Bencana Filantropi

SHARE:  

Humas Unimal
Ayi Jufridar, Dosen Universitas Malikussaleh. Foto: Bustami Ibrahim.

Oleh Ayi Jufridar
Dosen Univeritas Malikussaleh

LEMBAGA filantropi sedang menghadapi ujian kepercayaan publik dengan berbagai kasus hukum yang mendera belakangan ini. Di tingkat nasional ada kasus dugaan penyelewengan dana donasi masyarakat di lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang menyedot perhatian publik yang masih menunggu kinerja aparat penegak hukum untuk membuat kasus itu terang-benderang dan lepas dari sentimen politik. Sanksi kilat dari Kementerian Sosial yang mencabut izin ACT dan proses hukum di kepolisian, direspons masyarakat secara beragam. Ada yang mendukung tetapi tidak sedikit yang menilainya sebagai tindakan berlebihan, reaktif, bahkan penuh muatan politis.

Di tingkat lokal, penggeledahan kantor Baitul Mal Aceh Utara oleh jaksa penyidik Kejaksaan Negeri Lhoksukon terasa ironis di tengah gagasan mempercayai lembaga tersebut untuk menangani berbagai harta umat. Sejumlah barang bukti yang ditemukan kian memperkuat dugaan adanya penyelewangan.

Ranah hukum
Namun publik hendaknya tidak terburu-buru menyimpulkan dan berspekulasi dengan berbagai vonis yang akan membuat kasus di atas menjadi bola liar. Semua pihak harus menunggu kerja aparat penegak hukum sambil terus mengawasi setiap tahapan demi tahapan. Berbagai spekulasi yang muncul malah mengaburkan proses hukum yang sedang berjalan, meski aparat penegak hukum seharusnya tidak bekerja berdasarkan tekanan publik.

Penanganan masalah filantropi tidak sepenuhnya bisa diselesaikan dengan pendekatan hukum. Adanya kekosongan regulasi di beberapa bagian membuka peluang para pihak mematahkan sanksi pemerintah melalui perlawanan hukum. Belum adanya regulasi yang mengatur secara detail sampai kepada tata kelola pendanaan dan pertanggungjawaban, membuka ruang terjadinya penyelewengan sekaligus penyangkalan secara hukum.

Untuk struktur dan jasa pengelola, misalnya, para pengelola masih bisa berimprovisasi agar mendapatkan gaji di atas seorang direktur perusahaan BUMN. Dalih bisa dibuat, aturan internal bisa disepakati bersama, sejauh para pengelola sama-sama menguntungkan. Pertentangan di tingkat internal lembaga filantropi justru membuka berbagai borok pengelolaan yang aromanya menyengat hidung sekaligus melukai hati publik.

Kasus yang terjadi belakangan ini, baik di tingkat nasional maupun lokal, menjadi momentum untuk melengkapi regulasi tentang tata kelola lembaga filantropi dan mekanisme pengawasannya. Rancangan Undang-Undang Pengumpulan Sumbangan yang pernah dibahas beberapa tahun sebelumnya, perlu dibuka kembali dengan beberapa penyesuaian sesuai perkembangan, memperkuat Peraturan Pemerintah Nomor 29/1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.

Adanya undang-undang ini bukan saja untuk mengantisipasi potensi penyelewengan, tetapi juga mengantisipasi penggunaan dana untuk tujuan yang melanggar hukum seperti pencucian uang (money laundering) dan terorisme.

Satu hal lagi yang harus diwaspadai adalah munculnya orang-orang yang tangannya bernoda untuk mengendarai lembaga serupa dengan nama berganti di masa mendatang. Mereka memanfaatkan ingatan masyarakat yang rapuh untuk membentuk lembaga filantropi lain dan menjadikannya sebagai bancakan sesama pengelola.

Titik vital kepercayaan
Bencana paling besar dalam peristiwa yang menimpa lembaga filantropi adalah runtuhnya kepercayaan publik yang menjadi sumber kekuatan setiap lembaga. Kepercayaan publik berkaitan dengan kredibilitas lembaga untuk menjalankan amanah publik selaku pemegang saham yang sesungguhnya. Kepercayaan itu tidak dibangun dengan kampanye yang dikemas secara menarik untuk membangun citra semu, tetapi dengan memegang amanah dalam menyalurkan bantuan.

