Dosen Antropologi Unimal Menjadi Pembedah Buku di AJI Banda Aceh

SHARE:  

Humas Unimal
Teuku Kemal Fasya (kanan), antropolog dan juga Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh dalam kegiatan bedah buku yang diselenggarakan oleh AJI Banda Aceh, Rabu (4/3/2020). FOTO; IST

UNIMALNEWS | Banda Aceh - Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya, dan Kepala Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Juli Amin menjadi pembicara dalam kegiatan bedah buku Ross Tapsell, Kuasa Media di Indonesia di Kantor AJI Banda Aceh, Rabu (4/3)

Kegiatan bedah buku dosen Australian National University (ANU) ini mendapat perhatian dari para jurnalis, pengamat media, dan mahasiswa di sekitar Banda Aceh. Pada presentasinya, Kemal menyampaikan tentang peran oligarki media seperti yang disinggung oleh Ross yang kemudian ikut dalam mempengaruhi kekuasaan.

Dengan presentasi berjudul “Netizen, Kuasa Media Digital, dan Demokrasi", kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Unimal itu mengatakan perkembangan media digital di Indonesia berjalan secara bersamaan dan koeksidental dengan sejarah reformasi. Perkembangan media digital ini juga mempengaruhi pada model gerakan sosial warga, dari gerakan sosial lama ke sosial baru dengan peran warga digital.

Buku Ross Tapsell tersebut adalah perkembangan lanjutan dari disertasi doktoralnya yang melihat terhadap perkembangan media digital di Indonesia, pola kepemilikan media pascaOrde Baru, dan model gerakan demokrasi di Indonesia.

Kajian tentang media digital dan oligarki media pasca-Orde Baru ini sendiri menurut Kemal bukanlah yang pertama. Sebelumnya telah ada karya Merlyna Lim, Mapping Media Concetration in Indonesia (2011), Khrisna Sen dan David T Hill, Media Ownership and Its Implication for Journalist and Journalism in Indonesia (2011) yang membahas kaum oligark dalam menguasai media cetak dan digital di Indonesia. Buku itu juga melihat tentang peran media dalam konflik dan perdamaian di Papua dan Maluku, dan moral penyiaran di era reformasi.

Di akhir presentasi Kemal melihat bahwa fenomena warga digital dan perkembangan media multiplatform seperti saat ini tidak selalu menguntungkan demokrasi. Belajar dari pengalaman Pilkada Jakarta 2012 dan 2017, dan Pilpres 2014 dan 2019 gerakan media digital juga bisa mengarah pada memproduksi hoaks dan disinformasi, alih-alih memproduksi ide-ide demokratis.

Sementara itu Juli pada presentasinya melihat tentang fenomena yang lebih dekat dan peran AJI dalam menjaga etika jurnalisme dan kritik pada oligarki media. Meskipun menurutnya fenomena oligarki seperti yang terjadi pada para taipan media nasional tidak terjadi di Aceh. “Problemnya di Aceh pemilik media tidak ada yang berhasrat untuk menjadi Aceh Satu, demikian pula pada tingkat bupati dan walikota. Yang ada kesadaran politikus dan lembaga pemerintah untuk memanfaatkan media, termasuk dalam menyalurkan iklan sekaligus mendapatkan bonus dari pemberitaan baik dari media”, ungkap Juli. [ryn]


Berita Lainnya

Kirim Komentar