Mahasiswa PMM-2 Talkshow dengan Pengusaha Makanan Khas Lhokseumawe “Mr. Phep”

SHARE:  

Humas Unimal
Mahasiswa PMM-2 Talkshow dengan Pengusaha Makanan Khas Kota Lhokseumawe “Mr. Phep”

UNIMALNEWS | Lhokseumawe - Demi memotivasi mahasiswa untuk berwirausaha Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM-2) Modul Nusantara juga belajar memasak makanan khas Aceh bersama dengan pengusaha makanan khas Aceh “Mr. Phep”, yang terletak di Jalan Medan-Banda Aceh, Alue Awe Kecamatan Muara Dua di UNIKI Kota Lhokseumawe, Sabtu (1/10/2022).

Kegiatan ini diikuti 20 mahasiswa modul kelompok 4 yang dibimbing oleh dosen Modul Nusantara, Juni Ahyar MPd dan sebagai mentor, Rizky Amanda.

Juni Ahyar mengatakan, kegiatan ini dimulai siang hingga sore itu terlihat mahasiswa PMM sangat antusias mengikutinya. Cek Mun panggilan Mr. Phep sendiri sangat senang berbagi ilmu terutama kepada mahasiswa karena masih memiliki semangat yang besar untuk berwirausaha.

“Tujuan diadakan acara tersebut untuk memotivasi mahasiswa Modul Nusantara yang ingin terjun ke dunia usaha atau pengusaha pemula yang ingin lebih banyak tahu tentang dunia usaha,” kata Juni.

Cek Mun menyampaikan, dalam berbisnis punya niat dan modal saja tidak cukup akan tetapi memulai usaha itu yang paling penting. Bagaimana usaha Mr.Phep Keumamah ini didirikan tidaklah dengan modal besar akan tetapi dengan niat dan memulai usaha.

“Karena dengan memulai kita akan dibimbing dari kekurangan-kekurangan untuk ditingkatkan usahanya sehingga dikenal oleh masyarakat luas,” ungkap Mr. Phep yang juga dosen Ilmu Manajemen dan Kewirausahaan Universitas Almuslim.

Ia menyebutkan, usahanya sudah berjalan lebih kurang lima tahun, itu berawal dari keisengannya memasak keumamah dan dicicipi teman-temannya. Kini ia mampu meraup omzet Rp15 juta hingga Rp 20 juta per bulan.

“Awalnya cuma iseng, saya masak dan kasih ke teman-teman di kampus. Saat itu kata mereka masakan saya sudah layak untuk dijual, kemudian saya kemas dalam plastik bening serta belum ada kemasan,” sebutnya lagi.

Cek Mun sendiri termotivasi untuk mengembangkan home industri tersebut lebih serius. Pada tahun 2018, dia mulai membuat kemasan yang menarik dengan diberi nama Mr Phep Marine Product dan mengurus segala keperluan administrasinya.

“Jadi motivasi awal saya, pada tahun 2016 saya sering membaca berita, bahwa ikan tongkol melimpah bahkan hingga membusuk tidak ada yang beli serta dimanfaatkan. Hal itu membuat saya sangat prihatin, karena ikan-ikan hasil jaring nelayan kembali dibuang ke laut,” kisah Cek Mun.

Namun, ketika dirinya masuk ke pasar modern, dia melihat ada ikan tuna yang dikemas dan dijual dengan harga Rp 32 ribu per ons. Sementara, di Kota Lhokseumawe ikan tongkol sangat melimpah, namun tidak bisa dimanfaatkan. “Nah, disini saya membeli ikan-ikan tersebut dan membuat keumamah supaya ada peningkatan nilai jual ikan tongkol,” ujarnya.

Alasan diberi nama Mr Phep, lanjut Cek Mun, karena orang Aceh suka memasak masakan Phep, dan supaya terkesan global dirinya memakai nama Mister (Mr) maka jadilah satu nama yaitu Mr Phep.

Kata Cek Mun, dalam sehari dirinya mampu menghasilkan hingga 200 kemasan, dengan jumlah ikan yang dihabiskan sekitar lima kilo keumamah yang sudah dikeringkan.

“Namun, selama pandemi produksi mulai berkurang, karena permintaan konsumen juga sepi. Jika pun ada kami produksi sesuai dengan permintaan konsumen saja. Keuntungan yang sebelumnya mencapai Rp 20 juta, saat ini hanya Rp 5 juta hingga Rp 10 juta saja,” jelasnya.

Cek Mun juga menceritakan, sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia khususnya Provinsi Aceh, dirinya terpaksa memberhentikan karyawannya. Sebab, hasil penjualan tidak sesuai, sehingga tidak sanggup untuk membayar gaji.

“Sempat saya pertahankan hingga dua bulan, ternyata omzet menurun, dengan terpaksa mereka saya berhentikan dulu, karena tidak sanggup untuk membayar gaji,” kisahnya.

Keumamah dan sambal sunti hasil produksi milik Cek Mun, bukan hanya dipasarkan di Aceh. Akan tetapi dirinya memanfaatkan sosial media untuk berjualan online. Sehingga kuliner itu saat ini sudah terpasarkan hingga ke sejumlah kota besar di Indonesia.

“Saya sering menyampaikan dalam forum jika ada kegiatan, ketika mengatakan ingin mengangkat kuliner Aceh ini ke tingkat Internasional. Namun tak sedikit juga yang menertawakan, namun saya yakin, jika sama-sama mempromosikannya pasti akan tembus ke pasar internasional,” kata Cek Mun.

Adapun yang menjadi kendala, sebut Cek Mun, ikan keumamah hanya bertahan dua bulan dan sambal sunti lima bulan saja. Disebabkan, dirinya belum memiliki mesin untuk sterilisasi. “Harapannya ke depan semoga bisnis ini menjadi produk unggulan dan tembus ke pasar nasional bahkan internasional. Dan kepada generasi muda tetap semangat jika ingin membuka bisnis, tidak perlu dengan mesin mewah untuk memulainya,” imbuhnya.[tmi]


Kirim Komentar