JARUM jam menunjuk tepat pukul 10.15 WIB. Langit terlihat mendung, seakan hujan akan turun. Para peneliti etnografis (sejarah dan etnis di Aceh) yang berasal dari Universitas Malikussaleh tiba di kawasan objek wisata Lawe Sikap, Bukit Mbarung, Kecamatan Babussalam, Aceh Tenggara. Sebelum beranjak ke lokasi wisata terlebih dahulu tim ziarah ke Makam Maulana Malik Ibrahim, yang merupakan salah seorang pejuang masyhur di masa kolonial Belanda.
Makam Datuk Maulana Malik Ibrahim juga salah satu situs wisata religi di Kabupaten Aceh Tenggara. Letaknya di tepi sungai Lawe Alas pada ketinggian sekitar 45 meter dari permukaan sungai Lawe Alas, tepatnya di atas bukit Mbarung. Tim dari Universitas Malikussaleh adalah Rizki Yunanda, Dedi Feriadi, Iromi Ilham, dan Bustami.
Kami dipandu oleh Hamidah SPd, guru yang berprestasi tingkat SMP Se-kabupaten Aceh Tenggara, ia juga penulis buku "Seni Adat Budaya Alas" dan pernah meraih berbagai prestasi lainnya di dunia pendidikan. Selain itu, Laila Witra SPd alumni Sejarah dari Universitas Syiah Kuala menyemangati tim peneliti dan memandu berbagai situs sejarah yang layak ditelusuri untuk dituangkan dalam tulisan.
Kesan yang tidak terlupakan itu ketika tim mendaki bukit menuju lokasi produksi Gula Aren yang ketinggiannya capai 280 meter dengan objek wisata lawe Sikap dengan jarak 2 Km lebih. Langkah kaki melebar setelah menikmati Kopi Aren di Cafe Bira Selian yang berada di lokasi wisata Lawe Sikap. Ketua tim peneliti yang memiliki badan kelas kakap dengan berat 125 Kg lebih menepak semangat bagi kawan-kawan yang lain untuk bergerak melakukan pendakian.
Tanjakan kian menantang, jalan setapak yang beralas beton dengan ketinggiannya hampir 90 derajat itu terlihat semakin ekstrim. Laila selaku pemandu kami harus melepaskan sepatunya, Rizki ketua dari tim terasa berat ketika mendaki, padahal ia adalah salah seorang alumni pendaki gunung Burni Telong Kabupaten Bener Meriah, bahkan medan yang dihadapinya tidak jauh beda. "Sudah lama tidak latihan, inilah akibatnya, sungguh berat ketika saya mendaki, lebih berat dari beban (Berat Badan) saya ini," ungkap Rizki sambil bercanda bersama tim.
Setelah berjalan dengan durasi waktu 45 menit itu kami sampai ke lokasi produksi gula aren milik Basri (60), ia bersama anak-anak nya sudah menunggu kedatangan kami di sebuah rangkang yang kesehariannya mengolah dan memproduksi gula aren untuk dipasarkan ke para pembeli.
Disana, Basri mengajari kami cara membuat gula aren, yang dimulai dari pengambilan bahan dasarnya yaitu air nira dari pohon aren, bahan campuran lainnya sampai gula aren itu siap dipasarkan. Di Aceh Tenggara (Agara), gula aren merupakan salah satu kuliner tradisional. Gula aren juga kerap diproduksi sebagai buah tangan atau oleh-oleh. Biasanya, masyarakat Agara yang pergi merantau ke luar daerah, belum lengkap rasanya jika menemui famili atau teman tanpa menyuguhkan gula aren, begitu juga dengan para penikmat wisata di kabupaten tersebut.
Basri yang memiliki 6 anak laki-laki dan 4 anak perempuan itu terlihat begitu semangat menjelaskan cara produksi Gula Aren kepada kami. Dia begitu ramah, istrinya ikut menyemangati kami yang di sponsor oleh anak-anaknya di lokasi tersebut. Tak lama kemudian kami diberikan minuman aren yang sudah dimasak.
Sekitar pukul 14.00 WIB kami beranjak pulang, dengan badan yang masih bertenaga setelah meneguk air aren yang dimasak tadi. Turun dari bukit itu juga terasa berat karena kami harus memanfaatkan ranting kayu sebagai alat bantu langkah hingga kembali ke lokasi tempat kami melangkah tadi.[Bustami Ibrahim]