KULIAH daring yang berlaku di banyak kampus, termasuk Universitas Malikussaleh, menghadapi banyak kendala di lapangan. Mulai dari jaringan internet yang tidak merata di semua daerah, komunikasi virtual yang tidak senyaman pertemuan di kelas, banyaknya tugas dari dosen, sampai biaya kuota yang relatif tinggi merupakan beberapa poin yang sering dikeluhkan mahasiswa selama kuliah daring.
Bentuk perkuliahan daring memang tidak dimaksudkan untuk menggantikan tatap muka di kelas. Kebijakan itu hanya sementara selama wabah Covid-19. Namun, kata “sementara” tidak bisa dipastikan berapa lama, setidaknya sampai ditemukan vaksin atau sampai pemerintah memutuskan untuk melanjutkan perkuliahan dalam kondisi normal baru yang juga masih menjadi tanda tanya.
Melanjutkan perkuliahan tatap muka di kelas berisiko tinggi di tengah jumlah pasien positif yang terus bertambah di Indonesia. Meski Aceh termasuk zona hijau, banyak mahasiswa berasal dari zona merah. Kontak fisik mahasiswa dari berbagai kota tak terhindarkan, meski protokol kesehatan tetap dijaga.
Ketua Satgas Pencegahan Covid-19 Universitas Malikussaleh, dr Teuku Ilham Surya Akbar, M Biomed, menyebutkan dimulainya kuliah tatap muka bisa menjadi bom waktu bila tidak diantisipasi sejak awal. Menurutnya, ada beberapa langkah yang harus dilakukan pihak kampus sebelum kuliah dimulai secara normal.
Pertama, seluruh kampus memiliki data mahasiswa yang akurat. Data itu menjadi dasar ketika membuat pemetaan untuk rapid test terhadap mahasiswa sebelum kuliah berlangsung. “Meski tingkat akurasi rapid test masih belum jadi jaminan, setidaknya ini menjadi salah satu bentuk antisipasi,” ujar dr Ilhami dalam acara Ngobras di RRI Lhokseumawe, Sabtu (30/5/2020).
Kedua, apa pun hasil rapid test, mahasiswa tidak dibenarkan langsung menuju ke tempat kos. Mereka harus menjalani karantina selama 14 hari di tempat tertentu. “Karantina harus dalam pengawasan, bukan karantina mandiri,” tambah dr Ilham dalam acara yang dipandu Ayi Jufridar dan dibantu co-host, Diana.
Ilhami mengakui, rapid test massal dan karantina dalam pengawasan tersebut membutuhkan banyak biaya karena seluruh kebutuhan mahasiswa harus ditanggung. Untuk itulah, kampus membutuhkan perhatian dari semua pihak dalam menggelar rapid test massal dan karantina.
“Tanggung jawab ini jangan dibebankan ke kampus saja. Tapi Satgas Covid-19 Lhokseumawe dan Aceh Utara, bahkan Provinsi (Aceh), harus mendukung,” tambah dosen Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh itu.
Menurut Ilhami, seharusnya semua kampus memiliki kontak dengan mahasiswa yang berasal dari luar daerah. Kegiatan mahasiswa di tempat tinggalnya seharusnya bisa dipantau, meski tidak mungkin seluruhnya. Hal ini untuk memastikan agar mahasiswa tetap mematuhi protokol kesehatan selama tinggal di daerah masing-masing. “Di Fakultas Kedokteran, kami melakukan itu,” ungkap Ilhami.
Dia juga mengingatkan ada masalah sosial yang bisa dihadapi mahasiswa ketika kembali ke tempat kos, seperti penolakan dan perundungan dari lingkungan. Untuk itu, masyarakat juga perlu mendapat edukasi yang benar tentang Covid-19. “Dan ini tidak mungkin dilakukan oleh kampus semata. Semua pihak harus terlibat karena Covid-19 musuh kita bersama,” tandas Ilhami. [Ayi Jufridar]