Etnografi Maulid dan Ragam Islam Nusantara

SHARE:  

Humas Unimal
Teuku Kemal Fasya and Bros. Foto : Bustami Ibrahim

Teuku Kemal Fasya

Memperingati Maulid Nabi Muhammad termasuk amal saleh paling berfaedah. Di Aceh tidak ada gampong yang tidak secara bersama memperingati Mulod dengan pesta. Itulah bakti kepada raja semua orang yang beriman.” (C. Snouck Hurgronje, De Atjehers, 1893).

Di Aceh, tidak ada perayaan yang lebih lama dan meriah dilakukan selain perayaan Mulod (Maulid Nabi). Sebagian besar masyarakat Aceh merayakan penanggalan hari lahir Nabi ini selama hampir empat bulan. Bahkan sebenarnya perayaan ini menjadi yang terpanjang di dunia Islam.

Tradisi yang baru muncul 300 tahun setelah Nabi Muhammad wafat atau era pasca-tabi’ tabi’in, dipersiapkan secara individual dan sosial. Bahkan persiapannya biasanya telah dimulai satu bulan sebelumnya.

Di Aceh, kegiatan utama Mulod adalah mempersiapkan kenduri di meunasah (masjid kampung). Makanan utama yang disajikan, bukan makanan biasa. Ada bu minyeuk (nasi minyak) yang dimasak dengan aneka bumbu giling, ditambah rempah seperti cengkih, kapulaga, jahe, kayu manis, dan serai.

Bu minyeuk ini juga selalu dihadirkan bersamaan dengan bu leukat (nasi ketan dengan inti kelapa), dan aneka lauk seperti gulai ayam atau itik, sapi masak kurma atau kari merah, telur asin, pisang, dan sayuran. Sayurnya biasa pajri nenas untuk merontokkan lemak dan kolesterol.

Ragam kuliner itu disusun di dalam dalöng (periuk besar atau talam berbahan kuningan) yang disusun dengan bu leukat paling atas dan lauk-pauk di sekeliling bu minyeuk. Puncak acara dimeriahkan dengan meudikee (zikir dan salawat dengan gerakan tertentu) dan ceramah agama pada malam harinya.

Dalam satu cuplikan Hikayat Aceh Abu Jeuhai, disebutkan, Niet  tasyuko Nabi lahe, galak hate galak suka/Lahe baten na khanduri, hate suci bekna riya/Soe kanduri ikhlas hate, uroe page lam Syuruga/Lam buleuen nyan takhanduri, Imum Sayuthi nyang calitra (Niat menyukuri kelahiran Nabi dengan hati penuh ceria/lahir batin kita berkenduri, hati bersih jangan ria/Siapa ikhlas berkenduri, ganjarannya pasti surga/Pada bulan itu kita kenduri, Imam Sayuthi telah berkisah).

 

Ragam Maulid Nusantara

Perayaan Maulid Nabi menjadi contoh bagaimana nilai-nilai Islam akhirnya menyatu dengan kearifan lokal. Momen ini menunjukkan Islam bukan semata kumpulan wahyu, peribadatan, dan pengorbanan yang dimunculkan dari Timur-tengah, Persia, dan Turki, tapi juga berinterkoneksi dengan nilai-nilai lokal lain secara global. Hal itu karena Islam mampu memperluas dirinya bukan saja sebagai nilai-nilai yang berhubungan dengan “peribadatan”, tapi juga nilai-nilai kesejahteraan sosial, yang disebut dengan muamalah (Bowen, A New Anthropology of Islam, 2012).

Meskipun tradisi Maulid tidak berangkat dari puritanisme-dogmatis, ia bisa diterima sebagai sesuatu yang baik dan dipreservasi di ragam ruang kultural Islam, yang sering disebut syiar atau pamor. Dalam pandangan salah seorang pengikut Imam Syafi’i, Syekh Jalalluddin As-Suyuthi, dari kitab Al-Hawi lil Fatawa, seluruh tradisi Maulid Nabi sebenarnya telah menjadi “syariat” karena prosesinya merepresentasikan kegemilangan nilai-nilai Islam. Pandangan Imam Suyuthi ini juga ikut disitir di dalam panton atau sastra tutur Aceh.

