Yurisdiksi Virtual dalam Revolusi Industri 4.0

SHARE:  

Humas Unimal
ILUSTRASI Era Digital Foto: Luis Llerena

UNIMALNEWS | Jakarta - Revolusi Industri Keempat atau The Fourth Industrial Revolution (Revolusi Industri 4.0) telah membawa tantangan baru. Revolusi Industri 4.0 yang luar biasa cepatnya telah berdampak pada perubahan teknologi dan sosial, maka adalah hal keliru untuk memastikan hasil yang tepat jika hanya mengandalkan legislasi/regulasi dan insentif dari pemerintah.

Pada saat diterapkannya suatu legislasi/regulasi dan insentif pemerintah maka bisa jadi norma/aturan sudah tidak memadai lagi atau malah menjadi tumpang tindih.

Hal itu yang dimaksud dalam White Paper yang diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF) pada November 2016 bahwa “Given the Fourth Industrial Revolution’s extraordinarily fast technological and social change, relying only on government legislation and incentives to ensure the right outcomes is ill-advised. These are likely to be out-of-date or redundant by the time they are implemented".

1. Peradaban Digital Ekonomi dalam Revolusi Industri 4.0

G-2o pada Desember 2018 di Argentina telah memastikan kesepakatan bersama dalam pemberdayaan digital ekonomi. G-20 Leaders’ Declaration Building Consensus For Fair and Sustainable Development dalam butir ke-9 dinyatakan bahwa:

“To maximize the benefits of digitalization and emerging technologies for innovative growth and productivity, we will promote measures to boost micro, small and medium enterprises and entrepreneurs, bridge the digital gender divide and further digital inclusion, support consumer protection, and improve digital government, digital infrastructure and measurement of the digital economy. We reaffirm the importance of addressing issues of security in the use of ICTs. We support the free flow of information, ideas and knowledge, while respecting applicable legal frameworks, and working to build consumer trust, privacy, data protection and intellectual property rights protection. We welcome the G20 Repository of Digital Policies to share and promote the adoption of innovative digital economy business models. We recognize the importance of the interface between trade and the digital economy. We will continue our work on artificial intelligence, emerging technologies and new business platforms.”

Wilayah Asia khususnya negara-negara ASEAN memiliki peran utama dalam peradaban digital ekonomi sebagaimana terlihat dari data International Monetary Fund (IMF) sebagai berikut:

Digital ekonomi memiliki karakter yang masif dan eskalatif karena kemudahan dan kecepatan akses teknologi informasi atau media internet. Hanya dengan sekali sentuh maka dapat disebarkan data secara meluas dan berubah dalam berbagai format dalam waktu yang singkat.

Utilisasi informasi dari digital ekonomi termasuk kegiatan pengumpulan data (data collecting); penelisikan data (data crawling); dan analisis perilaku interaksi data (data behavior analyzing).

Data dimaksud harus mampu dimonetisasi dan divaluasi dalam indikator finansial sebelum mampu menjadi nilai kompetitif sebagai model bisnis. Model bisnis yang kemudian berbasis aplikasi tidak hanya jaringan dan jasa, baik dalam perdagangan elektronik (e-commerce) maupun teknologi finansial (FinTech).

Fenomena teknologi finansial secara digital dimulai dengan bermunculannya model bisnis yang berfokus pada data, namun hanya beberapa perusahaan/korporasi saja yang telah mencapai dampak finansial yang signifikan.

Hasil dari Survei Global McKinsey 2017, menunjukkan bahwa peningkatan pangsa korporasi yang menggunakan data dan analisis sebagai model bisnis yang menghasilkan pertumbuhan finansial. Pertumbuhan finansial dari perusahaan yang berbasis model bisnis data memerlukan kombinasi strategi, budaya, dan organisasi yang tepat.

Perusahaan melakukan monetisasi data (data monetizing, data capitalization) sebagai alat pertumbuhan finansial. Walaupun masih dalam evolusi awal nampak beberapa perusahaan dengan pertumbuhan tercepat (berkinerja tinggi) sudah berada di depan perusahaan-perusahaan yang lainnya.

Digital ekonomi memiliki potensi peningkatan ekonomi kerakyatan di Indonesia dengan 3 pilar “berbagi” yaitu berbagi ekonomi (economic sharing), berbagai kepercayaan (trust sharing), dan berbagi pengetahuan (intellectual sharing).

