UNIMALNEWS | Lhokseumawe - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh melaksanakan seminar tentang "Wali Nanggroe dan Masa Depan Perdamaian Aceh" secara Hybrid di Aula Cut Meutia, Kampus Bukit Indah, Lhokseumawe, Selasa (9/8/2022).
Seminar tersebut menghadirkan narasumber dari Staf Khusus Wali Nanggroe, M. Raviq DPSA MBA DEA, Head of Mission - the Philippines & Regional Representative for Asia Nonviolent Peaceforce, Delsy Ronnie PhD, Dekan FISIP Unimal, Dr M.Nazaruddin, dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Prof Dr Jamaluddin. Kegiatan yang dibagi dua sesi hingga sore tersebut di pandu oleh dua orang moderator yaitu Dr Suadi dan Mujiburrahman MSi.
Ketua Panitia Dr. Abdullah Akhyar Nasution mengatakan, seminar yang dilaksanakan secara luring dan daring ini karena adanya kerja sama antara Universitas Malikussaleh dengan Lembaga Wali Nanggroe Aceh dalam hal ini diwakili oleh FISIP. Sebagai bentuk implementasi dari kerja sama itu, pelaksanaan seminar ini adalah salah satu wujudnya.
"Setidaknya kehadiran lembaga Wali Nanggroe itu memiliki peran sebagai pengintegrasi semua elemen bagi masyarakat Aceh dalam rangka menata kehidupan dan perdamaian. Oleh karena itu tema ini sengaja diangkat sebagai bentuk dari upaya untuk mengenalkan peran dan fungsi Wali Nanggroe pada khalayak umum, tentu dalam bingkai akademik," katanya.
Akhyar menyebutkan, peserta yang hadir dalam seminar ini ada yang mewakili dari SKPA Provinsi Aceh, BRA, Majelis Adat Aceh (MAA), LSM, organisasi mahasiswa, dan para Forkopimda Lhokseumawe dan Aceh Utara."Kita melakukan seminar ini dua sesi. Saya berharap semua yang hadir bisa mengikuti kegiatan ini hingga selesai," tuturnya.
Selanjutnya, Sambutan dari Sekretariat Wali Nanggroe Aceh diwakili oleh M Nasir MPA menyampaikan, kerja sama Lembaga Wali Nanggroe dengan Unimal ini sudah terlaksana dari tahun 2021. Pada saat itu kerja sama terkait dengan artikel yang dipublikasikan nasional dan internasional, kemudian hari ini dilanjutkan dengan kegiatan seminar.
"Kedepan kita juga akan terus membangun kerja sama dengan kampus-kampus yang memungkinkan, kemudian dapat mendorong lembaga Wali Nanggroe ini terus berpartisipasi menjaga perdamaian. Bahwa sesuai dengan tugas dan fungsi Wali Nanggroe kita akan terus mendorong proses ini berjalan dengan baik, bahwa perdamaian di Aceh merupakan bagian penting dari sebuah proses pembangunan, politik, demokrasi, dan seluruh proses kehidupan berbangsa masyarakat Aceh kedepan," ungkapnya.
Sementara, Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Malikussaleh, Jullimursyida PhD dalam pembukaan seminar menyampaikan, sebagaimana kita ketahui pada tanggal 15 agustus 2005 silam tepatnya di Kota Helsinki pihak GAM dengan Pemerintah Republik Indonesia telah melaksanakan perundingan damai yang menghasilkan nota kesepahaman yang dikenal dengan MoU Helsinki. Tanggal tersebut sampai saat ini diperingati sebagai momen dengan berbagai seremonial untuk mengungkapkan rasa syukur atas terjadinya kesepakatan perdamaian tersebut.
“Berkat adanya MoU Helsinki kita bisa merasakan perdamaian sampai dengan saat ini dan juga kita kemudian mengenal adanya Lembaga Wali Nanggroe,” ujarnya.
Julli menambahkan, jika melihat kembali UU RI Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintah Aceh khususnya Lembaga Wali Nanggroe disana disebutkan bahwa lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang untuk membawa dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga adat istiadat dan pemberian gelar ataupun derajat dan upacara-upacara adat lainnya. Juga disebutkan Lembaga Wali Nanggroe bukan lembaga politik yang ada di Aceh.
“Ini menunjukan bahwa kehadiran lembaga Wali Nanggroe di Aceh itu wajib independen, karena dia bukan merupakan lembaga politik. Keberadaan lembaga ini juga harus memiliki marwah yang berfungsi sebagai pemersatu dan dapat mengayomi serta mendukung segala bentuk kekhususan dan kekhasan yang dimiliki oleh Provinsi Aceh,” pungkas Jullimursyida.[tmi]