"Jadikan diri kalian sebagai pesona, intan kemilau yang memancar warna dan cahaya bagi keluarga, masyarakat, dan bangsa. Di tanah ini kalian tegakkan harga diri. Dari kampus ini kalian tempa identitas diri, belajar dan menjadi orang yang berkarakter. Dari seorang mahasiswa, menjadi sarjana, dan kemudian menjadi ahsanit-Taqwim, makhluk terbaik dan bermanfaat bagi masyarakat dan alam."pesan Rektor Unimal Dr. Herman Fithra kepada 1.142 wisudawan dan wisudawati Angkatan XXII tahun 2019 di Gedung GOR ACC Cunda, Lhokseumawe, Senin (29/04/2019) .
DARI ungkapan itu kita bisa mengambil banyak kesimpulan, dan mari berfikir ulang sejenak tentang lika-liku pendidikan sehingga meraih gelar dari sarjana bahkan berhasil mendapat gelar profesor.
Kita tidak tahu bagaimana jeritan hati seorang guru, dosen dan orang tua kita semasa kita menduduki bangku pendidikan sejak dari taman kanak-kanak (TK) sampai hingga menjadi sarjana. Tidak bisa kita pungkiri berapa biaya yang keluar, dan bagaimana raup wajah orang tua ketika memenuhi materil untuk menjadikan kita anak yang berguna bagi dunia dan akhirat.
Sarjana bukanlah gelar akhir, namun masih ada perjuangan lagi jika ingin menempuh strata S-2, kemudian naik lagi S-3. Itu semua mungkin memerlukan waktu minimal 20 tahun. Untuk berhasil meraih gelar profesor, seorang dosen bahkan perlu perjuangan lanjutan lagi. Bayangkan, betapa banyak biaya dan pengorbanan yang mesti dikeluarkan baik tenaga, pikiran, uang, maupun emosi.
Jika kita bayangkan, acara wisuda sarjana merupakan hari kegembiraan dan pelepasan dari semua lelah dari penantian panjang. Orang tua kita begitu antusias untuk menyaksikan hari bersejarah itu dengan menatap kita yang mengenakan pakaian toga simbol kelahiran kembali sebagai seorang yang telah dewasa secara intelektual.
Untuk mengabadikan momen yang amat mahal dan langka itu kita tidak segan-segan memafaatkan foto bersama yang turut dihadiri oleh keluarga dan teman.
Namun, jangan heran jika dengan bekal kesarjanaan banyak kawan kita yang berkarier sebagai akademisi di lingkungan kampus dan ada pula yang berkarya di jajaran birokrasi pemerintahan ataupun di sektor swasta.
Terkadang kita sedih, jika banyak orang yang meraih gelar sarjana itu terlibat dalam lingkaran skandal korupsi, bahkan ada yang dikenal sebagai akademisi dan profesor.
Kesedihan itu bukan hanya kita, tetapi juga dirasakan oleh seorang guru dan dosen yang mendidik kita dan mereka para koruptor. Terkadang mereka bertanya, apa yang salah dengan dunia pendidikan?. Secara teoritis-normatif kita pasti tahu bahwa korupsi itu jahat yang diibaratkan bagai virus yang akan merusak jaringan tubuh birokrasi yang berujung pada kelumpuhan. Birokrasi bukannya bekerja produktif memajukan bangsa dan melayani rakyat, melainkan hanya menghabiskan APBN untuk membayar gaji bulanan dan biaya proyek yang jadi kenduri para koruptor.
Kita selalu bertanya-tanya. Apakah pendidikan yang salah, atau mental pejabat kita yang sangat rapuh, ataukah sistem dan kultur birokrasi kita yang ganas dan akan menggilas siapa pun yang bergabung?
Para guru dan dosen selalu memberikan inspirasi dan motivasi kepada mahasiswa untuk terus belajar keras, menjaga integritas, dan mengembangkan keahlian hingga menjadi orang yang berguna bagi negara.
Kampus kita melahirkan ribuan sarjana di setiap tahun, yang sangat memilukan jika kita melihat diberbagai media televisi, elektronik dan cetak yang diberitakan selalu mengenai drama politik, berita korupsi, mafia hukum, dan dunia selebritis.
Tulisan ini relita yang terjadi saat ini, banyak sarjana yang kualitasnya bagus dan mudah memperoleh lapangan kerja. Yang sangat menyedihkan kalau lapangan kerja yang dimasuki kulturnya busuk. Bertahun-tahun belajar untuk meraih sarjana agar memperoleh lapangan kerja, tapi sampai di tempat kerja, godaannya terlalu berat.
Terkadang kita bertanya, kenapa mereka yang latar belakang pendidikannya sarjana hingga profesor mengjungkirbalikkan Teori dan etika yang dipelajari dulu? kenapa Yang jujur selalu terpinggirkan? kenapa aktivis mahasiswa yang semasa di kampus menggebu- gebu antikorupsi, ketika bergabung ke parpol atau birokrasi secara drastis berubah perilaku dan gaya hidupnya berbuat persis seperti yang mereka kecam ketika sebagai aktivis mahasiswa dulu?
Serasa sia-sia menyelenggarakan pendidikan dengan biaya yang mahal kalau instansi lain malah merusak jerih payah guru dan dosen. Atau memang ada yang salah dalam sistem dan kultur pendidikan kita sehingga tidak melahirkan pribadi yang tangguh dengan keterampilan tinggi.
Dibalik itu semua, kita mengharapkan agar para sarjana, profesi, dan magister yang dilahirkan di kampus tercinta yaitu Universitas Malikussaleh menjadi orang-orang yang berguna bagi agama, masyarakat dan Negara.
Gelar yang berhasil kita raih hari ini juga banyak mengorbankan orang lain terutama orang tua kita, maka jangan salah menggunakan gelar anda seketika anda menjadi salah seorang pejabat penting nantinya.[Bustami Ibrahim]