Oleh Bayu Pawana
Sudah enam bulan wabah korona melanda Indonesia, termasuk Aceh. Sejak ditemukannya kasus pertama di Jakarta, Maret 2020, membuat semua orang merasa panik akan wabah ini. Pada mulanya awal kasus ini berawal dari seorang ibu dan anak yang melakukan dansa bersama warga negara Jepang yang merupakan teman dari ibu dan anak ini. Lama-kelamaan wabah ini menjadi terkenal se-antero Indonesia, sampai ke Aceh.
Gejala pada wabah ini sama seperti flu dan demam pada umumnya. Setelah ditemukan kasus pertama, Pemerintah Indonesia masih belum mengeluarkan peringatan kepada masyarakat. Pemerintah hanya mengimbau masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan yang ada seperti mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker.
Pada bulan Maret, kasus korona mengalami mencuat ke permukaan. Namun, seiring berjalannya waktu, adanya protokol ini menjadi tidak lagi ampuh untuk membuat masyarakat menjadi patuh pada aturan kesehatan. Bahkan, mereka pun sampai mudik ke kampung halaman, meski pemerintah telah menyuarakan agar tidak mudik demi menghentikan rantai penularan virus.
Masyarakat mulai merasa bingung dan tak karuan. Kebanyakan dari mereka harus pulang kampung untuk mencari nafkah baru di kampung halaman mereka. Akhirnya banyak sekali kasus-kasus baru yang menjadi kluster pendemi Covid-19 di beberapa wilayah Indonesia. Kebanyakan kluster baru ini didapat setelah banyak orang yang pulang kampung dari perantauan. Kurang ketatnya pemeriksaan di setiap daerah membuat penyebaran virus korona berkembang begitu saja (kompas.com, 14/04/2020).
Sampai saat ini Pemerintah melaporkan kasus Covid-19 di Indonesia bertambah 3.732 kasus pada Minggu (25/10/2020). Dengan begitu, total kasusnya menjadi 389.712 kasus. Sebanyak 313.764 orang di antaranya telah dinyatakan sembuh dan 13.299 orang meninggal dunia, sementara sisanya masih menjalani perawatan. Selain itu, ada 168.918 orang berstatus orang dalam pemantauan (ODP) (kemkes.go.id, 25/10/2020)
Kontrol negara
Menurut sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Drajat Tri Kartono, fenomena kasus positif di Indonesia belum sampai menurun sampai saat ini karena Pemerintah belum maksimal dalam mengatasi lonjakan arus mudik ke kampung halaman yang sampai saat ini masih berlangsung.
Hal ini dikarenakan sosial kontrol suatu negara kurang, sehingga mengakibatkan masyarakat tidak menghiraukan imbauan pemerintah untuk mematuhi protokol kesehatan. Masyarakat masih enggan mematuhi karena standar untuk mengecek gejala Covid-19 terbilang mahal. Sebut saja rapid test maupun swab tes yang harganya sungguh di luar nalar. Adanya harga tes covid 19 ini malahan menambah buruk penanganan Corona di Indonesia.
Selain itu, lanjut Drajat, masyarakat perlu memiliki kesadaran dalam menjaga kesehatan di masa pendemi ini. Seperti halnya menjaga jarak, mencuci tangan, dan mematuhi protokol kesehatan lainnya yang saat ini masih belum dipatuhi seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah juga perlu memperketat aturan keluar masuknya orang dari luar daerah yang akan masuk ataupun keluar.
