Memetik Hikmah Lain dari Pembelajaran Daring

SHARE:  

Humas Unimal
Gelar wicara di Pro 1 RRI Lhokseumawe yang dipandu dosen Universitas Malikussaleh, Ayi Jufridar, setiap Sabtu pagi. Foto: Ist.

Di tengah tingginya tekanan ibu rumah tangga karena harus menjadi guru mendadak untuk semua mata pelajaran, banyak nilai positif hanya bisa diambil dari situasi tersebut. Antara lain, seorang ibu memiliki quality time dalam membentuk karakter anak-anak.

“Orang tua bisa masuk dalam interaksi tugas-tugas sekolah. Orang tua juga bisa masuk berperan menjelaskan materi-materi sekolah anak yang selama ini diserahkan sepenuhnya ke sekolah,” jelas Deassy Siska menanggapi dialog Ngobrol Santai alias Ngobras di Pro 1 RRI Lhokseumawe, Sabtu pekan lalu.

Menurut dosen Universitas Malikussaleh itu, orang tua memegang peranan penting dalam mendukung tingkat keberhasilan pembelajaran daring. Ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan lain, harusnya merasa beruntung karena bisa mencurahkan sepenuh waktu untuk pembentukan karakter anak.

“Sedangkan ibu-ibu yang berkarier harus bisa membagi waktunya seefisien mungkin untuk anak. Karena apa? Waktu efektif nalar anak itu adalah pagi hari dan siang. Di waktu itu pula ibu-ibu bekerja,” jelas Deassy yang memiliki tiga anak di jenjang SMP, SD, dan TK.

Ditambahkan, kondisi itu membuat wanita karier yang juga seorang ibu harus mengajarkan anak pada sore atau malam hari. Padahal, kondisi kebugaran si ibu juga sedang turun dan butuh istirahat.

Biasanya, pada sore dan malam hari, kondisi anak sudah tidak fresh lagi. Anak sudah kelelahan bermain seharian, sehingga proses penyerapan materi dan membuat tugas menjadi kurang efektif. Untuk mengatasi masalah itu, Deassy mengoptimalkan waktu di rumah untuk membantu anak belajar secara daring.

Sementara Dr Rozanna Dewi berpendapat pembelajaran daring mengurangi perhatian guru terhadap kemampuan anak menguasai pelajaran. Sulit mengukur keseriusan anak melalui pembelajaran daring. “Pengerjaan tugas-tugas juga tidak efektif karena bisa jadi anak-anak mencari jawabannya di internet,” ujar peneliti plastik ramah lingkungan tersebut.


Selain melimpahkan “beban” mengajar kepada orang tua, menurut Rozanna, guru dituntut mengikuti kemampuan peserta didik. Namun, ia meyakini situasi belajar daring nantinya juga akan terbiasa bagi peserta didik, guru, dan orang tua.

Bagi Dwi Fitri, seorang dosen dan ibu rumah tangga di Lhokseumawe, pembelajaran daring tak lebih dari "proses instan para ibu menjadi guru terbaik bagi anak-anaknya". “Selama ini ada pepatah mengatakan bahwa ibu adalah madrasah utama bagi anaknya. Kini waktunya membuktikan itu benar,” ujar Dwi Fitri.

Ia mengakui, banyak ibu yang mengalami depresi ringan karena banyaknya mata pelajaran dan tugas siswa, selain penguasaan teknologi bagi sebagian ibu yang masih menjadi masalah. Untuk itu, dibutuhkan kesabaran dalam menghadapi perubahan tersebut. Seperti Deassy, Dwi juga mengambil hikmah semakin terbangun kedekatan dan kerja sama antara anak dan ibu dalam situasi pembelajaran daring.  

“Jujur saja, proses daring ini telah menyadarkan kami, para ibu, untuk berempati kepada guru. Ternyata menjadi guru di sekolah bukan pekerjaan mudah,sehingga toleransi dan hormat terhadap profesi guru pun drastis meningkat,” ujar dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh tersebut.

Gelar wicara _Ngobras_ tentang pembelajaran daring juga mendapat respon dari Cut Ema Aklima di Banda Aceh. Menurut pengurus e-Sport Provinsi Aceh tersebut, pembelajaran daring memiliki plus minus. Salah satu kendalanya, seorang ibu harus mengajar anak lebih dari satu orang dan hanya memiliki satu ponsel saja.

“Hal ini menambah beban ibu karena ada tugas domestik yang tidak bisa ditinggal,” ujar Ema. Menurutnya, pemahaman anak terhadap pembelajaran online bervariasi, terkadang ada beberapa anak yang kurang tanggap dan cepat memahami pelajaran. Sementara tidak  semua ibu memiliki latar sebagai pengajar yang baik.

Gelar wicara tentang pembelajaran daring yang dipandu Ayi Jufridar, menghadirkan wartawan sekaligus guru, Deni Muhtadi yang lebih dikenal sebagai Deni Andepa. Narasumber lain adalah Halim Abe, tokoh masyarakat di Aceh Utara.

Deni mengkritisi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tidak siap menggelar pembelajaran daring. Menurut Deni, Dinas Pendidikan perlu memberikan pelatihan kepada guru dan sekolah diharapkan sering berkoordinasi dengan orang tua murid.

“Masih banyak guru yang tidak menguasai teknologi dengan bagus. Orang tua juga tidak mungkin mampu menguasai semua pelajaran,” kata Deni yang mengaku sering membantu anak-anak dalam pembelajaran daring.

Hal senada disampaikan Halim Abe yang mengaku ikut membantu anak-anak dalam pembelajaran daring. Secara khusus, ia menyoroti masalah ketersediaan jaringan yang tidak merata di seluruh gampong. “Mungkin kalau di Lhokseumawe tidak terkendala, tapi berbeda dengan Aceh Utara yang kualitas jaringan tidak merata di seluruh kecamatan,” tandas Halim. [Ayi Jufridar]

Baca juga: Kurikulum Kampus Merdeka untuk Mengarungi Badai Samudra 


Kirim Komentar