Sejak awal, lembaga filantropi harusnya memiliki platform yang jelas dan tidak hanya kopian dari lembaga yang sudah ada. Mereka bukan hanya sekadar memanfaatkan kedermawanan masyarakat Indonesia yang menduduki peringkat pertama di dunia versi World Giving Index 2021 (filantropi.or.id). Namun memiliki peran yang spesifik sehingga bisa bersinergi dan berkolaborasi dengan berbagai lembaga, termasuk pemerintah, perguruan tinggi, dan media massa.

Kepercayaan publik tersebut dibangun dan dijaga sejak awal dengan menjelaskan visi dan misi serta orang-orang yang terlibat di belakangnya. Beberapa lembaga kemanusiaan di Indonesia dibangun oleh tokoh yang berafiliasi dengan partai politik atau organisasi kemasyarakatan lainnya.

Hal ini tentu saja bukan sebuah kesalahan, tetapi publik berhak tahu dari awal sehingga menjadi salah satu bahan pertimbangan untuk mempercayai lembaga tersebut atau tidak. Ada donatur yang tidak peduli dengan latar belakang orang yang terlibat di dalamnya, tetapi banyak juga yang berubah keputusannya setelah tahu jeroan lembaga filantropi tersebut.

Titik kepercayaan publik paling vital berada pada pertanggungjawaban penyaluran dana. Publik bukan saja harus diberi kemudahan akses data, tetapi yang lebih penting sejauh mana data tersebut menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Lembaga tersebut memiliki satu versi data akurat yang bisa dipertanggungjawabkan dunia akhirat.

Selama ini banyak penerima bantuan tidak mengetahui jumlah dana yang berhasil digalang lembaga filantropi. Mereka hanya menerima bantuan dari lembaga tanpa tahu jumlah dana sesungguhnya. Penderitaan calon penerima bantuan dan korban bencana, dikemas dengan apik oleh lembaga filantropi untuk meraup simpati masyarakat, dalam dan luar negeri.   

Besarnya disparitas antara jumlah dana yang digalang dengan jumlah yang disalurkan kepada korban, mengindikasikan lembaga filantropi hanya diperlakukan layaknya sebuah perusahaan yang berorientasi profit bagi pengelolanya. Lembaga ini bisa saja berkilah bahwa mereka bukan lembaga zakat sehingga pemotongan “hak amil” bisa mencapai 30 persen, tetapi itu harus diungkap sejak awal dan disampaikan ke publik sehingga menjadi salah satu bahan pertimbangan masyarakat dalam mendonasikan hartanya.

Pemotongan untuk operasional serta kebutuhan pengelola yang terlalu tinggi, di sisi lain, juga mengaburkan misi kemanusiaan yang seharusnya menjadi nilai suci yang terbebas dari kepentingan ekonomis. Idealisme kemanusiaan harusnya lebih menguat meski dalam kesenyapan dibandingkan meraup upah dari dana takziah dalam jumlah besar.  

Adanya sumber lain untuk operasional, misalnya dari pengelolaan divisi bisnis yang dimiliki lembaga filantropi, harus mulai dipertimbangakan agar donasi masyarakat 100 persen bisa disalurkan kepada yang berhak menerima.

Pertaruhan kredibilitas
Pengusutan tuntas terhadap kasus di lembaga filantropi menjadi pertaruhan untuk mengembalikan kepercayaan publik yang tentunya membutuhkan waktu. Kasus tersebut jangan sampai menjadi setitik nila yang merusak lembaga filantropi lainnya. Lebih menyesakkan lagi kalau agama juga dikaitkan di dalamnya sehingga semua lembaga filantropi yang mengurusi zakat umat pun dinilai tidak kredibel.   

Selain momentum untuk lahirnya regulasi baru yang juga membutuhkan waktu panjang, kasus di atas juga menjadi momentum bagi lembaga sejenis untuk membuktikan kredibilitas diri. Ujian untuk meraih kepercayaan publik dalam situasi seperti ini sungguh berat karena masyarakat sedang sensitif dengan berbagai lembaga filantropi. Kini saatnya lembaga kemanusiaan membenahi rumah mereka sendiri. <ayi.jufridar@unimal.ac.id>

Artikel di atas sudah dipubikasikan di Serambi Indonesia edisi 25 Juli 2022. 

 


Berita Lainnya

Kirim Komentar