Di Nusantara sendiri, tradisi Islam bertunas, kuncup, dan mekar melalui perjumpaan dengan tradisi lokal yang juga telah memiliki nilai-nilai keagungan. Adanya kesenjangan pada bahasa Arab dan kebudayaan perisalah pertama yaitu Nabi Muhammad, sang manusia Hijaz, bukan malah memperlemah, tapi memperkaya. Interkoneksi kultural itulah memungkinkan terjadinya yang disebut Ivan Brady, antropolog State University of New York, sebagai proliferasi tekstualisme.

Islam yang menyebar di luar Timur-tengah dan Persia, menjadi puisi antropologis, karena daya interpretasi dan adaptasi melalui persingungan dengan peradaban non Arab. Di kalangan ahli filsafat Islam, hal itu disebut tradisi yang menjadi dogma (al’adat al-muhakamah) yang ikut menjadi sumber hukum Islam. Dalam hadih madja (pribahasa) Aceh, disebutkan, adat ngen hukom, lagee dzat ngen sipheut (tradisi budaya dan hukum Islam, seperti zat dan sifat; berbeda tapi tidak bisa dipisahkan. Artinya nilai-nilai kebudayaan lokal yang dipraktikan dan diwariskan juga merupakan pendalaman interpretasi agama.

Maka tak heran, meskipun Maulid bukan nilai puritan di dalam Islam, ia menjadi praktik yang bisa diterima di hampir seluruh peradaban Islam dunia dan Nusantara. Terjemahannya bisa dilihat di dalam “praktik prosais” Panjang Mulud di Banten, Gerebeg Maulid Sekaten di Yogyakarta, Muludhen di Madura, Walima di Gorontalo, dll, yang semuanya menunjukkan sebuah orkestrasi dan penyatuan nilai-nilai sakral dan profan. Antara dhike/zikir/barzanji dan pesta kuliner ikonik menyatu dalam harmoni pada bulan Maulid. Hanya sedikit komunitas intoleran-radikal Islam yang menolak Maulid sebagai ruang syiar atau kebanggan agama.

 

Pewarisan etnografis Maulid

Terkait aspek kedalaman tradisi dan endapan sejarah Maulid, seharusnya tidak perlu kalah atau gamang oleh pandangan kelompok salafi-wahabi radikal yang menolaknya, bahkan mempropagandakan pengharamannya. Tradisi Maulid ini telah melewati proses sejarah yang panjang yang diterima oleh komunitas muslim sebagai cara memakaikan Islam dengan corak lokalitas dan kebudayaan yang multikultural.

Produksi nilai-nilainya bukan terbentuk hitungan bulanan atau tahunan, tapi telah melewati babak sejarah ratusan tahun, sehingga terlihat sebagai fakta etnografis yang tak mudah goyah. Yang perlu dilakukan adalah menginterpretasikan dan merevitalisasi Maulid di dalam konteks kebudayaan Islam kontemporer, bukan malah membencinya karena alasan bid’ah (heretisme).

Snouck Hurgronje sendiri melihat tradisi Mulod di dalam masyarakat Aceh, bukan semata “tradisi sekuler” tentang kenduri dan perayaan kesenian, tapi berhubungan dengan sejarah perlawanan terhadap Belanda dan hubungan dagang dengan Sultan Turki (Hurgronje, 1895/1996 : 162). Artinya, momen perayaan Maulid bertemu dengan “sejarah kesakralan” perlawanan bangsa Aceh terhadap kaphee dan “sejarah kemuliaan” bersama daulah Islamiyah. Kemampuan mengapropriasi momen Maulid dengan sejarah lokal menjadikannya terglorifikasi sebagai aktualisasi nilai-nilai kesalehan, secara privat dan sosial.

Makanya menepikan momentum Maulid di dalam tradisi masyarakat, sama dengan menguliti nilai-nilai keagamaan dan membiarkannya mati, padahal telah telah diyakini dan dipraktikkan dari generasi ke generasi.

 

Teuku Kemal Fasya, dosen Antropologi Universitas Malikussaleh. Nahdliyin muda Aceh.

Dimuat pertama kali di Media Indonesia, 27 Oktober 2022.


Berita Lainnya

Kirim Komentar