Ada yang berpendapat, pendidikan di Indonesia antirealitas. Seorang mahasiswa menghabiskan bertahun-tahun mempelajari bidang keilmuan tertentu, tetapi tidak bisa menggunakan ilmu itu ketika terjun ke dunia kerja.
Namun, pendapat itu tak berlaku bagi Mansur M Isa atau lebih akrab disapa Mansor Pato. Sejak kuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Malikussaleh pada 2007 silam, pria ramping ini sudah mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah dalam kegiatan bisnis.
Tidak perlu muluk-muluk, Mansor memulai dengan berjualan kentang goreng di Jalan Merdeka depan gedung DPRK Kota Lhokseumawe, pada April 2009 lalu. Modal awalnya hanya sekitar Rp250 ribu, tetapi itu jumlah yang lumayan besar baginya. “Modalnya dari tabungan bekerja di tempat orang lain,” kata Mansor Pato kepada UnimalNews, beberapa waktu lalu.
Ide menjual kentang goreng murni lahir dari gagasannya sendiri. Ketika itu, Mansor melihat fenomena di tengah masyarakat yang ingin mendapatkan jajanan berkelas tetapi dengan harga terjangkau. Selama ini, sambil kuliah Mansor bekerja dalam bisnis kuliner, tetapi tidak menjual kentang goreng. Ia melihat kentang goreng sudah menjadi jajanan umum dan digemari berbagai kelas masyarakat, tua, muda, bahkan anak-anak. “Ada produk lokal, tetapi belum dikemas secara menarik,” ungkap Mansor.
Rasa, kemasan, dan harga!
Konsep Mansor ketika memulai usahanya sangat sederhana: rasa yang berkelas, kemasan menarik, dan harga terjangkau. Ternyata yang sederhana pun tidak mudah. Sekitar enam bulan berjalan, usah kentang goreng langsung kolaps.
Ketika disinggung penyebabnya, Mansor menuturkan; “Modal kecil. Tingkat beli konsumen kecil, berjualan pun sambil kuliah. Jadi tidak fokus.”
Pengalaman “jatuh” untuk pertama kali dalam merintis usaha tidak membuat Mansor kapok. Dia kembali menjadi pekerja di tempat lain selama vakum berusaha selama lima bulan. Dia mengakui, kendala klasik masih menghambatnya melanjutkan usaha, yakni sulit mendapatkan modal. Akses ke lembaga permodalan meski untuk UMKM, belum ia miliki.
Setelah mengumpulkan modal kembali, Mansor memulai langkah baru. Kali ini memilih lokasi di Lapangan Hiraq, Lhokseumawe, yang memang ramai dengan berbagai jenis kuliner. Namun cobaan belum berhenti. Baru berjalan seminggu, gerobak usahanya jatuh dan hancur diterpa angin.
Usahanya pun harus berhenti. Mansor kembali menata semangat dan mengumpulkan modal untuk melanjutkan usaha. Ia mendapatkan modal dari kawan Rp2 juta. Kemudian bertemu dengan pembuat gerobak. “Saya bicara jujur, ingin berusaha tetapi tidak ada modal. Saya berjanji akan menyicil pembayaran. Ternyata saya dipercaya,” tutur lelaki yang berambut gondrong tersebut.
Menurutnya, dalam berusaha dibutuhkan kecakapan komunikasi untuk meyakinkan orang lain. Selain itu, ia juga menjaga silaturahim dengan kawan dan jaringan usaha. Namun ketika mendapatkan kepercayaan, harus menjaganya.
“Kepercayaan menjadi modal penting. Kemudian didukung dengan etika dan komitmen dalam berusaha. Bahwa kita tidak lari dari masalah. Saya pernah delapan tahun bekerja sama dengan orang lain, tidak ada masalah apa pun,” ungkap Mansor sambil tersenyum.
Baca juga: Nurhanifa: Membangun Startup Pupuk Cair untuk Produktivitas Gaharu
Jaringan dosen
Tahun 2011 usaha kentang goreng Mansor Pato pindah ke Simpang Jalan Air Bersih Kutablang, Lhokseumawe. Kali ini usahanya langsung menunjukkan hasil menggembiraan. Dalam dua bulan pengunjung langsung banyak.
“Semua ilmu yang saya dapat dari bangku kuliah, saya curahkan dalam bentuk produk. Biasa kalau kaki lima bekerja tradisional. Tapi saya kelola secara modern. Mulai kemasan, produksi, sistem keuangan. Saya mengaplikasikan ilmu di bangku kuliah. Banyak yang bilang, teori beda dengan praktek. Tapi, saya melihat tidak seperti itu,” tambah Mansor yang pada 2011 masih tercatat sebagai mahasiswa di FEB Unimal meski mata kuliah mulai berkurang.