Peran yang terus tumbuh dari platform transportasi online, perdagangan online, pendidikan online, menjadikan Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya peradaban digital ekonomi dalam mencapai tujuan kesejahteraan umum. Pemerintah bersama ekosistem industri terus berupaya memperluas dan memperkuat sektor infrastruktur digital dan sumber daya talenta digital.

 

2. Koridor Cyber Law dalam Revolusi Industri 4.0

Peradaban digital ekonomi yang melesat memerlukan koridor yang memastikan terpenuhinya hak dan kewajiban para pelaku ekonominya dan terjaganya kepentingan umum. Cyber law terus berupaya mengantisipasi dampak dari Revolusi Industri 4.0 terutama dengan telah lahirnya peradaban digital ekonomi, melalui pendekatan legislasi, regulasi, dan swa-regulasi.

Pendekatan legislasi (legislative approach) adalah upaya untuk membentuk peraturan perundang-undangan sebagai dampak dari tren konvergensi dan sekaligus sebagai antisipasi terhadap fenomena konvergensi dari teknologi informasi. Solusi legislatif dalam mendefinisikan rezim hukum baru, atau membentuk kerangka pengaturan, atau regulasi yang baru adalah upaya antisipatif terhadap implikasi konvergensi dan arah kebijakan masa depan dari peradaban manusia.

Sebagaimana yang dinyatakan secara tegas oleh Menteri Komunikasi dan Informatika R.I. Rudiantara bahwa “Undang-Undang ITE (UU Nomor 11 Tahun 2008) yang merupakan UU pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang menjadi pionir dalam meletakkan dasar pengaturan dan perlindungan dalam bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.”

Daniel Malan dalam tulisannya "The Law Can't Keep Up With New Tech. Here's How To Close The Gap", memberikan narasi bahwa memahami skala dan kompleksitas ekonomi global serta pengetahuan kita tentang sifat manusia, maka akan sangat naif untuk hanya mengandalkan spontanitas dan kesukarelaan dari perilaku etis individu serta korporasi untuk memastikan keadilan atau meningkatkan martabat manusia juga masyarakat.

Pemberlakuan legislasi dan regulasi yang dikombinasikan dengan penegakan hukum yang serius, tetap diperlukan untuk memandu perilaku masyarakat dan memastikan supremasi hukum.

Namun pendekatan ini sering menghasilkan permainan kucing dan tikus (cat and mouse game) antara regulator dan pelaku ekonomi.

Individu dan korporasi yang taat hukum menghabiskan banyak waktu serta finansial untuk mencari celah hukum sekedar mencapai kepatuhan teknis saja, sementara yang lain melakukan 'akrobatik' hukum sehingga ketidakpatuhan mereka tetap tidak dapat terdeteksi.

Mochtar Kusumaatmadja menegaskan bahwa tujuan pokok dari hukum apabila hendak direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban (order), ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum dan kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.

Di samping ketertiban, tujuan lain daripada hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya.

Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diusahakan adanya kepastian dalam pergaulan antarmanusia dalam masyarakat. Pemahaman yang penting sekali bukan saja bagi suatu kehidupan masyarakat teratur, tetapi merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang melampaui batas-batas saat sekarang.

Karena itulah terdapat lembaga-lembaga hukum seperti misalnya dalam (1) lembaga perkawinan, yang memungkinkan kehidupan yang tak dikacaukan oleh hubungan laki-laki dan perempuan; (2) lembaga hak milik; dan (3) lembaga kontrak yang harus ditepati oleh pihak-pihak yang menyepakatinya.

Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan olehnya maka manusia tak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di dalam masyarakat tempat hidup. Sjachran Basah secara lebih konstruktif menjelaskan 5 (lima) fungsi hukum dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat, yaitu sebagai berikut:

  1. Direktif bahwa hukum berfungsi sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara;
  2. Integratif bahwa hukum berfungsi sebagai pembina kesatuan bangsa;
  3. Stabilitatif bahwa hukum berfungsi sebagai pemelihara (termasuk ke dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
  4. Perfektif bahwa hukum berfungsi sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara, maupun sikap tindak warga negara dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat; dan
  5. Korektif bahwa hukum berfungsi baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam mendapatkan keadilan.
 

