Ketika Santri Belajar Jurnalistik

SHARE:  

Humas Unimal
Dosen Universitas Malikussaleh, Ayi Jufridar, memberikan materi tentang jurnalisme dasar kepada 215 santri dan satriwati Pesantren Modern Misbahul Ulum, Paloh, Lhokseumawe, Sabtu pekan lalu. Foto: Ist.

“Apa yang dimaksud dengan diklat?”

Itulah salah satu pertanyaan santri Pesantren Modern Misbahul Ulum, Paloh, Lhokseumawe, ketika mengikuti pelatihan jurnalistik dasar di Masjid Al Hasyimiyah, 5-6 September 2020. Mereka berani bertanya bahkan terhadap akronim yang mungkin sudah tidak asing lagi di telinga orang banyak.

Pemateri dari Universitas Malikussaleh, Ayi Jufridar, tidak perlu repot-repot menjawab pertanyaan tersebut. Ketika dilemparkan kembali kepada peserta, sejumlah santriwati langsung menyambar; “Pendidikan dan pelatihan!”

Ayi Jufridar kemudian menjelaskan bahwa diklat masuk dalam akronim baku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) seraya memperlihatkan aplikasinya di gadget. Tentu saja para santri tidak bisa memastikannya karena mereka dilarang menggunakan gadget.

Banyak pertanyaan lain yang penuh kejutan disampaikan para santri, misalnya tentang nilai-nilai berita. Seorang santriwati menyebutkan banyak kejadian di sekitarnya dan bagaimana memilihnya menjadi sebuah berita yang layak tayang. Ada juga yang bertanya tentang jalan menjadi seorang wartawan.

Tidak semua pernyataan tentang jurnalistik, malah banyak pertanyaan tentang menulis novel. Jenis pertanyaan mulai dari sumber ide menulis, teknik penulisan, sampai terhadap genre dalam karya fiksi.  “Banyak cara menjadi seorang novelis? Apa saja yang harus saya lakukan?” tanya seorang santriwati.

Tenaga pengajar di Pesantren Modern Misbahul Ulum, Tgk Juwanda MPd, mengatakan ada 215 yang mengikuti pelatihan jurnalistik tersebut. Banyak dari mereka, terutama yang santriwati, memiliki minat dalam menulis karya sastra. “Makanya ke depan, kami juga akan menggelar pelatihan menulis sastra,” ungkap Tgk Juwanda.

Banyaknya pertanyaan membuat pelatihan tersebut belum berakhir meski jam sudah menunjukkan pukul 00.05. Ketika malam semakin beranjak tua, pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir. “Kalau tidak saya batasi, mungkin sampai pagi belum selesai,” ungkap Ayi Jufridar.

Setelah diskusi berakhir, para santriwati ingin mendapatkan pesan khusus dari pemateri yang ditulis dalam buku catatan mereka. “Pesan khusus ini menjadi motivasi kami dalam menulis,” ujar Mayang.

Pimpinan Pesantren Modern Misbahul Ulum,  KH Dr Hamdani Khalifah MA, menyebutkan mempelajari ilmu jurnalistik tidak cukup satu atau dua hari. “Kami dulu belajar jurnalistik sampai beberapa semester. Tapi anak-anak belajar satu malam esoknya langsung ujian,” ujar KH Hamdani ketika membuka kegiatan Diklat Jurnalistik yang berlangsung di Masjid Al Hasyimiyah, Paloh, Lhokseumawe.

KH Hamdani meminta peserta serius dan fokus mengikuti pelatihan karena mereka diberi tugas untuk menulis berita kegiatan tersebut. KH Hamdani juga meminta siswa bisa mengelola majalah dinding dengan informasi terbaru setiap hari. “Mereka memiliki mading dan website untuk melatih kemampuan menulis,” kata KH Hamdani.

Ayi Jufridar yang baru pertama kali mengajar jurnalistik di masjid tersebut mengaku senang melihat para pelajar tingkat SLTA tersebut sangat berani menanyakan banyak hal tentang menulis.

"Mereka berani menyampaikan apa yang mereka ingin ketahui. Itu modal penting dalam proses transfer ilmu pengetahuan,” ujar Ayi Jufridar yang pernah menjadi wartawan di sejumlah media cetak dan elektronik.[Kurniawati]


Kirim Komentar