Dari Rumah Adat Cut Meutia ke Pulau Seumadu: Petualangan Kelompok Rampagoe PMM di Aceh Utara

SHARE:  

Humas Unimal
Kunjungan mahasiswa PMM Kelompok Rampagoe di Rumah Adat Cut Meutia, Sabtu (7/10/2023). Foto: Ist.

UNIMALNEWS | Aceh Utara - Gampong Pirak Kecamatan Pirak Timur Kabupaten Aceh Utara, Sabtu (7/10/2023) Kelompok Rampagoe Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) yang terdiri dari mahasiswa Inbound Universitas Malikussaleh (Unimal) telah merasakan pengalaman yang mengagumkan saat mereka berkunjung ke Rumah Adat Cut Meutia. 

Rumah adat ini adalah perwujudan indah dari arsitektur tradisional Aceh yang memiliki sejarah dan keunikan tersendiri.

Rumah Adat Cut Meutia memiliki atap berbentuk segitiga yang khas Aceh dan dihiasi dengan ukiran-ukiran yang memukau sehingga menarik perhatian para anggota Kelompok Rampagoe yang datang dari berbagai penjuru Indonesia. Rumah adat Cut Meutia digambarkan sebagai simbol kehidupan tradisional Aceh yang harmonis dengan alam sekitarnya.

Eldita, salah satu anggota Kelompok Rampagoe, berbagi kesan positif ketika berkunjung ke tempat bersejarah ini. "Kunjungan ini adalah pengalaman yang luar biasa. Kami belajar begitu banyak tentang sejarah dan budaya Aceh, terutama mengenai arsitektur dan peninggalan yang ada pada rumah adat yang indah ini," ungkapnya.

Selain berperan sebagai cagar budaya, Rumah Adat Cut Meutia juga berfungsi sebagai Museum tempat penyimpanan sejumlah artefak bersejarah yang sangat menarik. Di dalam bangunan ini, pengunjung dapat mengeksplorasi koleksi lukisan Cut Meutia, serta melihat foto-foto yang mencakup gambaran Rumah Cut Meutia sebelum direnovasi dan gambar para pemimpin pasukan kolonial Belanda. 

Selain rumah adat itu sendiri, mahasiswa PMM juga mengunjungi Monumen Cut Meutia yang terletak di sekitar cagar budaya tersebut untuk menghormati dan memperingati jasa-jasa Cut Meutia yang telah gigih melawan penjajah Belanda.

Rizky, ketua Kelompok Rampagoe, menekankan bahwa pentingnya kunjungan ini karena selain belajar mereka juga harus mengetahui bagaimana sejarah yang ada di Aceh. "Saya berharap bahwa kunjungan Kelompok Rampagoe ke Rumah Adat Cut Meutia akan menjadi pengalaman yang tidak hanya memberi wawasan mendalam tentang budaya Aceh, tetapi juga akan menginspirasi seluruh anggota Kelompok Rampagoe untuk lebih peduli terhadap pelestarian warisan budaya Indonesia yang kaya,” jelasnya.

Tambahnya, kunjungan ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga dan melestarikan warisan budaya seperti Rumah Adat Cut Meutia, yang menjadi bukti sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

Bak paket lengkap, usai berwisata sejarah kelompok Rampagoe melanjutkan kunjungannya ke Pantai Rancong Pulau Seumadu dengan agenda makan bersama. Acara makan bersama ini diinisiasi untuk mempererat hubungan kekeluargaan antaranggota kelompok Rampagoe. 

Tidak sekadar makan bersama, seluruh rangkaian acara didesain oleh Dosen Modul, Imamshadiqin dan anggota kelompok sehingga memiliki momentum yang menarik. "Mulai dari memanggang ikan laut secara langsung di pinggir pantai hingga menyiapkan meja makan dari kertas nasi yang disusun berjejer memanjang, semua dilakukan sendiri oleh Kelompok Rampagoe," katanya.

Imamshadiqin bersama Kelompok Rampagoe pada kesempatan itu juga memantik diskusi ringan tentang agenda SDGs pilar pembangunan lingkungan, khususnya tujuan nomor empat belas yakni Ekosistem Kelautan. 

"Diskusi sederhana seputar bagaimana Indonesia dapat mendayagunakan laut dan samuderanya untuk tujuan pembangunan berkelanjutan di tahun yang telah ditargetkan," sebutnya. 

Yezalya, salah satu anggota juga menyampaikan bahwa diskusi tersebut memberikan insight baru kepadanya tentang pentingnya menjaga ekosistem kelautan. 

"Sebab laut yang buruk dan tercemar berdampak buruk pula pada sumber daya yang dihasilkan, padahal sumber daya laut dapat mendongkrak pembangunan berkelanjutan di negeri kita,” pungkas Yezalya. [fzl]


Berita Lainnya

Kirim Komentar