Jalan Panjang Melawan Stunting di Aceh

SHARE:  

Humas Unimal
Rektor Universitas Negeri Gorontalo, Dr Eduart Wolok, menyinggung masalah masih tingginya angka kontet di Aceh ketika memberikan kuliah umum di Aula Cut Meutia Kampus Bukit Indah Universitas Malikussaleh, Blang Pulo, Lhokseumawe, Selasa (4/10/2022). Foto: Ayi Jufridar

DI PINGGIR lapangan sepak bola Kampus Bukit Indah Universitas Malikussaleh di Desa Blang Pulo, Lhokseumawe, Rafi tertegun menyaksikan anak-anak bertanding bola. Satu kesebelasan bertelanjang dada, sementara satu kesebelasan lagi menggunakan kostum warna biru langit serupa jersey Manchester City.

Namun, bukan itu yang membuat dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unimal itu bertanya-tanya. Dia mengira lapangan sedang dipinjam pakai siswa SMA atau pemuda setempat. “Ternyata itu mahasiswa semester pertama. Posturnya terlalu pendek untuk ukuran mahasiswa,” ungkap dosen yang tingginya mencapai 180 sentimeter itu.

Sehari setelah pertandingan sepak bola tersebut, Selasa (4/10/2022), Universitas Malikussaleh (Unimal) menggelar kuliah umum dengan mengundang Rektor Universitas Negeri Gorontalo, Dr Eduart Wolok. Dalam kuliah umum bertajuk “Mempersiapkan Generasi Unggul dan Adaptif Menyongsong Bonus Demografi” itu, Eduart menyinggung tingginya masalah kontet (stunting) di Aceh dan Gorontalo.

“Angka stunting di Aceh dan Gorontalo sama-sama berada di atas rata-rata nasional. Ini menjadi tantangan tersendiri dalam bonus demografi ke depan,” ujar Eduart di hadapan peserta kuliah umum. Tak hanya mahasiswa, tetapi juga Rektor Universitas Malikusaleh, Prof Dr Herman Fithra serta para dosen lainnya.

Menurut Eduart, bonus demografi menjadi bumerang jika tidak dikelola dengan baik mulai dari sekarang, termasuk masalah gizi, kesehatan, sanitasi, dan pendidikan di sejumlah daerah dengan angka stunting tinggi. Setiap daerah memilih karakteristik masalah berbeda sehingga pemerintah Pusat harusnya menangani secara berbeda pula.

Bagi Herman Fithra, masalah kontet ini menjadi perhatian serius sejak lama. Ia sampai mendapat undangan presentasi tentang permasalahan kontet Aceh di University of Notingham, Inggris, pada 23-24 Juni Tahun 2019 silam. Herman mendapatkan undangan dai Indonesia Scholars International Cenvention (ISIC) dan Perhimpunan Pelajar United Kingdom.

Ia meneliti tentang kontet sejak lama dan menemukan kenyataan bahwa kasus kontet atau problem pertumbuhan anak-anak akibat kekurangan nutrisi akut telah menjadi masalah kesehatan krusial di Aceh. Problemnya bukan semata karena kemiskinan, tapi juga pendidikan dan pengetahuan keluarga tentang pentingnya memberikan asupan gizi sejak masa kehamilan hingga umur emas balita.

“Jadi, kasus stunting di Aceh tidak semata-mata karena konflik berkepanjangan maupun bencana tsunami,” ungkap Herman.

Dosen Universitas Malikussaleh, Dr Rozanna Dewi, menyebutkan masalah kemiskinan dan tingkat pendidikan tidak melulu sebagai penyebab stunting. Ibu satu anak itu mengakui tinggi anaknya jauh di bawah normal meski secara genetis mereka berasal dari keluarga yang posturnya tinggi. Secara ekonomi dan pendidikan, Rozanna Dewi juga tidak masalah karena berasal dari keluarga kelas menengah.

“Tapi tinggi anak saya seperti masih SMP karena sejak kecil susah makan makanan bergizi,” ungkap dosen yang anak satu-satunya sudah masuk SMA.

