UNIMALNEWS | Lhokseumawe, KOMISI Pemilihan Umum (KPU) pada akhir Januari lalu merilis daftar calon legislatif eks narapidana korupsi. Jumlahnya tenyata cukup fantastis, 49 orang.
Dari sejumlah caleg bekas koruptor itu, ada sembilan dari calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD), 16 caleg DPRD provinsi, dan 24 caleg DPRD kabupaten/kota. Dari 16 partai nasional yang mengikuti Pemilu 2019 hanya empat partai yang tidak memasukkan caleg koruptor ke daftar pemilihan, yaitu NasDem, PKB, PPP, dan PSI.
Etika konstitusional
Sebenarnya jika dibaca secara sungguh-sungguh, UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah mendorong hadirnya proses pemilu yang lebih bersih, transparan, jujur, adil, dan demokratis. UU ini dalam beberapa hal melakukan upaya yang sinergis dengan semangat konstitusional lain, yaitu menutup kesempatan bagi 'politikus hitam' (bahasa Latin, corruptio atau corrumpere yang artinya buruk, busuk, dan memutar-balikkan kebenaran) yang biasa dilakukan di era pra-reformasi agar tidak menemukan takdir kembali di era reformasi.
Upaya perongrongan etika politik terkait kejahatan atas uang negara dan publik, kejahatan narkoba, dan predator seksual anak-anak (pedofilia) telah coba dieliminasi dengan memuat pasal yang membatasinya. Atas dasar itu UU Pemilu memberikan pencegahan atas norma itu dengan tidak membiarkan para politikus bermasalah mencalonkan diri (Pasal 182 dan 240 UU No 7 Tahun 2017).
Terkait fenomena itu, sikap penyelenggara pemilu memiliki pandangan yang berbeda. KPU memberikan sikap progresif atas UU itu, sedangkan Bawaslu lebih konservatif. Akhirnya KPU mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) yang mendukung semangat ideal UU No 7 Tahun 2017, dengan landasan legal lebih mantap agar norma hukum yang diatur di dalam UU tidak hanya menjadi pemanis etik atau norma sosial. PKPU No 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota, dan PKPU No 14 Tahun 2018 (kemudian berubah menjadi PKPU No 26 Tahun 2018) yang mengatur Pencalonan Anggota DPD.
Namun, Bawaslu memiliki pandangan sebaliknya. PKPU tersebut dianggap oleh lembaga pengawasan pemilu itu bertentangan dengan semangat UUD Negara Republik Indonesia. Akhirnya sengkarut tafsir norma atas masalah itu diselesaikan Mahkamah Agung. Titik nadir perjuangan caleg antimantan koruptor kandas oleh MA yang membatalkan pasal eks caleg koruptor boleh maju pada pemilu di dalam persyaratan caleg DPR dan DPD. Fenomena ini menjadi sinyal bahwa jalan menuju parlemen yang bersih masih harus menempuh jalan panjang dengan tanjakan yang berliku.
Meskipun demikian, pasal-pasal yang mengatur para eks narapidana itu masih termaktub di dalam UU No 7 Tahun 2017. Itulah justifikasi KPU mengumumkan caleg eks koruptor dari daftar calon tetap yang akan berkontestasi pada Pemilu 2019. Pengumuman itu juga membuka selubung yang selama ini sering tersaput kabut gelap informasi, bahwa partai yang paling banyak mengakomodasi caleg koruptor tidak hanya dari partai pendukung pemerintah, tapi juga partai oposisi. Golkar ialah partai yang paling banyak merekrut eks caleg koruptor (delapan orang), kemudian disusul Gerindra (enam caleg).
Meskipun definisi dan ruang lingkup korupsi saat ini telah diperluas bukan hanya kejahatan di pemerintahan, tapi juga di korporasi, hampir semua eks koruptor yang saat ini maju pada momentum elektoral 2019 ialah orang yang pernah tersangkut kasus penyalahgunaan wewenang ketika menjadi pejabat negara.
Calon anggota DPD asal Aceh Abdullah Puteh pernah tersangkut kasus pembelian dua helikopter yang dihukum 10 tahun ketika menjabat sebagai Gubernur Aceh pada 2004. Kemudian Abdillah, calon DPD Sumatra Utara, pernah divonis lima tahun penjara akibat korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran dan penyalahgunaan APBD sepanjang 2003-2006 ketika menjadi Wali Kota Medan. Kasus-kasus itu masih mengendap di dalam ingatan publik dan tak seharusnya mudah dilupakan.
Sumber: http://mediaindonesia.com