Pemerintah juga jangan hanya berfokus pada pengendalian di daerah ibu kota saja. Namun juga perlu memperhatikan berbagai daerah yang menjadi kluster baru seperti Surabaya, Bandung, termasuk Aceh yang memiliki jumlah pasien positif yang meningkat. Untuk itu pemerintah sebaiknya melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap kasus korona ini.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah orang tua melarang anaknya yang mudik atau yang menempuh pendidikan di luar kota untuk melarang pulang ke kampung halaman karena dapat membahayakan tetangga sekitar dan keluarganya. Tidak hanya itu, masyarakat juga perlu menggunakan modal sosial dalam mengatasi masalah virus korona ini. Dengan cara ini masyarakat dapat lebih mudah mendapatkqn layanan kesehatan dan akses bantuan yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Dana Covid-19
Sementara beberapa faktor lainnya yang menyebabkan kurva positif belum melandai adalah kurangnya dana penanganan virus ini. Hal ini membuat ekonomi masyarakat mengalami penurunan drastis. Secara tidak langsung konpensansi dari negara belum banyak membantu kebutuhan masyarakat luas.
Dengan tidak diperbolehkannya keluar rumah tentu saja membuat kondisi keuangan setiap keluarga berkurang. Dana penanganan Covid-19 yang kurang mencukupi tidak bisa membantu kondisi ekonomi suatu keluarga dalam waktu lama. Keterjaminan keluarga di Indonesia sendiri harus dibarengi dengan sinergi antara pemerintah maupun pengusaha di Indonesia. Tentu dengan adanya dana yang mencukupi dari pemerintah akan membantu keberlangsungan hidup masyarakat yang terdampak Corona. Pemerintah sendiri perlu menyediakan berbagai dana kompensasi bagi mereka yang terkena PHK atau bagi para pedagang yang mengalami kesusahan di masa pandemi ini.
Penyebab lainnya yang membuat kurva belum melandai di Indonesia adalah kurangnya keteraturan masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan. Masyarakat perlu diberikan suatu pemahaman seperti melakukan imbauan secara terus menerus, supaya masyarakat bosan dan akhirnya mematuhi segala protokol kesehatan.
Saat ini media lokal di Tanah Air, termasuk di Aceh, menggunakan berbagai cara untuk menginformasikan berita terkini terkait penularan Covid-19. Cara ini sangat baik diterapkan oleh pemerintah untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat dalam menegakkan aturan supaya masyarakat bisa lebih mengerti bahwa virus korona itu berbahaya.
Saat ini bisa dibilang masyarakat masih belum mampu mematuhi protokol keseharan. Banyak dari masyarakat kurang mematuhi anjuran pemerintah untuk senantiasa menjaga kebersihan. Kebiasaan kurang patuh ini sangat perlu diberikan pemahaman bahwa virus Corona sangat berbahaya bagi kesehatan.
Inkonsistensi peraturan
Sebagai pemangku kebijakan pemerintah mengeluarkan statemen untuk tinggal di rumah. Tentu saja hal ini berdampak pada perekonomian masyarakat terutama bagi para pekerja harian seperti ojek online dan para freelancer.
Peraturan yang dibuat oleh pemerintah masih terbilang kacau. Karena peraturan seperti pelarangan kegiatan transportasi seperti ojek online masih berubah-ubah. Begitu juga dengan peraturan tidak memperbolehkan masyarakat untuk pulang kampung masih bisa dikatakan tumpang tindih.
Di satu sisi pemerintah melarang mudik tetapi di sisi lain juga membolehkan kendaraan pribadi untuk bisa keluar masuk daerah lainnya. Alhasil peraturan yang dibuat seakan tidak begitu penting karena peraturan yang dibuat berbelit-belit dan tumpang tindih. Hal ini tentu saja membingungkan masyarakat dan membuat masyarakat merasa masa bodoh terhadap peraturan yang dibuat pemerintah.
Adanya peraturan tumpah tindih ini berdampak pada lambannya kurva bergerak turun sampai awal November ini. Maka dari itu perlu adanya peraturan yang harus dijalankan agar masyarakat bisa dengan mudah memahami peraturan yang sudah disepakati. Disamping itu, pemerintah juga perlu melibatkan publik dalam perumusan kebijakan yang dilakukan.[]
***
Bayu Pawana, mahasiswa Program Teknik Industri Universitas Malikusaleh. Mengikuti Program KKN Penulisan Karya Pengabdian (KKN – PKP) di bawah bimbingan dosen pembimbing lapangan Dr Faisal Matriadi.