Mahasiswa yang bertanding sepak bola di atas, bisa menjadi contoh bahwa bukan hanya konflik dan bencana tsunami di Aceh yang menjadi penyebab Stunting (kontet). Sekitar 90 persen mahasiswa semester pertama di Universitas Malikussaleh, berasal dari luar Aceh yang tidak tumbuh di daerah konflik dan bencana.

Baca juga: Menjadi Salmon di Universitas Malikussaleh

Herman merekomendasi penurunan angka Stunting di Aceh harus dilakukan secara menyeluruh dan membutuhkan waktu panjang. “Hasilnya tidak bisa dilihat dalam satu atau dua tahun, tapi di masa depan. Inilah mengapa semua pihak harus melihat ini sebagai investasi bagi masa depan generasi muda, bagi masa depan bangsa. Jadi program penurunan stunting tidak bisa parsial,” tambah Herman seusai kuliah umum.

Angka kontet di Aceh masih memprihatinkan karena masih berada di 33,2 persen atau berada di atas rata-rata nasional 22 persen. Padahal, sejak 2019 sudah ada Peraturan Gubernur Nomor 14 tentang Pencegahan dan Penanganan Stunting Terintegrasi di Aceh. Tak cukup dengan itu, belakangan Pemerintah Aceh juga menggulir program Gerakan Imunisasi dan Stunting Aceh (GISA). Sayangnya, GISA itu justru menuai kritik dari DPR Aceh karena pengelolaannya yang belum profesional.

Angka stunting di 23 kabupaten dan kota di Aceh semuanya berada di atas rata-rata nasional dengan angka tertinggi berada di Gayo Lues sebesar 42,9 persen, Kota Subulussalam 41,8 persen, serta Kabupaten Bener Meriah 40 persen. Aceh Utara sebagai daerah yang dulunya kaya migas, juga memiliki angka stunting tinggi, yakni 38,8 persen (katadata.co.id).

Sayangnya, Kepala Dinas Aceh Utara, Amir Syarifuddin, menolak memberikan jawaban ketika ditanyai soal masih tingginya angka kontet. Sementara mantan Bupati Aceh Utara, Muhammad Thaib, mengakui banyak kendala untuk dalam pelaksanaan sejumlah program, termasuk penempatan orang-orang yang tidak profesional dalam program pengurangan angka stunting.

“Bidan desa, misalnya, banyak yang tidak berada di daerah tugas untuk memantau setiap perkembangan,” ujar Muhammad Thaib yang akrab disapa Cek Mad.

Sementara Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara, Sofyan SKM, MKM, menyebutkan tingginya stunting ikut mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) nasional yang berada di peringkat 400-an.

“Padahal, kalau dilihat secara perekonomian dan pendidikan malah meningkat,” ujarnya.

Dia menyebutkan, program yang sekarang sedang berjalan seperti pemberian makanan sehat kepada balita, harus terus berjalan. Sejumlah program lainnya yang sebenarnya sudah berjalan baik, tidak dilihat secara politis.

Masyarakat Aceh Utara memiliki sejumlah masalah kesehatan yang belum tertangani sampai sekarang seperti akses air bersih yang belum merata dan sarana kesehatan di daerah terpencil yang masih terbatas. “Penyelesaian masalah seperti ini tentunya tidak bisa dalam setahun atau dua tahun,” ujar Sofyan.

Soal akurasi pendataan juga menjadi sorotan Sofyan. Dia menyebutkan tidak semua warga yang memiliki balita di Aceh Utara membawa anaknya ke posyadu sehingga metode pendataan harus dilakukan secara menyeluruh.

Hal ini diakui warga Desa Meunasah Alue Kecamatan Nisam, Aceh Utara, Bustami Ibrahim. Ia mensinyalir ada upaya meninggikan angka stunting untuk mendapatkan dana yang lebih tinggi. “Ada data bayi baru lahir pun, dimasukkan dalam kategori stunting,” kata Bustami yang juga banyak terlibat dalam kegiatan desa.

Kalau memang benar ada perilaku seperti itu, daerah yang memiliki angka kontet tinggi memang harus menempuh jalan panjang, bahkan melingkar dan penuh tanjakan. [Ayi Jufridar]

Sumber: KabarTamiang.com

 


Kirim Komentar