Revolusi Industri 1.0 hingga Revolusi Industri 3.0 membebaskan manusia dari kekuatan hewan, memungkinkan produksi massal dan membawa kemampuan digital kepada miliaran orang. Revolusi Industri 4.0 pada dasarnya sangat berbeda dengan ditandai berbagai teknologi baru yang menggabungkan dunia fisik, digital dan biologis.

Hal itu memengaruhi semua disiplin ilmu, ekonomi, dan industri, dan bahkan ide-ide yang menantang tentang “apa” artinya menjadi manusia. Pergeseran dan gangguan yang terjadi menjadikan manusia hidup di masa yang penuh dengan janji dan bahaya besar.

Dunia memiliki potensi untuk menghubungkan miliaran lebih banyak orang ke jaringan digital, secara dramatis meningkatkan efisiensi organisasi dan bahkan mengelola aset dengan cara yang dapat membantu meregenerasi lingkungan alam serta berpotensi disrupsi terhadap revolusi-revolusi industri sebelumnya.

Klaus Schwab dalam tulisannya "The Fourth Industrial Revolution" sebagaimana dimuat dalam Foreign Affairs, memiliki keprihatinan besar bahwa organisasi bisnis mungkin tidak dapat beradaptasi; pemerintah dapat gagal menggunakan dan mengatur teknologi baru untuk menangkap manfaatnya; pergeseran kekuasaan akan menciptakan masalah keamanan yang baru dan penting; ketidaksetaraan bisa tumbuh; dan fragmentasi masyarakat.

Schwab menempatkan pula perubahan terbaru ke dalam konteks historikal; menguraikan teknologi utama (mainstream) yang mendorong Revolusi Industri 4.0; membahas dampak utama pada pemerintah, bisnis, masyarakat sipil dan individu; dan menyarankan cara untuk menanggapi hal-hal dimaksud.

Perlu keyakinan bahwa Revolusi Industri 4.0 berada dalam kendali selama kita mampu berkolaborasi lintas geografis, sektoral, dan disiplin untuk memahami peluang yang dihadirkannya dalam peradaban manusia.

Schwab secara khusus menyatakan seruan bagi para pemimpin dan warga negara untuk "bersama membentuk masa depan yang bekerja untuk semua dengan menempatkan orang-orang terbaiknya, memberdayakan mereka dan terus-menerus mengingatkan diri kita bahwa semua teknologi baru ini adalah alat pertama dan utama yang dibuat oleh orang-orang untuk manusia".

Revolusi Industri 4.0 memiliki implikasi atau dampak terhadap bagaimana fungsi hukum di dalam masyarakat. Sehingga perlu didekati dari pemahaman Teori Hukum.

Teori Hukum adalah cabang dari Ilmu Hukum yang dalam suatu perspektif interdisipliner secara kritikal menganalisis berbagai aspek dari gejala hukum masing-masing secara tersendiri dan dalam kaitan keseluruhan mereka, baik dalam konsepsi teoretikal mereka maupun dalam penjabaran praktikal mereka, dengan mengarah pada suatu pemahaman yang lebih baik dalam, dan suatu penjelasan yang jernih atas bahan-bahan yuridikal.

Revolusi Industri 4.0 sanggup menghasilkan kepercayaan, setiap orang yang berkontribusi harus berkolaborasi dan merasakan hubungan dengan tujuan bersama. Lebih banyak transparansi tentang bagaimana kita mengatur dan mengelola teknologi ini adalah kunci, seperti juga model keamanan yang meningkatkan kepercayaan diri kita bahwa sistem ini tidak akan diretas, dikenali, atau menjadi alat kompetisi oleh mereka yang mengendalikannya.

Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada konsep membawa semuanya bersama, bahwa inovasi dalam kecerdasan buatan, bioteknologi, robotika, dan teknologi baru lainnya akan mendefinisikan kembali apa artinya menjadi manusia dan bagaimana kita berinteraksi satu sama lain dan planet ini. Kemampuan kami, identitas kami, dan potensi kami semua akan berevolusi seiring dengan teknologi yang kami buat.

Dalam beberapa dekade mendatang, kita harus membangun pagar pembatas yang menjaga kemajuan Revolusi Industri 4.0 di jalur untuk memberi manfaat bagi seluruh umat manusia. Kita harus mengenali dan mengelola potensi dampak negatif yang dapat mereka miliki, terutama di bidang kesetaraan, pekerjaan, privasi, dan kepercayaan.

