KKR Adakan Roadshow Tentang Temuan Pelanggaran HAM Berat di Aceh

SHARE:  

Humas Unimal
Kepala UPT Bahasa, Kehumasan, dan Penerbitan Unimal, Teuku Kemal Fasya MHum menyampaikan materi di Roadshow Laporan Temuan Pelanggaran HAM Berat di Aceh yang diadakan oleh KKR Aceh di kampus Unimal. Foto: Bustami Ibrahim

UNIMALNEWS | Lhokseumawe - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh mengadakan diskusi publik terkait pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) masa lalu di Aceh yang berlangsung di Aula Cut Meutia, Kampus Bukit Indah Lhokseumawe, Rabu (31/1/2024).

Kegiatan yang dilaksanakan di Universitas Malikussaleh itu turut dihadiri oleh puluhan mahasiswa dari Ilmu Politik, Hukum, dan Ilmu Komunikasi. Juga hadir Ketua KKR Aceh, Masthur Yahya, Perwakilan Kontras Aceh, Fuadi Mardhatillah, dan juga Akademisi dari Unimal,  Teuku Kemal Fasya MHum.

Perwakilan Kontras Aceh, Fuadi Mardhatilla menyampaikan, KKR Aceh merupakan salah satu bagian penting dari hasil kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tahun 2005 di Helsinki Finlandia. Nota kesepahaman ini menjadi titik balik dari seluruh rangkaian konflik dan kekerasan yang menelan puluhan ribu korban jiwa serta merusak berbagai sendi kehidupan masyarakat di Aceh, selama kurang lebih tiga dekade.

“Terkait hal ini, KontraS Aceh sebagai salah satu elemen sipil yang berfokus pada masalah pelanggaran HAM masa lalu di Aceh, melaksanakan kegiatan diskusi publik dengan melibatkan partisipasi akademisi dan mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Aceh. Diskusi ini mengulas temuan-temuan dalam laporan KKR Aceh, serta tanggapan dari praktisi maupun peserta kegiatan sebagai upaya klarifikasi, pemahaman dan saran yang konstruktif bagi tindak lanjut laporan ini terhadap pemerintah baik di tingkat lokal maupun nasional,” katanya.

Ketua KKR Aceh, Masthur Yahya dalam materinya menyebutkan, setahun pasca damai, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh disahkan. Pasal 229 dalam peraturan ini menyebutkan tentang penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM semasa konflik di Aceh melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi.

“Namun seiring waktu, situasi sosial dan politik menuai banyak tantangan bagi proses keadilan transisi di Aceh, terutama upaya pemenuhan hak-hak korban. Hingga tujuh tahun kemudian, tuntutan yang kian masif dari komunitas korban serta elemen masyarakat sipil di Aceh berhasil mendorong pembentukan lembaga KKR Aceh dengan disahkannya Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013. Hingga saat ini, KKR Aceh masih menjadi yang pertama sekaligus satu-satunya komisi kebenaran yang ada di Indonesia,” ungkapnya.

Lanjutnya, sejak dilantik pada 2016, lembaga ini mulai bekerja berdasarkan tiga tujuan utamanya, yakni pengungkapan kebenaran, merekomendasikan reparasi serta mendorong rekonsiliasi atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi dalam periode konflik mulai tahun 1976 hingga 2005.

“Terkait dengan tugas pengungkapan kebenaran, KKR Aceh memiliki mandat menyusun laporan temuan tentang pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat di Aceh berdasarkan bukti dan fakta yang telah dikumpulkan, termasuk analisis faktor penyebab, peristiwa yang melatarbelakangi, motif, tindakan serta aktor baik lembaga negara maupun non-negara, serta dampak-dampaknya. Data-data ini diperoleh salah satunya melalui pengambilan pernyataan korban, keluarga korban maupun saksi dari sejumlah wilayah kabupaten/kota di Aceh,” jelas Masthur.

Sementara, perwakilan akademisi yang juga Kepala UPT Bahasa, Kehumasan, dan Penerbitan Unimal, Teuku Kemal Fasya MHum dalam materinya juga menyampaikan review atas laporan yang disampaikan oleh tim KKR Aceh. Ia juga mengutip pernyataan Jacques Derrida bahwa mengidentifikasi globalisasi tentang konsep pengampunan dalam konteks menyerukan bentuk-bentuk 'rekonsiliasi nasional’. Konsep rekonsiliasi itu adalah negosiasi terus-menerus antara pemaafan yang tidak bersyarat dan bersyarat, antara absolut dan relatif, antara universal dan partikular. Akhirnya pada konsep rekonsiliasi, ada urutan dari kondisi pragmatis, sekaligus historis, legal, dan politis yang menuntut agar yang tak termaafkan dimaafkan, yang tidak dapat didamaikan didamaikan. 

"Dokumentasi data korban secara statistik, tanpa periodisasi konflik dan klasterisasi korban hanya menjadikan data korban terjebak pada “dusta statistik”. Yang paling penting dalam setiap pencatatan korban adalah menerangkan siapa pelaku (perpetrators). Korban (victims and survivors) harus punya suara untuk merepresentasikan dirinya sendiri," papar Kemal dalam ruang diskusi tersebut.[tmi]


Kirim Komentar