memimpin. Setelah proses lama sebagai pelaksana tugas (Plt), Nova ditetapkan sebagai Gubernur Aceh 5 November 2020. Berdasarkan UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada, Aceh “harus”ikut serta pada pelaksanaan Pilkada Serentak Nasional pada 2024 yang telah ditetapkan KPU akan dilaksanakan pada 27 November 2024. Aceh sendiri ada 21 daerah pemilihan dari 101 yang ikut Pilkada Serentak 2017.

 

Pj bervisi pembangunan

Tentu dalam konteks ini kita sedang menunggu seorang penjabat (Pj) gubernur yang memiliki visi pembangunan dan mampu menahkodai Aceh selama lebih kurang 2,5 tahun. Penjabat gubernur sendiri sebagaimana disebutkan di dalam UU No. 35 tahun 2013 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah menjadi hak prerogatif Presiden untuk penetapannya dan Mendagri untuk penentuan penjabat bupati/walikota. Jadi penjabat tersebut merupakan wakil pemerintah pusat yang ditetapkan untuk menjalankan kewenangan tertentu dalam waktu tertentu.

Jadi jelas bahwa Pj dipilih untuk mengisi kekosongan pemerintahan karena belum adanya momentum elektoral yang membuatnya terlegitimasi oleh rejim Pilkada. Ketika muncul riuh-rendah di Aceh terkait tidak dilaksanakannya Pilkada pada 2022 setelah kepala daerah habis masa baktinya, maka sebenarnya tidak melanggar apa-apa, karena posisi penjabat gubernur/bupati/walikota tidak menjadi representasi politik yang dipilih melalui pemilukada.

Memang di dalam Qanun 12 tahun 2016 ada klausul yang menyebutkan bahwa kepala daerah di Aceh yang dipilih pada 2017 dan berakhir pada 2022 akan melaksanakan Pilkada pada 2022 (pasal 201 ayat (3)). Namun, hal itu tidak serta-merta dapat dipraktikan karena posisi qanun yang “rendah” dibandingkan UU No. 10 tahun 2016 sebagai hukum lebih tinggi dengan prinsip lex superior derogat legi inferiori. Demikian pula, kepentingan menjalankan Pemilu dan Pilkada serentak nasional 2024 telah menjadi “konsensus politik nasional” sejalan dengan dihentikan revisi UU Pemilu No. 7 tahun 2017 di DPR pada 2021 sehingga perbaikan UU Pilkada dan penyatuan ke dalam UU Pemilu menjadi aborsif.

Kembali pada posisi penjabat gubernur yang menurut pengetahuan penulis akan masuk ke meja presiden sekitar15-20 Juni 2022, sama sekali tidak berhubungan dengan “polling” warga Aceh. Beberapa nama seolah-olah menguat untuk dijadikan bakal calon jadi Pj gubernur, termasuk impresario politik menggunakan media massa untuk menggiring pembentukan opini publik. Memang masa-masa sekarang menjadi meriah karena kita tak tahu mysterious box yang akan dibuka dan diumumkan oleh pemerintah, tapi kita tahu bahwa siapapun yang ditetapkan sebagai Pj gubernur memiliki jabatan struktural ASN pimpinan madya atau setara dengan eselon 1. Tidak mungkin tokoh publik non-struktural atau tokoh politik yang akan mengisi jabatan tersebut.

Namun seperti disebutkan oleh Mendagri, Tito Karnavian, keputusan menetapkan Pj Gubernur Aceh dan juga DKI Jakarta jelas memerlukan proses tracking dan profilling ketat. Tim penjaringan Pj gubernur akan melihat seluruh sisi termasuk track record selama menjabat. Beberapa orang yang dianggap misconduct seperti terlibat proyek, permainan “fee”, atau terhanyut affair pasti dianggap tidak layak untuk diteruskan sebagai Pj gubernur. Faktor Mr Clean dan masukan data intelejen BIN dan BAIS pasti dipertimbangkan sungguh-sungguh. Kepentingan kepada sosok Pj gubernur ideal adalah agar ia menjadi mata terang dan telinga jernih bagi pemerintah pusat menyongsong Pemilu Serentak 2024.

