Ketika Mahasiswa Melihat Migas dari Sisi Berbeda

SHARE:  

Humas Unimal
EDUKASI MIGAS - Sekitar 200 mahasiswa dari Universitas Malikussaleh, IAIN Lhokseumawe, dan Politeknik Negeri mengikuti edukasi tentang minyak dan gas di Aula Meurah Silue, Kampus Lancang Garam, Lhokseumawe, Senin (8/4/2019). Foto: Bustami Ibrahim.

DEPUTI  Operasi SKK Migas, Fatar Yani Abdurrahman membuka presentasi dengan bertanya kepada 200-an mahasiswa tentang wawasan industri minyak dan gas (migas). Hanya sekitar empat mahasiswa mengangkat tangan, dan semuanya dari Politeknik Negeri Lhokseumawe. Identitas mereka terlihat dari jaket almamater warna kuning yang mereka kenakan.

Tak heran bila mahasiswa Politeknik yang mengacungkan tangan, meski agak ragu, atau itu bagian dari sikap mereka yang tidak ingin menonjolkan diri. Mereka berasal dari program studi perminyakan yang memang belajar tentang minyak dan gas. Program studi tersebut dibentuk untuk menjawab kebutuhan dunia kerja baik di Aceh maupun di kota lain, bahkan negara lain.  

Anehnya, ketika Fatar Yani bertanya lagi berapa banyak yang tidak paham tentang migas, jumlah mahasiswa yang mengacungkan tangan tidak lebih dari lima orang. Aula Meurah Silu Kampus Lancang Garam Universitas Malikussaleh, terasa lengang meski peserta membludak sampai ke kursi belakang.  

Sepertinya, kegiatan edukasi migas akan berlangsung garing di tengah antusiasme yang rendah. Fatar sampai mengingatkan mahasiswa agar lebih aktif dan berani. Biar terasa lebih akrab, putra kelahiran Lhoksukon, Aceh Utara, itu menceritakan Lhokseumawe adalah kota yang akrab baginya, sebab SD dan SMP ia habiskan di Lhokseumawe.

“Saya alumni SMP Negeri 1 Lhokseumawe, sempat sekolah di SMA Negeri 1 Lhokseumawe sebelum pindah ke Medan,” ungkap orang nomor tiga di SKK Migas tersebut. Fatar menjelaskan dengan gamblang mengapa disebut hulu dan hilir migas, termasuk memaparkan migas merupakan sumber energi dari fosil yang berbeda dengan energi terbarukan.

Data-data, grafik, serta istilah rumit dalam industri migas, ia gunakan seminim mungkin. Sesekali ia bicara dalam bahasa Aceh yang fasih. Lelucon dari mulutnya pun lepas dalam bahasa Aceh yang kental.

Setelah Fatar Yani, Radhi Darmansyah dari Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) memaparkan peran lembaga baru tersebut. Radhi yang mantan wartawan itu, sekarang menjabat sebagai Kepala Divisi Formalitas dan Hubungan Eksternal BPMA. Sakti Alamsyah, pejabat dari Triangle Pase Inc, perusahaan migas yang beroperasi di Aceh, juga menjelaskan apa saja yang sudah, sedang, dan akan mereka lakukan di Aceh.

External Relations Specialist Zaratex NV, Mardy Syamaun Gaharu, juga menjelaskan kegiatan perusahaan itu di Aceh yang relatif lancar. Bagi sebagian besar mahasiswa, nama Syamaun Gaharu memang terdengar asing. Tapi tidak bagi para tokoh yang hadir di Aula Meurah Silue Kampus Lancang Garam Unimal, Senin (8/4/2019) lalu.

Mardy Gaharu adalah putra Syamaun Gaharu, Panglima Kodam Iskandar Muda yang pertama dan orang yang berperan di balik lahirnya Universitas Syiah Kuala. Ketika moderator menyebut sekelumit sejarah itu, seketika tepuk tangan bergemuruh di Aula Meurah Silue. Mardy kemudian menceritakan secara singkat pemikiran Syamaun Gaharu terhadap pendidikan tinggi di Aceh.

Selain para tokoh migas di Aceh, juga hadir Plt BPMA, Azhari Idris, Rektor Unimal Dr Herman Fihtra, Rektor IAIN Lhokseumawe Dr Hafifuddin, Direktur Politeknik Lhokseumawe Rizal Syahyadi, Direktur Pertamina Hulu Energi Dirasani, dan Pimpinan BNI Syariah Lhokseumawe Nur Sa’adah yang pada kesempatan tersebut menyerahkan beasiswa kepada Unimal.

***

Situasi berubah penuh gelora ketika memasuki diskusi. Para peserta berebutan mengacungkan tangan. Pertanyaan yang muncul kemudian sangat kritis, karena mahasiswa menyorot ekplorasi migas di Aceh dari berbagai sisi. Tidak hanya dari aspek ekonomi, tetapi lingkungan, sosial, dan antropologi.

Yauman dari IAIN Lhokseumawe, misalnya, mempertanyakan dampak ekplorasi migas terhadap lingkungan. Bagaimana recovery lingkungan setelah perusahaan beroperasi. Pertanyaan kritis juga datang dari Hafiz Siddiq dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unimal yang menggugat kontrak dengan perusahaan asing agar lebih menguntungkan masyarakat Aceh. Atau dengar saja pertanyaan Azwir dari Unimal soal kelangkaan minyak dan gas padahal sumbernya ada di Aceh.

Masalah kedaulatan migas juga dipertanyakan Ida Agustina dari Unimal. Bagaimana peran Pemerintah dalam mendukung kedaulatan migas di Indonesia. Seorang mahasiswa Politeknik Lhokseumawe juga mempertanyakan kebijakan menjual kondensat tanpa mengolahnya terlebih dahulu agar lebih ekonomis.

Masalah migas memang tidak hanya dilihat dari sisi pertambangan semata. Seperti gugatan mahasiswa Antropologi Unimal, Arif Fadhilah, yang mempersoalkan kurangnya pelibatan tokoh adat seperti panglima laot dan keujrun blang dalam kegiatan ekplorasi migas. Pandangan ini dibantah dengan penjelasan Radhi Darmansyah yang memaparkan sejumlah kasus keterlibatan lembaga adat.

Antusiasme mahasiwa akhirnya dihentikan waktu yang terbatas. Namun, acara yang berlangsung hampir empat jam tersebut setidaknya menggambarkan pandangan kritis mahasiswa terhadap eksplorasi migas di Aceh dari berbagai sisi. Wawasan dan pengetahuan tersebut setidaknya bisa membangun kesadaran untuk mengekplorasi migas dengan bijak dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat lokal.

Kesadaran itu penting agar kekayaan sumber daya alam di Aceh dan daerah lainnya di Indonesia bisa menjadi berkah, bukan kutukan seperti yang terjadi di banyak negara.[ayi jufridar]


Kirim Komentar