Lhokseumawe - Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Hukum Universitas Malikussaleh sukses menyelenggarakan diskusi daring bertajuk "Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI): Ancaman atau Solusi?" pada Sabtu, 22 Maret 2025. Kegiatan yang terbuka untuk umum ini mendapat antusiasme tinggi dari peserta yang berasal dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, aktivis, dan mahasiswa.
Ketua HMI Komisariat Hukum Unimal, Muhaymin, menegaskan bahwa diskusi ini bertujuan untuk membuka wawasan masyarakat tentang dampak RUU TNI terhadap demokrasi dan supremasi sipil. "RUU TNI yang baru disahkan memiliki konsekuensi besar terhadap tatanan negara hukum. Oleh karena itu, kesadaran publik dalam mengawal kebijakan ini sangat penting," ujar Muhaymin.
Pengesahan RUU TNI menuai kontroversi di berbagai kalangan. Proses legislasi yang dinilai cacat prosedural serta substansi yang berpotensi melemahkan demokrasi menjadi perhatian serius bagi masyarakat sipil dan akademisi.
Dalam diskusi tersebut, pakar hukum Dr. Yusrizal, SH, MH, mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam proses pembahasan RUU ini, termasuk pelanggaran asas due process of law. "Salah satu yang menjadi sorotan adalah rapat pembahasan yang dilakukan tanpa pemberitahuan resmi dua hari sebelumnya. Ini jelas melanggar prinsip transparansi hukum dan mengurangi partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan," jelasnya.
Minimnya keterlibatan masyarakat dalam deliberasi kebijakan ini memperkuat dugaan bahwa RUU TNI disusun secara elitis dan tidak demokratis. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai agenda tersembunyi di balik pengesahan RUU tersebut.
Secara substansial, RUU TNI yang baru disahkan mengandung sejumlah ketentuan yang dinilai melemahkan prinsip supremasi sipil. Salah satu isu utama adalah perluasan kewenangan militer dalam ranah sipil, yang bertentangan dengan semangat Reformasi 1998. RUU ini memberikan ruang lebih luas bagi militer untuk terlibat dalam urusan sipil tanpa mekanisme checks and balances yang memadai.
Dalam regulasi terbaru, persetujuan operasi militer tidak lagi memerlukan keterlibatan legislatif dan cukup diputuskan melalui Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres). Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa prinsip akuntabilitas dan kontrol sipil atas militer semakin lemah.
Bang Fuadi, Wakil Koordinator KontraS Aceh, menilai bahwa perluasan kewenangan militer ini bisa menjadi ancaman serius bagi demokrasi deliberatif. "Sejarah mencatat bahwa kewenangan militer yang terlalu luas berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Jika tidak ada kontrol yang jelas, ini bisa menjadi langkah mundur dalam upaya membangun demokrasi yang sehat," ujarnya.
Selain perluasan kewenangan operasi militer selain perang, RUU ini juga membuka peluang bagi lebih banyak jabatan militer dalam birokrasi sipil. Meski dalam pasal disebutkan hanya 14 jabatan yang boleh diisi oleh militer, faktanya jumlah posisi ini dapat bertambah tanpa batasan yang jelas. Hal ini berisiko memicu militerisasi institusi sipil dan mereduksi peran sipil dalam pemerintahan.
Kekhawatiran lain yang mencuat adalah ketidakjelasan mekanisme hukum bagi personel militer yang melakukan pelanggaran. Tidak ada kepastian apakah mereka akan diadili di peradilan militer atau peradilan umum. Kondisi ini mengingatkan pada sejumlah undang-undang kontroversial yang pernah disahkan secara tergesa-gesa pada tahun 2019.
Dengan berbagai implikasi yang muncul dari pengesahan RUU TNI, masyarakat perlu terus mengawal implementasi kebijakan ini agar tidak merugikan prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan sejak Reformasi 1998. Minimnya transparansi dalam pembahasan serta perluasan kewenangan militer di ranah sipil harus menjadi perhatian utama bagi semua pihak.
Keterlibatan masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi pro-demokrasi dalam mengawal RUU ini menjadi sangat penting agar keseimbangan kekuasaan tetap terjaga. Supremasi sipil tidak boleh tergerus oleh dominasi militer, sehingga prinsip demokrasi tetap dapat dijaga demi masa depan bangsa yang lebih baik.[tmi]