JUMLAH tenaga kesehatan yang menjadi korban Covid-19 semakin bertambah. Sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020, sampai 12 September 2020 sudah 117 dokter di Indonesia yang meninggal karena Covid-19. Sebanyak 117 dokter meninggal berarti sekitar 300.000 warga kehilangan akses terhadap dokter. Sedangkan untuk tenaga kesehatan (nakes), jumlah korban meninggal akibat Covid-19 sudah mencapai 181 orang.
“Angka kematian dokter yang cepat dan tajam menunjukkan masyarakat masih abai terhadap protokol kesehatan,” ungkap Ketua Tim Mitigasi PB IDI, dr Adib Khumaidi SpOT, seperti disampaikan dalam keterangan tertulisnya, beberapa waktu lalu.
Ketua IDI Kota Lhokseumawe, dr Amroelloh, mengakui tingkat kedisiplinan masyarakat menegakkan protokol kesehatan ikut mempengaruhi jumlah tenaga kesehatan yang terpapar korona. “Sebab, semakin banyak nakes menangani pasien, semakin besar potensi tertular,” ungkap dr Amroelloh dalam gelar wicara Ngobrol Santai alias Ngobras di Pro 1 RRI Lhokseumawe, Sabtu (19/9/2020).
Ketika disinggung nakes banyak terpapar di rumah sakit, dr Amroelloh membenarkan. Dalam penelusuran pihak medis selama ini, dari 117 dokter yang meninggal dunia, yang paling banyak adalah dokter umum. Lokasi terpapar terbanyak di puskesmas, ruang UGD, dan praktek umum. “Makanya sekarang, pasien apa pun yang dirawat di rumah sakit lebih dulu di-screening untuk memastikan tidak terpapar Covid-19,” jelas dr Amroelloh dalam acara yang dipandu Ayi Jufridar.
Sementara Ketua Gugus Tugas Covid-19 Universitas Malikussaleh, dr Teuku Ilhami Surya Akbar, M Biomed, menyebutkan masalah komunikasi menjadi sangat penting dalam menegakkan kepatuhan masyarakat. Ia mengakui banyak informasi sesat yang telanjur dipercaya sebagai sebuah kebenaran.
“Misalnya, masih ada yang belum percaya Covid-19 itu ada, atau menganggap virus ini bagian dari konspirasi dunia. Masyarakat yang telanjur yakin, akan sulit menerapkan protokol kesehatan,” ujar dosen muda di Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh tersebut.
Dr Amroelloh langsung menyambar, “Malah ada yang yakin bahwa kalau ke rumah sakit, mau sakit apa pun, langsung di-Covid-kan.”
Ia mengaku sedih dengan adanya anggapan seperti itu di tengah masyarakat, apalagi jika ada yang mengaitkan jumlah pasien Covid-19 dengan tingkat penghasilan yang diterima tenaga kesehatan.
Untuk mengantisipasi infodemic yang meluas di kalangan masyarakat tersebut, menurut dr Amroelloh, dibutuhkan upaya dari semua pihak. “Peran ulama juga sangat penting dalam mendukung perubahan perilaku,” katanya.
Pelibatan seluruh lapisan masyarakat juga dilakukan untuk membangun kedisiplinan masyarakat dalam protokol kesehatan, melalui pencegahan permesta (perjuangan rakyat semesta) yang memegang peranan penting untuk menekan pasien Covid-19.
Untuk mengurangi korban dari kalangan medis yang kian bertambah, selain upaya yang disebutkan di atas, dr Amroelloh juga mengingatkan perlunya penambahan tenaga medis di rumah sakit. “Kalau pasien membludak di rumah sakit, bukan jam kerja tenaga medis yang ditambah, tetapi dokternya yang ditambah,” katanya.
Selain itu, semua kebutuhan APB tenaga medis dipastikan tersedia agar kerja mereka di garda depan melawan penyebaran virus korona bisa berjalan maksimal dan bukan malah membuat mereka menjadi korban.
Baik dr Amroelloh maupun dr Ilhami sama-sama mengingatkan bahwa tenaga medis juga manusia biasa yang juga merasa sedih, tertekan, lelah, juga diserang rasa takut. “Jadi, masyarakat juga harus memiliki empati terhadap tenaga medis karena kita saling terkait. Keselamatan tenaga medis tergantung dari keselamatan,” simpul dr Amroelloh. [Ayi Jufridar]
Baca juga: Orang Dengan Gangguan Jiwa di Sekitar Kita