Dosen Unimal Gelar Penyuluhan Tentang Lembaga Adat

SHARE:  

Humas Unimal
Dosen Unimal Lakukan Penyuluhan Hukum Tentang Lembaga Adat dan Penyelesaian Sengketa Di Bener Meriah. Foto: Ist

UNIMALNEWS | Simpang Tiga Redelong - Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh melaksanakan pengabdian dan penyuluhan hukum tentang Qanun Nomor 9 Tahun 2008 dalam rangka “Penguatan Lembaga Adat dan Penyelesaian Sengketa dalam Masyarakat Aceh” di Kampung Muyang Kute Mangku, Kecamatan Bandar, Bener Meriah, Selasa (15/9/2020).

Tim penyuluhan hukum yang dikoordinir oleh Dr T Nazaruddin menghadirkan narasumber yaitu Tengku Hamdani MA, Dr Sulaiman, Harun MH, dan Dr Budi Bahresi. Sementara, panitia yang terlibat dalam kegiatan itu diantaranya Iskandar MA yang turut didampingi oleh seorang mahasiswa, Salihin, Yusrizal MH, Rosnawati dan Tiwi Mardiana, alumni Fakultas Hukum Unimal. Juga hadir reje (kepala desa), imem, tuha peut serta perangkat Kampung Muyang Kute Mangku lainnya.

Hamdani yang menjadi narasumber dalam kegiatan itu mengatakan, proses penyelesaian sengketa perkara atau persoalan hukum yang terjadi dalam masyarakat oleh lembaga adat itu dilakukan dengan pendekatan musyawarah dan bertujuan damai.

Lanjutnya, peradilan adat adalah peradilan damai yang dilaksanakan di luar sistem peradilan nasional berdasarkan undang-undang dan aturan khusus yang berlaku; Pasal 13 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, menentukan tentang kewenangan mekanisme adat untuk menyelesaikan 18 jenis sengketa/konflik di  masyarakat. Pasal 2 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008  tentang  Lembaga Adat, menegaskan lembaga adat berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan penyelesaian masalah-masalah sosial kemasyarakatan.

 Dasar hukum tersebut ada pada Peraturan Gubernur Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa/Perselisihan Adat dan Istiadat dan SKB Gubernur Aceh, Kapolda Aceh dan Ketua MAA Nomor 189/677/2011, 1054/MAA/XII/2011, B/121/1/2012 tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh.

“Peradilan adat didasari pada ajaran menyelesaikan  bukan pada ajaran memutuskan, yang berpendirian setiap perselisihan harus diputuskan secara tegas, jelas, dan pasti. Sehingga masalah kerukunan dan keseimbangan hidup bermasyarakat kurang menjadi perhatian. Tujuan peradilan adat, nyang ceuko tape jeureuneh (yang kotor kita jernih kan), nyang tabeu tapeumameh (yang tawar kita maniskan) dan nyan rayeuk tape ubeut, nyang ubeut tapeugadoh (masalah yang besar kita perkecil dan yang kecil kita hilangkan)” katanya.

Kemudian, Dr Sulaiman menyebutkan, aparat penegak hukum harus memberikan kesempatan agar sengketa atau perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di gampong atau nama lain.

"Berdasarkan Pasal 13 ayat (3) Qanun Aceh No.9/2008, sidang adat dilaksanakan jika mediasi dan lobi tidak berhasil dilakukan dan tidak ada kesepakatan dari para pihak yang berkonflik”, sebutnya.

Acara tersebut juga diwarnai dengan tanya jawab. Reje dan Tuha Peut Kampung Muyang Kute Mangku mengajukan berbagai pertanyaan dan menyampaikan kasus yang ditangani di antaranya berkenaan dengan penyelesaian sengketa lahan, perselingkuhan dan pencurian ternak yang marak terjadi. [tmi]


Berita Lainnya

Kirim Komentar