Terkait Krisis Pangan, SPI Tawarkan Kampung Reforma Agraria dan Kawasan Daulat Pangan

SHARE:  

Humas Unimal
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih

UNIMALNEWS | Lhokseumawe - Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih menyampaikan materi terkait “Strategi Pemberdayaan Petani dan Kedaulatan Pangan Nasional” secara online melalui Zoom Meeting, Jumat (28/10/2022). Kegiatan itu bagian dari kuliah tamu yang diadakan oleh Program Studi Magister Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Malikussaleh.

Henry menyebutkan,dari laporan SOFI (The State of Food Security and Nutrition in the World) Tahun 2022 mencatat angka kelaparan penduduk dunia mencapai 828 juta orang di tahun 2021. Angka tersebut meningkat 46 juta orang dibandingkan tahun 2020 (782 juta orang) dan meningkat 150 juta orang jika dibandingkan sebelum terjadinya pandemi Covid-19. 

“Dengan data terakhir ini, PBB memprediksi jumlah angka kelaparan pada tahun 2030 mendatang lebih dari 670 juta orang dan angka ini jauh di atas target program zero hunger,” kata Henry salah seorang penerima penghargaan Global Justice Award dari Institute for Global Justice (IGJ) pada tahun 2007.

Lanjutnya,  krisis pangan menjadi isu yang hangat dibahas di Indonesia. Ancaman akan terjadinya krisis pangan disinyalir merupakan ‘krisis lanjutan’ pasca krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19. Hal ini juga kerap diutarakan oleh pemerintah. Selama tahun 2022 ini, isu krisis pangan mendapat respons serius. Presiden Joko Widodo bahkan secara khusus menggelar rapat koordinasi urusan pangan dan energi setiap minggunya dan meminta jajarannya untuk bersiap-siap mengatasi ancaman krisis pangan.

“Serikat Petani Indonesia dalam hal ini melihat krisis pangan tidak mustahil terjadi di Indonesia. Hal ini mengingat beberapa situasi dan kondisi sektor agraria maupun pertanian Indonesia yang dapat memicu krisis pangan terjadi diantaranya pada Survei Pertanian antar Sensus (SUTAS 2018), RTUP Pengguna Lahan mengalami peningkatan menjadi 27,2 juta dari 25,7 juta di tahun 2013. sayangnya, jumlah petani gurem (dengan kepemilikan tanah dibawah 0,5 hektar) juga mengalami peningkatan dalam SUTAS (2018) dari 14 juta (2013) menjadi 15,8 juta (2018),” papar Henry.

Kemudian, Ia juga mengungkapkan bahwa krisis regenerasi petani juga menjadi ancaman di masa depan. SUTAS 2018 menunjukkan bahwa jumlah kelompok umur kepala rumah tangga petani di bawah 35 tahun atau 10 persen dibandingkan kelompok umur lainnya. Badan Pusat Statistik (2013) menyebutkan rasio gini ketimpangan kepemilikan lahan adalah 0,68 sementara Badan Pertanahan Nasional RI (2015) menyatakan bahwa indeks gini rasio penguasaan tanah mencapai 0,72. Artinya, 1% penduduk menguasai 72% tanah di Indonesia. Ketimpangan itu diakibatkan oleh dominasi penguasaan lahan yang dilakukan oleh perusahan industri (umumnya perkebunan).

Lanjut Henry, Pedesaan sebagai tempat para petani dan produsen pangan skala kecil lainnya bermukim justru menjadi tempat dimana kemiskinan bersarang. Per Maret 2022, BPS menyebutkan jumlah penduduk miskin di Indonesia capai 26,16 juta jiwa atau sekitar 9,54 persen dari total penduduk. Jumlah penduduk miskin paling banyak tersebar di pedesaan, yakni 14,34 juta orang, sementara di wilayah perkotaan jumlah penduduk miskin mencapai 11,82 juta orang. 

“Maka dalam hal ini diperlukan perubahan sistem pangan menjadi kedaulatan pangan, diikuti perubahan sistem pertanian ekologis dan memperkuat hak petani melalui UNDROP (United Nations Declaration on the Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas),” ungkapnya.

Henry menjelaskan, kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan rakyat untuk menentukan pangannya secara mandiri, meliputi alat dan sistem produksi serta pemasaran di bidang pertanian, peternakan dan perikanan untuk menghasilkan pangan tanpa tergantung dari kekuatan pasar internasional, dan itu diatur dalam UU Pangan 18/2012.

Berbeda dengan ketahanan Pangan yaitu sebuah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

“Apa yang terjadi ketika krisis pangan tahun 2008? Pangan tersedia namun harganya tidak terjangkau. Kenaikan harga makanan di seluruh dunia telah membuat rumah tangga, pemerintah, dan media terguncang. Beberapa harga pangan yang terdampak seperti harga gandum, Beras dan lainnya,” ujarnya.

Oleh karena itu, SPI membuat program ‘Kampung Reforma Agraria’ dan ‘Kawasan Daulat Pangan’. Hal ini didasarkan pada perjuangan para petani untuk mempertahankan hak-hak mereka. ‘Kampung Reforma Agraria’ inisiatif dari para petani yang tergabung dalam SPI yang bertujuan membangun kehidupan dengan melakukan pengelolaan dan penataan di atas tanah yang statusnya berkonflik, atau telah berhasil dikuasai melalui reklaiming. Kampung reforma agraria merupakan kritik atas lambatnya program reforma agraria yang dilakukan oleh pemerintah dan sekaligus memperkuat argumentasi tentang agrarian reform by leverage atau reforma agraria dari bawah.

“‘Kawasan Daulat Pangan’ merupakan sebuah kawasan yang penduduknya menerapkan konsep kedaulatan pangan melalui pemanfaatan semua sumber daya alam kawasan secara agroekologis dan integrasi oleh, dari, dan untuk rakyat dengan  penyediaan pangan yang cukup, aman, sehat dan bergizi serta berkelanjutan sehingga berdampak pada berkembangnya ekonomi kawasan yang mensejahterakan rakyatnya,” pungkas Henry.[tmi]


Berita Lainnya

Kirim Komentar