 

Sosok populis dan “good manager”

Tentu sosok populis juga dijadikan pertimbangan. Sosok Pj jelas bukan “orang Jakarta” yang tidak dikenali oleh publik Aceh. Mereka yang dipilih sudah pasti orang Aceh atau orang yang mengerti tentang Aceh karena pengalamannya bekerja di Serambi Mekkah cukup dalam. Dalam taraf tertentu mereka yang dipilih mengerti Aceh secara antropologis dan bisa berdialektika dalam arus deras politik pascaperdamaian.

Namun itu tentu bukan faktor utama. Ia tak harus menjadi solidarity maker ala bupati dan gubernur yang dipilih riuh rendah Pilkada, dan rata-rata gagal dalam memimpin dan mensejahterakan. Sosok terpilih harus mampu mendorong program pembangunan dan kemajuan.

Sosok Pj yang ideal – seperti pidato Dr. Ir.  Indra Iskandar pada sebuah seminar di Unsyiah, 11 Mei lalu - harus mampu membawa Aceh sedikitnya satu level lebih tinggi dari posisi sekarang yang terpuruk pada pelbagai krisis, termasuk krisis kepercayaan. Pj gubernur adalah figur yang memberikan harapan bahwa ia bisa memikul amanah selama dua setengah tahun melalui program pembangunan berkelanjutan dan perencanaan wilayah yang terintegrasi.

Aceh yang akan diwarisi kepada Pj Gubernur mendatang jelas bukan Aceh yang ideal. Keterpurukan dari sisi kemiskinan, kesenjangan ekonomi, sempitnya lapangan kerja, dan pesimisme rakyat bahwa nasibnya bisa berubah dalam waktu cepat harus bisa ditatap oleh sosok nomor satu Aceh itu dengan tatapan empatik dan meresponsnya tanpa retorik.

Pj gubernur mendatang juga berada di persimpangan ketika situasi otonomi khusus Aceh dipertaruhkan. Pada saat ini sedang terjadi upaya revisi UU Pemerintah Aceh (UU No. 11 tahun 2006). Waktu 16 tahun Otsus Aceh tak membawa dampak signifikan. Permasalahan ada pada faktor implementasi dan juga postur undang-undang itu sendiri yang isinya belum maksimal menerjemahkan nilai-nilai perdamaian Helsinki 15 Agustus 2005.

Makanya, Pj gubernur harus mampu mendaratkan pengelolaan dana Otsus Aceh menjadi lebih baik, apalagi menurut pasal 183 UU No. 11 tahun 2006 dana Otsus Aceh akan turun menjadi hanya satu persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) pada 2023 dibandingkan 15 tahun sebelumnya 2 persen. Tentu lemahnya pengelolaan dana Otsus Aceh selama ini, bukan semata masalah birokratisasi, tapi juga mental buruk elite (moral hazard), termasuk dana Otsus yang dikorupsi dan dirubungi pemburu rente.

Beberapa nama memang sudah beredar dan nampaknya tidak akan jauh-jauh dari yang sudah diperbincangkan baik secara khalayak atau terbatas. Sosok seperti Dr. Ir. Indra Iskandar (Sekjen DPR R.I), Mayjend Ruruh A. Setyawibawa (Deputi Bidang Intelijen Teknologi BIN, mantan Kepala BIN Aceh), Mayjend Ahmad Marzuki (mantan Pangdam Iskandar Muda), Dr. Drs. Syafrizal M.A (Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri), hingga Prof Herman Fithra (Rektor Universitas Malikussaleh) adalah sosok yang dianggap populer, mampu, dan didorong untuk menjadi Pj Gubernur Aceh.

Harapan yang terpilih memang benar-benar mampu menjalankan peran pembangunan dalam kacamata sipil dan demokrasi, dan tidak mendulang kontroversi hingga tertolak terlalu dini.

 

Teuku Kemal Fasya, Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh.

Dimuat di Serambi Indonesia, 22 Juni 2022.

 


Berita Lainnya

Kirim Komentar