Kita harus secara sadar membangun nilai positif ke dalam teknologi yang kita buat, berpikir tentang bagaimana mereka akan digunakan, dan merancangnya dengan penerapan etika dalam pikiran dan mendukung cara kolaboratif untuk melestarikan apa yang penting bagi kita.

Upaya ini menuntut semua pemangku kepentingan yaitu pemerintah, pembuat kebijakan, organisasi internasional, regulator, organisasi bisnis, akademisi, dan masyarakat sipil untuk bekerja sama mengendalikan teknologi yang kuat dengan cara yang membatasi risiko dan menciptakan dunia yang sejalan dengan tujuan bersama untuk masa depan.

Kita semua sebagai pribadi, warga negara, karyawan, investor, dan pemberi pengaruh sosial, adalah pemangku kepentingan yang sangat penting dalam Revolusi Industri 4.0, sebagaimana ditegaskan oleh Klaus Schwab dalam “The Fourth Industrial Revolution” bahwa “The Fourth Industrial Revolution can compromise humanity's traditional sources of meaning—work, community, family, and identity—or it can lift humanity into a new collective and moral consciousness based on a sense of shared destiny. The choice is ours”.

 

3.  Teori Hukum Konvergensi sebagai Fundamental Yurisdiksi Virtual

Cyber law memiliki peran yang tidak bisa digantikan dalam ekosistem Revolusi Industri 4.0 sebagai upaya pencapaian tujuan masyarakat. Mochtar Kusumaatmadja menegaskan bawa peran hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur yang didasarkan oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi dari kedua-duanya.

Perubahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik berwujud perundang-undangan atau keputusan badan-badan peradilan. Perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan kembar daripada masyarakat yang sedang membangun maka cyber law menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam Revolusi Industri 4.0.

Peran cyber law sebagaimana dimaksud adalah suatu alat pembaharuan masyarakat, sehingga mengharuskan masyarakat memiliki pengetahuan lebih banyak dan luas dari cyber law.

Seorang ahli hukum di suatu masyarakat yang sedang membangun dalam ekosistem Revolusi Industri 4.0 harus mengetahui interaksi antara hukum dengan faktor-faktor lain dalam perkembangan masyarakat, terutama variabel-variabel teknologi, ekonomi, dan sosial. Cyber law mengharuskan dilakukannya analisis fungsionil dari sistem hukum sebagai keseluruhan dan kaidah-kaidah serta lembaga-lembaga sosial tertentu.

Sistem Hukum sebagaimana dimaksud dapat dijelaskan melalui pendekatan Teori Hukum dan Ilmu Hukum.

Teori Hukum adalah teorinya Ilmu Hukum, sebagaimana yang dipahami dari Sudikno Mertokusumo bahwa teori hukum berhubungan dengan hukum pada umumnya dan dikenal sebagai meta teori Ilmu Hukum.

Teori Hukum digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum tertentu yang mendasar, yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum positif (legal problems, legislations issues, regulations disputes) tetapi jawabannya tidak dapat dicari atau diketemukan dalam hukum positif (peraturan perundang-undangan).

Sudikno dengan tegas mengkualifikasikan bahwa Teori Hukum adalah teorinya Ilmu Hukum, dan Ilmu Hukum adalah teorinya peraturan perundang-undangan (legislasi dan regulasi) dan praktik hukum (law in actions).

Teori Hukum adalah sebuah upaya untuk pada kegiatan mempelajari hukum, mengintegrasikan lagi hukum ke dalam konteks total dari keterberian-keterberian faktual dan keyakinan-keyakinan ideal yang hidup yang terkait padanya, sehingga mampu mengintegrasikannya ke dalam masyarakat (pergaulan hidup).

Tiap ilmu atau tiap cabang ilmu membedakan diri dari yang lain tidak terutama oleh pokok-telaahnya (objeknya) tetapi oleh metodenya, yakni cara khas yang dengannya orang bekerja untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Metode dari Teori Hukum tidak dapat lain kecuali interdisipliner sintetikal. Teori Hukum dengan metode interdispliner melaksanakan suatu fungsi konvergensi atau menggabungkan (overkoepelen) dan, lebih lagi, mensintetisasi dalam keseluruhan dari Ilmu Hukum.

Teori Hukum harus dapat secara ilmiah menampilkan secara layak densitas dari kenyataan ini sebagaimana dalam keseluruhannya dialami oleh tiap orang yang berurusan dengan hukum atau yang berpartisipasi pada pembentukan hukum.