Semasa kuliah, ia juga pernah mengajukan permohonan modal dalam Program Mahasiswa Wirausaha pada 2010. Tapi dananya tidak cair karena ada permasalahan. Padahal, ia telanjur berutang dan berharap bayar dengan bantuan beasiswa wirausaha tersebut. “Alhamdulillah pada 2012 akhirnya cair. Tapi waktu itu utang saya sudah lunas,” kata istri dari Reka Daniati itu. Ini juga menjadi filosofinya dalam berusaha; secepatnya membayar utang untuk menjaga kepercayaan orang.
Dengan bantuan para dosen FEB Unimal seperti Wahyuddin Albra, Faisal Matriadi, Mariyudi, Asnawi, Yulius Dharma, dan masih banyak yang lain, usaha Mansor Pato kian dikenal di Lhokseumawe. Dia mengakui para dosen dan mahasiwa ikut mempromosikan Mansor Pato dari mulut ke mulut. Sampai akhirnya, ia berhasil membeli toko dua lantai di Jalan Merdeka Kota Lhokseumawe yang termasuk pusat kota.
Ada kisah berbau mitos di balik keberhasilan Mansor membeli toko tersebut. Ketika hendak membeli toko itu, banyak yang bilang apa pun usaha yang dibuka di sana tidak akan menguntungkan. Mitos ini membuat Mansor tertantang untuk membeli. Masalahnya klasik kembali menghadang. Meski pertokoan itu bangunan lama, lokasinya yang strategis membuat harganya masih tinggi. Mansor tidak punya uang sampai miliaran.
Ia pun mencoba berurusan dengan perbankan. “Saya jajaki sampai enam bank. Semuanya menolak, baik BUMN maupun swasta. Alasannya, agunan tidak memenuhi standar. Tapi saya juga tidak punya agunan lain. Akhirnya saya pasrah.”
Di tengah kepasrahan itulah, seorang sales dari bank BUMN syariah datang kepadanya. Ternyata pimpinan bank tersebut memiliki hubungan bagus dengan dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unimal ketika itu. Mansor mengakui, rekomendasi dan Dekan FEB Unimal ikut meningkatkan kepercayaan pihak bank. Seminggu kemudian, kredit cair sesuai permohonan. Dia memilih cicilan rendah meski jangka waktu sampai 10 tahun.
Bukan hanya mendapatkan kredit, Mansor Pato juga mendapatkan pelatihan tentang cara membuat laporan keuangan berstandar. Sejak 2016 menempati pertokoan tersebut, tahun 2018 menjadi hak miliknya. “Kini saya hanya fokus kepada membayar gaji karyawan dan mencicil utang. Alhamdulillah, masih bisa menabung juga,” tutur ayah dari Adiba Dary Fonna (3 tahun) dan Nyak Cahya Aulia (2).
Akronim dan pemain AC Milan
Menyebut Pato mengingatkan orang pada pesepakbola asal Brazil yang pernah merumput di AC Milan. Mansor tidak menampik bahwa ia juga mengadopsi nama pemain bola tersebut sebagai branded usahanya. Tapi, lebih jauh ada akronim tersendiri dari Pato tersebut.
Setelah brangkut pertama kali, banyak yang menyarankan agar dia tidak lagi terjun ke bisnis kuliner. Keluarganya juga menyarankan demikian. Ia mendapatkan energi negatif dari banyak orang agar berhenti berusaha. Akhirnya, ia menyemat nama Pato yang merupakan akonim dari Pesimis Alasan (untuk) Tetap Optimis.
Untuk jangka pendek, lelaki kelahiran Bugak, lelaki kelahiran 18 Desember 1987 itu hanya ingin menyelesaikan cicilan di bank dan menjaga kelangsungan usaha. Kini ia memiliki sembilan karyawan, termasuk dirinya yang juga mendapatkan gaji di sana. “Untuk jangka panjang, saya harus melihat lagi iklim usaha di Lhokseumawe. Tantangannya tentu semakin kompleks.”
Kini di Mansor Pato bukan hanya menjual kentang goreng. Di sana para pengunjung juga bisa mencicipi aneka kuliner, termasuk nasi goreng Bugak yang ia ciptakan branding dari nol. “Harus cerdas dalam melakukan ekspansi, agar pengujung tidak bosan,” tutup Mansor. [Ayi Jufridar]
Baca juga: Muhammad Suheri: Pernah Jadi Pemanjat Kelapa, Kini Jadi Pengusaha Keripik