Investasi Premier Oil Andaman II Ltd di Aceh diharapkan berdampak positif bagi masyarakat dari aspek sosial, ekonomi, dan pendidikan. Putra Aceh bisa mengambil peran dari eksplorasi migas sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Sekarang ini, banyak putra Aceh yang berpengalaman dalam bidang eksplorasi minyak dan gas dan bekerja di perusahaan multinasional di berbagai negara. selain itu, perusahaan yang berinvestasi di Aceh juga diharapkan mengedukasi putra Aceh dalam sektor migas, termasuk di lepas pantai (offshore).
Demikian antara lain pandangan yang mencuat dalam focus group discussion tentang pemetaan masalah ekonomi, sosial, dan budaya dari investasi Premier Oil Andaman II Ltd di Aceh yang berlangsung di Universitas Malikussaleh Kampus Lancang Garam, Lhokseumwe, Kamis, 2 Juli 2020. Tokoh dari bebagai kalangan di Lhokseumawe hadir dalam diskusi tersebut seperti alim ulama, akademisi, pengusaha, tokoh muda, jurnalis, politisi, dan aktivis perempuan.
“Meski berada di offshore, kegiatan onshore diharapkan dipusatkan di Lhokseumawe, tidak di Medan atau di Jakarta. Keberadaan perkantoran di Lhokseumawe akan memberikan dampak berganda bagi masyarakat, terutama dari aspek ekonomi,” ujar Irmansyah, seorang jurnalis di Lhokseumawe.
Meskipun Blok Andaman berada di atas 12 mil dan berada di luar kewenangan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), Irmansyah menyarankan agar lembaga tersebut tetap dilibatkan agar kepentingan Aceh tetap terjaga. “Universitas di Aceh harusnya mengambil peran besar di sini, bukan sekadar di bangun satu lab kemudian selesai.”
Irmansyah juga mengharapkan perusahaan migas yang berinvestasi di Aceh juga melatih putra Aceh agar siap bekerja seperti yang pernah dilakukan Medco di Aceh Timur. “Jadi, mereka bisa mengisi kebutuhan tenaga kerja, bukannya membawa pulang putra Aceh yang sudah berkarier di luar negeri,” tandas Irmansyah.
Sedangkan Muklis Azhar, pengusaha, mengingatkan adanya perusahaan migas yang berinvestasi di Aceh jangan sampai mengulang pengalaman masa silam. Ia mengharapkan pemerintah daerah menyiapkan infrastuktur yang selaras dengan operasional perusahaan migas.
“Harusnya, pemerintah daerah juga bisa menanamkan modalnya di perusahaan migas, mungkin di level yang lebih rendah,” saran pengusaha yang akrab disapa Pak Ulis tersebut.
Ia mengharapkan kalangan usaha bisa berperan dari operasionalisasi perusahaan migas di Aceh. Untuk itu, pemerintah daerah harusnya melakukan sosialisasi kepada pengusaha dan masyarakat. “Jangan seperti ini, terus terang saya baru tahu bakal ada perusahaan migas yang akan mengelola Blok Andaman,” tambah mantan anggota DPRK Lhokseumawe tersebut.
Soal penggunaan tenaga kerja lokal, Muklis Azhar sepakat dilakukan sesuai dengan kapasitas kompetensi. Hal senada juga disampaikan Dr Rozanna Dewi, dosen Universitas Malikussaleh. Menurutnya, seluruh komponen masyarakat di Aceh bisa berhitung untung ruginya dalam sebuah investasi. Dalam kasus investasi migas, menurut Rozanna Dewi, lebih menguntungkan bagi daerah meski Blok Andaman jauh di atas 12 mil sehingga bagi hasil dengan Aceh lebih sedikit, tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
“Masalah tenaga kerja lokal, kampus harus menjadi pusat perekrutan. Masalah kompetensi dan isu putra daerah harus seimbang. Peran serta universitas harus lebih besar dibandingkan dengan Arun Jilid I,” ujar dosen yang akrab disapa Nona itu.
Ketua Asosiasi Pemerintahan Desa Kota Lhokseumawe, Muhammad Nurdin, juga mengingatkan tenaga kerja lokal menjadi isu yang sangat sensitif sehingga harus disikapi dengan bijak.
“Kita akui SDM kita di bidang offshore mungkin rendah. Tapi jangan sampai untuk kebutuhan tenaga kerja paling rendah pun, didatangkan dari luar. “Ini aspirasi masyarakat yang sering saya dengar,” ungkap Nurdin yang juga Keuchik Blang Cut Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe.
Bagi Muhadi Bukhari dari LSM Bytra, Blok Andaman II harus disyukuri karena masih masuk wilayah Indonesia, mengingatkan lokasinya sudah berbatasan dengan negara lain. “Kondisi ini membuat Blok Andaman jauh dari jangkauan kita,” kata Muhadi dalam diskusi yang dipandu Teuku Kemal Fasya tersebut.
Namun, ia mengharapkan adanya sinergitas antara investasi migas di Blok Andaman dengan keberadaan Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe.
“Kalau soal tenaga kerja, saya lihat offshore lebih sedikit (membutuhkan tenaga kerja). Tapi hilirisasi dari investasi ini diharapkan lebih berdampak bagi kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai, kekayaan alam yang kita punyai kembali menjadi kutukan,” pungkas Muhadi.
Teuku Kemal Fasya menyebutkan lokasi Blok Andaman di lepas pantai masuk wilayah Kota Lhokseumawe, Kabupaten Bireuen, dan Kabupaten Aceh Utara. Dalam beberapa survei yang mereka lakukan di sejumlah desa di ketiga daerah, masyarakat sangat respek terhadap investasi tersebut dan mengharapkan bisa merasakan dampak positifnya, terutama di bidang ekonomi.
Jika masyarakat ikut diberdayakan dari eskplorasi migas kelak, tentunya kutukan sumber daya alam seperti yang dikatakan Joseph E Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, tidak akan terjadi lagi seperti di masa lalu. [Ayi Jufridar]
Baca juga: Unimal Fasilitasi FGD Perempuan Aktivis Aceh Bahas Industrialisasi Migas Baru