UNIMALNEWS | Lhokseumawe -- Budaya konsumtif masyarakat setiap menjelang Idulfitri sudah melenceng jauh dari makna hakiki hari besar tersebut yang intinya mengutamakan kesederhanaan dan memperkuat silaturahim. Puasa Ramadan merupakan kesempatan untuk melatih pengendalian hasrat yang berlebihan sehingga tidak terdorong mengikuti gaya hidup komsumtif.
“Gempuran iklan yang mengarah kepada pola hidup konsumtif, bisa dikendalikan dengan momentum puasa. Kalau sudah mampu mengendalikan diri, tidak mudah terpengaruh iklan,” ujar pengamat ekonomi Universitas Malikussaleh, Dr H Mohd Heikal dalam Ngobrol Santai alias Ngobras yang disiarkan langsung di RRI Pro 1 dan Pro2 Lhokseumawe, Sabtu (16/5/2020).
Menurut Heikal, ada jebakan konsumtivisme dalam setiap hari raya Idulfitri sehingga orang tidak sadar sudah menjalani pola hidup demikian. “Bahkan antara kebutuhan dan keinginan saja sudah sangat tipis perbedaannya. Kebutuhan itu ada batasannya dan mengenal kata cukup, sedangkan keinginan tidak terbatas,” jelas Heikal ketika merespon pertanyaan seorang pendengar.
Di tengah budaya tersebut yang sudah merasuk ke segenap lapisan dari masyarakat, orang sudah sangat permisif dengan budaya konsumtif. Akibatnya, ketika di akhir Ramadan masjid semakin sepi dan pusat perbelanjaan semakin ramai, orang menganggap itu wajar.
“Islam tidak melarang konsumsi. Bahkan dengan adanya konsumsi di tengah masyarakat berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Yang dilarang dan dinilai dekat dengan perbuatan setan adalah perilaku mubazir dan berlebihan,” ujar Heikal dalam acara yang dipandu Ayi Jufridar yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Malikussaleh.
Menurut Heikal, momentum Ramadan seharusnya digunakan untuk mengendalikan pengeluaran, apalagi di tengah wabah Covid-19 yang membuat daya beli masyarakat menurun. Dalam situasi sulit ini, lanjut Heikal, ada peluang untuk berusaha untuk mendapatkan penghasilan tambahan. “Kalaupun tidak mampu menambah penghasilan, minimal bisa menekan pengeluaran,” papar Heikal yang juga seorang mubalig.
Disinggung mengenai tambahan penghasilan bagi keluarga yang mendapatkan tunjangan hari raya atau THR, Heikal mengingatkan bahwa penghasilan tambahan tersebut harus digunakan dengan bijak. Ada pengeluaran lagi setelah Idulfitri dan ini harus dipertimbangkan sehingga tidak terjebak dengan utang untuk menutupi berbagai keinginan.
“Harus ada skala prioritas. Tidak perlu semuanya harus harus dipenuhi dalam masa Idulfitri. Setelah lebaran, ada kebutuhan lain yang juga mendesak,” tambah Heikal yang juga Ketua Prodi Manajemen Universitas Malikussaleh.
Lebaran kali ini yang jatuh di akhir bulan harusnya menguntungkan bagi keluarga yang mendapatkan THR karena sudah mendapatkan gaji pada bulan berikutnya. Namun, ia juga mengingatkan banyak juga keluarga tidak mendapatkan THR sehingga yang mendapatkannya harus banyak bersyukur.
“Intinya, selama Ramadan pengeluaran yang tidak perlu harus ditekan bahkan dikurangi. Yang harus ditambah justru bersedekah,” tandas Heikal. [kur]