Oleh Fadhil Mubarak Aisma
SAYA bukan perempuan, tapi menulis tentang perempuan, sebab saya tahu bahwa sejak dalam buaian ayunan, banyak pelajaran-pelajaran kehidupan dasar yang saya dan sebagian besar pembaca pelajari dari perempuan, yakni ibu. Tepat seperti kata tokoh penyair Ahmad Syauqi yang berbunyi, "Seorang perempuan (ibu) adalah lembaga pendidikan, yang jika benar-benar mempersiapkan dirinya, berarti dia telah mempersiapkan sebuah generasi yang benar-benar digdaya." Karenanya, memberdayakan perempuan dengan meningkatkan kualitas pendidikannya adalah suatu keniscayaan.
Dalam sejarahnya, topik perempuan selalu saja menarik untuk dibaca, dikaji, didiskusikan, dan ditulis. Teungku Abdul Hamid M. Djamil Lc., M.Ag., dalam buku "Seperti Inilah Islam Memuliakan Wanita" menjelaskan panjang lebar bagaimana keadaan wanita pada peradaban-peradaban besar dalam sejarah. Mulai dari peradaban Yunani, Romawi, India, terlebih masa Arab pra-Islam.
Hak perempuan
Satu garis besar persamaan dari semua peradaban tersebut adalah perempuan tidak benar-benar mendapatkan hak-haknya sebagai manusia. Jangankan hak pendidikan, hak hidup saja sulit didapat. Hingga akhirnya Islam datang dengan perantara Nabi Muhammad untuk memberikan hak-hak asasi tersebut kepada kaum hawa. Seiring berjalannya waktu, perempuan akhirnya mendapatkan bagian yang sama sebagaimana laki-laki dalam hal pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya.
Perempuan dan pendidikan sudah sepantasnya selalu menyatu. Karena baik buruknya generasi ke depan bergantung besar pada perempuan. Saat seorang anak lahir, ilmu pengetahuan pertama yang diterimanya adalah dari ibunya. Sehingga anak yang adalah turunan dari seorang ibu yang cerdas. Ini yang jarang direnung oleh perempuan-perempuan yang telah atau akan berprofesi sebagai ibu rumah tangga (IRT).
Perempuan-perempuan Aceh mayoritasnya tidak mencari nafkah, melainkan melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak. Namun banyak yang menjadi IRT adalah mereka yang pendidikannya tidak tinggi-tinggi. Dalihnya karena tidak akan berkarier, jadi tidak perlu kuliah dan sebagainya. Padahal menjadi pintar bukan hanya untuk mencari pekerjaan, melainkan sebagai bekal kehidupan. Hidup akan jauh lebih mudah jika kita punya banyak pengetahuan dan wawasan.
Di samping itu, wanita yang pintar akan menciptakan generasi yang pintar pula. Sehingga seharusnya syarat untuk menjadi ibu rumah tangga paling tidak sama dengan syarat bekerja di bank, atau menjadi dokter atau perawat. Jika pekerjaan-pekerjaan mainstream tersebut mewajibkan pegawainya berpendidikan minimal sarjana, seorang ibu rumah tangga pun seharusnya demikian.
Menjadi ibu rumah tangga sebenarnya tidak selalu melulu tentang kemampuan memasak, mencuci, dan menyapu. Lebih dari itu, ibu rumah tangga adalah seorang manager rumah tangga, di mana tugasnya adalah me-manage segala keperluan, pemasukan, pengeluaran, keamanan, serta kenyamanan sebuah keluarga. Hingga bisa terwujud sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, sebagaimana tujuan utama menikah.
Ibu-ibu Aceh seharusnya menjadi perempuan carong (cerdas). Karena sebelum seorang anak mengenyam pendidikan di sekolah, ia akan terlebih berguru pada ibunya. Jika ibu-ibu Aceh berwawasan luas, ia bisa mengajari anaknya sendiri di rumah terlebih saat hampir semua sekolah menerapkan sistem belajar daring di rumah pada pandemi dewasa ini.
Ibu yang menggantikan guru Matematika, Fisika, Biologi, dan ilmu Sosial. Ibu yang mengajari anaknya ilmu-ilmu alam dan bahasa asing. Jika seorang ibu tidak berpendidikan tinggi, maka ia akan kewalahan saat menghadapi situasi seperti ini. Sebaliknya, jika ibu berpendidikan tinggi, maka anak akan melihat bahwa ia bisa belajar banyak hanya dari seorang ibu.
Pendidikan bagi perempuan
Menjadi ibu rumah tangga bukan berarti harus berpendidikan rendah. Sebaliknya, harus berpendidikan setinggi-tingginya. Masyarakat Aceh pada umumnya memiliki stigma bahwa perempuan tidak perlu belajar terlalu tinggi, karena pada akhirnya juga akan mengurus rumah tangga dan tidak bekerja.
Hal ini dipatahkan oleh Prof Eka Sri Mulyani, seorang profesor perempuan termuda di UIN Ar-Raniry. Prof Eka adalah seorang perempuan, namun keriernya dalam dunia akademik sangat tinggi. Bahkan berhasil menyabet gelar profesor setelah berkeluarga. Hal ini beliau raih di samping juga mengurus rumah tangga. Prof Eka adalah contoh sosok seharusnya perempuan-perempuan Aceh.
Manusia berpendidikan baik laki-laki maupun perempuan akan dengan sendirinya terangkat derajatnya. Perempuan Aceh yang carong juga dapat ikut andil dalam menjadikan Aceh lebih maju, adil, dan sejahtera. Dalam ruang lingkup paling kecil, wanita dapat turut membantu menjadikan sebuah keluarga menjadi sejahtera.
Dalam ruang lingkup yang besar, perempuan Aceh dapat bahu-membahu tanpa memandang gender dalam membangun Aceh di segi politik, ekonomi, pariwisata, dan lain sebagainya. Sehingga perempuan Aceh tidak hanya menjadi penonton pembangunan, tapi juga turun tangan.
Sejak masa penjajahan pun sebenarnya demikian perempuan Aceh adanya. Tidak hanya sebagai pendamping, juga membantu berperang melawan penjajah. Cut Nyak Dhien adalah salah satu contohnya. Saat Teuku Umar wafat, ia langsung mengambil kendali. Itu Karena intelektualitasnya yang tinggi sehingga bisa memimpin perlawanan.
Hal ini membuktikan bahwa perempuan Aceh dulu dan harusnya juga sekarang menjadi perempuan Aceh yang carong.[]
***
Fadhil Mubarak Aisma, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Ummul Ayman, Pidie Jaya. Artikel ini merupakan pemenang ketiga lomba menulis bertema Harapan Perubahan Aceh 2021 yang digelar Universitas Malikussaleh dan didukung Mubadala Petroleum, Premier Oil, serta SKK Migas.