Tim Peneliti Fakultas Hukum Unimal Kaji Efektifitas Penerapan ISPO Pada Industri Kelapa Sawit di Aceh Utara

SHARE:  

Humas Unimal
Tim Peneliti Fakultas Hukum Unimal Kaji Efektifitas Penerapan ISPO Pada Industri Kelapa Sawit di Aceh Utara

 

UNIMALNEWS | Lhokseumawe – Tim peneliti dari Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh menyampaikan materi tentang pentingnya penerapan kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pada perusahaan Kelapa Sawit dan pengaruhnya terhadap pengembangan industri biodiesel di Aceh Utara yang berlangsung di Grand Sydney Hotel, Lhokseumawe, Selasa (11/10/2022).

Tim peneliti dari Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh terdiri dari Prof Dr Jamaluddin, Dr Faisal, Dr Elidar Sari, dan Jumadiah MHum, turut serta mahasiswa.

Ketua Peneliti, Prof Jamaluddin menyampaikan materi tentang pentingnya penerapan kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pada perusahaan Kelapa Sawit yang berpengaruh pada pengembangan CPO yang dijadikan biodiesel. Ia menyebutkan kehadiran perusahaan kelapa sawit di wilayah Kabupaten Aceh Utara diharapkan mampu menumbuh kembangkan perekonomian negara, daerah dan masyarakat, terutama pada pengembangan CPO yang dapat dijadikan biodiesel serta meminimalisir efek negatif terhadap lingkungannya.

“Untuk itu perusahaan tersebut dituntut untuk mendapatkan sertifikat ISPO. Namun  dalam realitasnya untuk wilayah Kabupaten Aceh Utara dari 4 Perusahaan PKS hanya 1 yang sudah memiliki sertifikasi ISPO, sementara 3 lainnya belum dan masih dalam proses,” katanya dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tersebut.

Lanjutnya, sedangkan untuk Perusahan Perkebunan Kelapa Sawit belum satupun memiliki sertifikat ISPO. Presiden telah menerbitkan Perpres No. 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit berkelanjutan Indonesia dan PP No. 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Sawit berkelanjutan Indonesia, untuk mempercepat proses sertifikasi ISPO bagi Perusahaan Kelapa Sawit, terutama dalam menghasilkan CPO yang diolah menjadi biodiesel (B30).

“Kegiatan FGD ini diharapkan mendapatkan masukan dan penyempurnaan dalam penelitian sehingga mendapatkan hasil yang maksimal,” ungkap Prof Jamal.

Kegiatan tersebut diikuti oleh peserta dari unsur Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Utara, perwakilan perusahaan sawit, perwakilan masyarakat sipil, termasuk asosiasi perkebunan kelapa sawit, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Setelah mendapatkan berbagai masukan dari peserta FGD.

Asisten II Sekda Kabupaten Aceh Utara, Ir. Risawan Bentara MT menyampaikan, FGD ini sangat baik dilakukan karena sejalan dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dengan moratorium perkebunan kelapa sawit di daerah melalui instruksi Bupati Aceh Utara Nomor 548 Tahun 2016 tentang moratorium sawit. Pemerintah lebih memfokuskan pada peremajaan penanaman kelapa sawit dan peningkatan kualitas bukan pada pemberian izin perluasan perkebunan, sehingga akan lebih meningkatkan kualitas pada hasil yang didapatkannya.

Pada kesempatan tersebut, Sekda Kabupaten Aceh Utara Dr A. Murtala menyampaikan bahwa pengkajian terkait ISPO sangat sesuai dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara karena sebelumnya Pemerintah Kabupaten Aceh Utara telah mengeluarkan moratorium perkebunan kelapa sawit di daerah melalui instruksi Bupati Aceh Utara Nomor 548 tahun 2016 tentang moratorium sawit.

“Hal ini merupakan salah satu bentuk keseriusan pemerintah untuk meningkatkan pembangunan pada sektor perkebunan, yang merupakan salah satu penopang ekonomi kerakyatan dan pertumbuhan daerah,” tuturnya.

Kepala Dinas Perkebunan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Aceh Utara, Ir. Lilis Indriansyah Mp menyampaikan materi terkait kebijakan ISPO dan pengaruhnya pada industri biodiesel. Kata Lilis, program biodiesel 20% (B20) berjalan dengan baik dengan adanya dukungan kapasitas produksi yang cukup, uji kinerja/uji jalan, pemantauan secara berkala atas kualitas dan kuantitas oleh tim independen, serta penyusunan Standar Nasional Indonesia (SNI).

Pemanfaatan biodiesel tahun 2018 juga telah berhasil menurunkan emisi GRK dan meningkatkan kualitas lingkungan sebesar 5,61 juta ton CO2. Manfaat acuan tersebut penting untuk memastikan kualitas biodiesel dari hulu ke hilir, yang dikelola secara berkelanjutan.

Di sektor hulu biodiesel yang merupakan perkebunan kelapa sawit, Indonesia telah memiliki standarisasi ISPO. Lembaga sertifikasi itu diperbaharui melalui Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Meski demikian, standarisasi tersebut belum terintegrasi dengan sektor hilir biodiesel.

“Standarisasi hulu ke hilir penting untuk memastikan keseluruhan proses produksi biodiesel. Standarisasi ISPO sebenarnya merupakan jembatan yang bagus menuju standarisasi biodiesel untuk mewujudkan ekonomi sosial masyarakat, diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 yakni semakin banyak unit perkebunan dan pabrik kelapa sawit yang bersertifikat ISPO. Dengan demikian sekaligus memperbaiki citra minyak kelapa sawit Indonesia di dunia internasional,” paparnya.[tmi]


Berita Lainnya

Kirim Komentar