Kenyataan mewujudkan suatu keseluruhan, kebenaran yang tidak dapat dipecah (ondeelbaar) serta tidak ada realitas yuridikal dan tidak ada kebenaran yuridikal, namun yang ada adalah realitas dan kebenaran kemanusiaan dan kemasyarakatan, yang di dalamnya hukum mensituasikan diri. Pada akhirnya, hal mempelajari aspek hukum secara terpisah akan menjadi tidak ilmiah karena tidak setia pada kebenaran.

Hukum mengemban fungsi ekspresif, yakni mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya dan keadilan.

Di samping itu, hukum juga mengemban fungsi instrumental, yakni sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas; sarana untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan mewujudkan keadilan; sarana pendidikan dan pengadaban masyarakat; sarana mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat; dan sarana untuk pembaharuan masyarakat (mendorong, mengkanalisasi, dan mengarahkan perubahan masyarakat).

Dalam masyarakat pasca-kolonial yang sedang menjalani perubahan sosial yang fundamental dan mencakup seluruh bidang kehidupan secara simultan, maka perundang-undangan memegang peranan dominan dalam pembangunan tata-hukum nasional serta menjalankan fungsi hukum sebagai sarana pendidikan dan perubahan masyarakat.

Yurisprudensi berperan untuk mendukung dengan menjabarkan ketentuan perundang-undangan dakam putusan konkretnya. Dalam kaitan ini, maka Ilmu Hukum yang adekuat sangat dibutuhkan sebagai sarana intelektual untuk membantu proses pembentukan hukum melalui perundang-undangan dan yurisprudensi, serta membantu penyelenggaraan hukum menjalankan fungsi hukum sebagai sarana pendidikan dan pembaharuan masyarakat.

Klaus Schwab sang pendiri World Economic Forum mempercayai bahwa fase Revolusi Industri 4.0 akan dibangun di sekitar “cyber-physical systems” (sistem cyber-fisik) dengan mengaburkan fisik, digital dan biologis. Ketika manusia merangkul usia teknologi digital maka kita perlu dihadapkan dengan tantangan etika baru dan menyerukan diperlukannya undang-undang baru. Dalam beberapa kasus, seluruh kode moral mungkin perlu di-boot ulang (reboot), karena itulah sifat terobosan teknologi.

Untuk mencapai tujuan hukum yang progresif, yakni hukum yang mengabdi manusia dan mewujudkan keadilan di dalam masyarakat, maka secara hermeneutis semua metode interpretasi perlu diupayakan. Sehingga untuk menetapkan apa makna hukum yang tercantum dalam suatu perundang-undangan yang membentuk peradaban ekonomi digital perlu dilakukan berdasarkan aturan hukum positif yang dipahami (diinterpretasi) berdasarkan:

a. Gramatikal, sesuai makna kata dan struktur kalimatnya.

b. Historikal, konteks latar belakang sejarah.

c. Teleologikal, dalam kaitan dengan tujuannya yang menentukan isi aturan hukum positif tersebut.

d. Sistematikal, dalam konteks hubungan aturan-aturan positif yang lainnya.

e. Sosiologikal-Teknologikal, secara kontekstual merujuk pada faktor-faktor kenyataan kemasyarakatan dan ekonomi serta teknologi.

f. Filosofikal, dengan mengacu nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang fundamental.

g. Futurologikal, dalam proyeksi ke masa depan.

Teori Hukum Konvergensi merupakan pemahaman konseptual dan teoretikal dari penyatuan (convergence) variabel-variabel teknologi, ekonomi, dan hukum terhadap hubungan manusia dan masyarakat dalam Revolusi Industri 4.0, baik dalam tataran nasional, regional maupun tataran internasional.

Paradigma dari konvergensi tatanan hukum dapat dilakukan pemahaman yang lebih mendalam dengan mengkaji pendekatan konsepsi konvergensi dan konsepsi non-konvergensi hukum. Pendekatan untuk mencari keterkaitan dengan persamaan atau perbedaan antara sistem hukum, atau membandingkan sistem hukum yang berbeda diharapkan dapat menjelaskan pentingnya konsepsi konvergensi hukum.

Sumber: Infrastruktur Digital Ekonomi, Kemkominfo R.I.

Instagram: @unimalnews
Twitter: @UnimalNews
Facebook: Portal Unimal (Fanpage: Unimal News)
YouTube: Unimal TV


Kirim Komentar