SEJAK Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, Universitas Malikussaleh langsung berbenah dengan melakukan sejumlah penyesuaian. Setelah melalui serangkaian lokakarya dan seminar, selain diskusi-diskusi di luar forum resmi, akhirnya Unimal memberlakukan kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka pada semester ganjil 2020/2021.
Tentunya tidak semua berjalan lancar sebagaimana yang termaktub dalam panduan kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Setidaknya begitulah yang tergambar dalam Workshop Pengembangan Kurikulum Merdeka di Banda Aceh, 7-8 Desember 2020. Kegiatan yang berlangsung secara luring dan daring tersebut diikuti seluruh pimpinan, para dekan, dan ketua program studi di lingkungan Universitas Malikussaleh.
Dosen Institut Pertanian Bogor, Dr Alim Setiawan Slamet, yang menjadi pemateri menyebutkan pada prinsipnya pemberlakuan Kurikulum Merdeka memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan dan minat dalam bidang tertentu. Kurikulum tersebut disusun untuk menyiapkan mahasiswa mampu berenang di tengah samudra, sebagaimana yang sering ditamsilkan Mas Menteri Nadiem Anwar.
“Kurikulum harus menggambarkan standar capaian. Dalam prosesnya bisa menggambarkan Tri Darma Perguruan Tinggi. Di dalamnya bisa mendukung peningkatan skill mahasiswa yang sangat dibutuhkan pada kondisi saat ini,” jelas Alim Setiawan yang menyampaikan materi secara daring.
Untuk melaksanakan Kurikulum Merdeka, peran dosen sangat menentukan. Kurikulum disusun secara fleksibel, mengadaptasi perubahan, paradigma baru, dan secara periodik harus diaudit. Kurikulum Merdeka juga menuntut adanya multidisiplin, mampu memecahkan masalah secara kompleks, penguasaan bahasa asing, materi dan media belajar yang terbuka, serta mampu menggunakan teknologi digital.
“Kurikulum juga harus mampu meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam berbagai bidang. Kurikulum juga mempertimbangkan visi misi dari perguruan tinggi dan sinyal-sinyal perubahan ke depan,” jelas Alim Setiawan yang sudah beberapa kali menjadi pemateri dalam tema MBKM di Universitas Malikussaleh.
Alim Setiawan mengapresiasi Universitas Malikussaleh yang menurutnya progresif dalam melaksanakan Kurikulum Merdeka. Ia mengingatkan hasil pemberlakuan MBKM tersebut dievaluasi secara berkala dan terbuka dengan berbagai perubahan, termasuk dalam bidang teknologi.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Teuku Kemal Fasya, secara kritis mempertanyakan aspek filosofis MBKM apakah telah mempertimbangkan dimensi filosofis dari Undang-Undang Sisdiknas terkait adanya pemerataan pendidikan dan hadirnya proses pendidikan yang efektif dan efisien. Termasuk juga dikontraskan dengan UU Pendidikan Tinggi tentang tujuan pendidikan yaitu pembudayaan dan tertanamnya nilai-nilai humaniora dalam proses pendidikan.
"Karena secara praksis model KMMB (Kurikulum Merdeka Merdeka Belajar) ini desainnya terlihat sangat neoliberalistik dan mengakomodasi sistem permagangan yang ada di fakultas eksakta. Kurikulum Merdeka seolah hanya fokus pada bidang eksakta saja dan tidak cocok untuk sistem pendidikan sosial humaniora,” paparnya. Teuku Kemal Fasya juga mengingatkan agar tidak terburu-buru menerapkan kurikulum MBKM sehingga mengabaikan berbagai keterbatasan yang ada, baik pada dosen, mahasiswa, maupun lingkungan.
Menurut Ketua Pengelola Hibah Luar Negeri (PHLN) yang menggelar wokshop tersebut, Dr Ing Sofyan, penerapan Kurikulum Merdeka di Unimal pada semester ganjil menghadapi tantangan berat karena harus dilakukan dalam masa perkuliahan daring. “Tapi pembelajaran daring tidak mengendurkan semangat untuk melaksanakan Kurikulum Merdeka,” ujar Sofyan.
Pembantu Rektor I Bidang Akademik, Jullimursyida PhD, mengakui pelaksanaan MBKM di Unimal menghadapi banyak kendala dan hambatan. “Tapi berkat semangat dari Pak Rektor, MBKM tetap berjalan dengan sejumlah hal yang harus dievaluasi,” ujar Jullimursyida.
Menurutnya, dari 45 program studi, baik S1 maupun S2 yang ada di Unimal, Kurikulum Merdeka tidak diarahkan untuk pendidikan D3 dan S2 karena memiliki sasaran yang berbeda.
Menanggapi pertanyaan dari beberapa dosen Unimal, Alim Setiawan menyebutkan MBKM tidak hanya untuk prodi eksakta, tetapi bisa juga untuk ilmu humaniora. Penerapan Kurikulum Merdeka, menurutnya, bukan berarti menggabungkan sejumlah mata kuliah menjadi satu dan mengurangi SKS.
“Digabung atau tidak, tidak ada kaitan dengan Kurikulum Merdeka. Tapi apakah mata kuliah tersebut mendukung tercapainya output atau tidak. Merdeka Belajar hanya memberikan pilihan kepada mahasiswa, tidak ada kaitannya dengan pengurangan SKS,” jelasnya.
Rektor Unimal, Dr Herman Fithra Asean Eng, menyebutkan harus ada sejumlah perbaikan yang dilakukan untuk "menyempurnakan" Kurikulum Merdeka. Menurutnya, perlu sosialisasi yang lebih intensif kepada seluruh civitas academica tentang Kurikulum Merdeka. “Yang jelas, Kurikulum Merdeka sejalan dengan visi dan misi unimal untuk menjadi kampus unggul berbasis potensi lokal,” pungkas Rektor. [Ayi Jufridar]